Ketika Kita Masih 17 Tahun

34 7 2
                                    


SAAT BERUSIA 17 tahun, ada daftar list panjang yang ingin kulakukan.

Seperti mimpi-mimpi remaja lain, aku ingin melakukannya. List itu terus bertambah hari demi hari, namun aku tak bisa mewujudkannya walau hanya satu.

Punya teman, itu akan tetap menjadi list pertama dari segala hal yang ingin kulakukan saat remaja. Lalu pulang lebih lama, membaca buku komik, tidur di perpustakaan, menyontek saat ujian, bolos piket, bermain kartu uno saat jam pelajaran, punya pacar, lalu pergi karaoke, makan permen karet, menari di bawah sinar matahari, dan yang paling ingin kulakukan adalah berlarian bersamamu di bawah senja.

Semua hal-hal tentang remaja, aku juga ingin melakukannya.

Namun, satupun tidak akan dapat kuwujudkan. Maka, list ini akan selamanya menjadi list "Impianku Ketika Masih 17 Tahun". List-list tentang hal bodoh yang ingin kulakukan. Dan ketika dewasa nanti, mungkin aku akan merutuki semua mimpi-mimpi bodoh ini. Yang lebih parah lagi, apa yang akan Ibu katakan ketika mendapati aku menulis hal-hal semacam ini? Hal-hal semacam list omong kosong ini?

Dia pasti akan kecewa. Aku adalah satu-satunya gadis yang dia punya. Impiannya adalah impianku. Maka jika Ibu tidak bisa mewujudkannya, maka aku yang akan mewujudkannya. Jika Ibu tidak bisa bersekolah kedinasan, maka aku yang akan melakukannya. Jika Ibu tidak bisa menghasilkan uang banyak, maka aku yang akan melakukannya.

Karena aku ingin menjadi putrinya yang sempurna.

"Sarah, kamu tetap memegang nilai tertinggi di ujian kali ini dengan nilai 98." Pak Guru berucap bangga saat dia membaca puluhan lembar ujian di tangannya.

Teman-teman yang lain bertepuk tangan. Wajah mereka tampak datar. Bahkan aku masih bisa mendengar seseorang menguap di barisan paling belakang. Mungkin bosan mendengar namaku yang selalu dipanggil Pak Guru.

Aku maju ke depan, mengambil kertas ujian ku dan tersenyum kecil saat melihat angka 98 bertinta merah besar-besar tertulis di sana. Ibu akan senang melihat ini. Ya, dia pasti senang.

"Eh, katanya study tour kita bakal diadain bulan September nanti!" Seseorang di belakangku berbisik-bisik saat jam pelajaran berlangsung

Aku memilih tidak peduli dan tetap mengerjakan soal-soal Matematika ini. Namun, suara mereka dan topik yang mereka bahas benar-benar membuatku tidak bisa tidak menguping.

"Seriusan study tour-nya ke Bali? Wah, gila sih!"

"Makanya! Gue sih harus ikut ya kalo emang beneran. Lo ikut nggak, sih?"

"Ya ikutlah! Masaan enggak, yakali"

"Hahaha, siapa sih yang nggak mau ikut acara beginian."

Aku.

Suara itu bergema di dalam pikiranku. Terus-menerus. Jadi, kuambil buku note di dalam laci dan menambah satu lagi list dari sekian banyak list bodoh yang ada di sana.

Ikut study tour.

Ibu tidak akan mengijinkan, sudah pasti. Hal-hal seperti ini akan selalu bertabrakan dengan jadwal lesku.

"Maaf mengganggu pelajarannya, Pak." Seorang guru yang lain tiba-tiba berdiri di ambang pintu kelas. Dia Bu Hana, wali kelas kami. Biasanya kalau dia datang seperti ini ke kelas, Bu Hana selalu memanggilku pergi ke kantor.

Namun, kali ini tidak. Karena dia membawa siswa lain bersamanya. Seorang murid laki-laki.

"Jadi, kita kedatangan siswa baru di sini. Namanya Adytia. Dari SMA Negeri 1 Medan. Adytia, kamu mau perkenalan sedikit?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Kita Masih 17 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang