Chapter 02

39 27 9
                                    

"Orangnya yang mana sih?" Tanya Bia, sekarang mereka ada di perpustakaan untuk memantau terlebih dahulu sosok siswa laki-laki yang bernama Axel yang selalu dibicarakan para cewek hingga cowok.

"Kayaknya dia gak ada deh, padahal biasanya selalu di perpustakaan ini," ucap Enjel saat tidak menemukan Axel di ruang baca yang biasa ditempatinya.

"Berarti gak jadi nih?" Bia mencoba mencari celah, bagaimanapun Bia tidak kenal dengan sosok yang namanya Axel itu. Kalau nanti Bia ditolak dan dipermalukan, gimana tuh? Kan repot. "Gak, harus jadi pokoknya lagian cuma ngajak jalan jadi kak Axel gak mungkin nolak kok," ucap Enjel.

"Gue tau! kita tunggu sampai pulang sekolah," ucap Kiki memberi saran, juga ingin memastikan sesuatu. Sedangkan Bia dan Enjel hanya mengangguk menyetujui.

Setelah jam pelajaran terakhir selesai, semua sudah pada berhamburan keluar kelas termasuk Bia, Kiki dan Enjel. Mereka berjalan beriringan ke dekat tangga, yang menghubungkan antara lantai satu, dua dan tiga. Lantai dua merupakan bagian kelas sebelas dan lantai satu ditempati kelas sepuluh, sedangkan lantai tiga ditempati kelas dua belas.

"Kalau kita nunggunya di sini dia bakalan langsung liat kita dong," ucap Bia mengingat tangga tempat mereka berdiri sekarang saling berhubungan, setelah dari lantai tiga turun ke lantai dua maka akan langsung tersambung dengan tangga ke lantai satu.

"Gak apa-apa, kita gak sedang main petak umpet" ucap Kiki, tapi setelah diam beberapa saat dia kembali bersuara, "Kita turun dikit, nanti kalau dia sudah lewat baru naik lagi" ucap Kiki akhirnya memutuskan untuk turun melewati beberapa tangga diikuti dua temannya, Bia, dan juga Enjel yang sedari tadi hanya diam tidak seperti biasanya yang rusuh.

Cukup lama mereka menunggu, hingga keadaan sekolah sudah benar-benar sepi. "Kayaknya kak Axel gak ada" ucap Enjel yang sudah capek, dia sudah berulang kali jongkok, kemudian berdiri lalu kembali jongkok.

Tepat saat itu terdengar langkah kaki yang berjalan menuruni tangga, "Ini pasti dia," ucap Kiki setengah berbisik, saat dia melihat secara sekilas bayangkan seseorang.

Mereka bertiga dengan langkah yang sangat pelan kembali menaiki tangga, mengintip ke bagian ruang kelas yang berjejer. "Gue bilang juga apa kan, dia itu sering berdiri di depan kelas kita saat sudah jam pulang sekolah," ucap Kiki memperhatikan sosok laki-laki yang berdiri di depan kelas sebelas MIPA empat, kelas mereka.

Sosok laki-laki dengan tubuh tinggi, berpakaian rapi dengan baju yang dimasukkan ke dalam celana, kedua tangannya ada di dalam saku celana. Pandangan matanya lurus ke depan, hanya melihat pintu kelas yang sudah tertutup rapat.

"Buruan Bia ke sana, keburu kak Axel liat kita," ucap Enjel berbisik-bisik, sedangkan Bia menelan ludahnya kasar, tenggorokannya terasa kering. Bia harus menyiapkan mental dan membuang malunya untuk pergi ke sana dan menjalankan tantangan yang diberikan dua temannya.

Bia dengan langkah yang sangat pelan berjalan ke arah Axel, tangannya beberapa kali meremas roknya, dia gugup. Tadi Enjel sudah menceritakan semuanya tentang Axel si mahluk kutub Utara yang terdampar ke sini.

"Kak Axel kan?" Bia bertanya seolah-olah takut salah orang, hanya cara ini yang terlintas dipikirannya. Bia bukan jenis orang yang bisa dengan mudah akrab sama siapapun, Bia malas berinteraksi dengan banyak orang selain yang memang sudah dikenalnya dengan baik, jadi tidak heran kalau Bia bisa menghabiskan hari liburnya dengan hanya berdiam diri di dalam kamar ditemani laptop, hp, dan cemilan.

Axel menoleh melihat Bia, sebelah alisnya terangkat seolah mengatakan apa?. Berbeda dengan Bia yang menatap takjub pada Axel, ini pertama kalinya dia melihat dengan jelas sosok Axel yang sering diagung-agungkan. Kulit putih, alis tebal, hidung mancung, rambut yang tertata rapi, postur wajah yang tegas, dan hal yang paling membuat Bia takjub adalah dua bola mata berwarna agak keabuabuan menatapnya.

Bolehkan Bia mengatakan kalau cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya? Dia tidak terlihat seperti manusia, itu yang ada di pikiran Bia saat melihat Axel dalam jarak yang sedekat ini.

Berbeda dengan Bia, Axel tampah berdecak saat tidak ada tanggapan dari Bia yang hanya terus menatapnya. "Minggir," ucap Axel membuat Bia tersadar akan tujuannya, Axel sudah berjalan melewatinya.

"Kak Axel mau gak jadi pacar Bintang?" Bia dengan gerakan spontan menarik tangan Axel membuatnya berhenti berjalan, menoleh dan melihat Bia yang sedikit membungkuk memegang tangan kanan Axel dengan kedua tangannya, terlihat seperti orang yang memohon.

Axel melepas tangannya dari dua tangan Bia yang memegangnya, mengangkat dagu Bia agar melihat ke arahnya. Saat pandangan mata mereka bertemu Axel tampak tersenyum, senyum yang sangat tipis sampai Bia sendiri tidak menyadari. Setelah itu Axel berbalik dan meninggalkan Bia yang mengedip-ngedipkan matanya, tampak bingung.

Beberapa saat Bia diam, lalu kemudian menutup wajahnya "Gila, gue gak waras" ucap Bia saat menyadari apa yang baru saja terjadi, "Malu banget sumpah," Bia berteriak tanpa suara saat mengingat kekonyolannya.

"Gue juga malu banget liat lo sumpah deh," ucap Kiki berjalan mendekat ke arah Bia yang duduk merosot di lantai. "Bia lucu, katanya hanya mau ngajak kak Axel jalan Minggu nanti, tapi malah ngajak pacaran," Enjel ketawa kecil melihat Bia.

"Benar, mana udah kayak orang memohon-mohon lagi," ucap Kiki ikut tertawa kemudian membantu Bia yang tampak tidak memiliki tenaga. "Gue mau mati aja bisa gak sih? Mama, Bia mau menghilang aja," ucap Bia merengek, masih untung tidak ada orang lain yang melihat.

"Udah deh, udah terlanjur juga" ucap Kiki disela-sela tawanya, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali. Saat menuruni tangga hp di saku Kiki berdering membuat mereka berhenti berjalan.

"Kenapa Ki?" Tanya Bia saat melihat Kiki yang tidak menjawab panggilan masuk di hpnya. "Rehan, nyuruh gue ambil berkas. Kalian duluan aja," ucap Kiki, membuat Bia dan Enjel menatap heran ke arahnya.

"Ruangan OSIS kan ada di bawah Ki, kita bareng-bareng aja ke bawah" ucap Enjel, Bia mengangguk setuju. "Gue mau ambil berkas dulu di kelas Rehan, katanya berkasnya ada di tas dia," ucap Kiki kemudian kembali naik dan berbelok ke kiri, bagian kelas sebelas IPS.

Sedangkan Bia dan Enjel berbarengan jalan ke bawah, saat sudah sampai di lantai satu mereka langsung di sambut tiga orang siswa laki-laki. Angkasa yang hanya mengenakan celana SMA-nya dengan baju kaos polos berwarna hitam, sama dengan Iqbal yang menggunakan baju kaos putih dengan gambar kartun si kembar botak. Sedangkan Angga masih menggunakan seragam SMA-nya tapi tidak dikancing memperlihatkan baju kaos nya yang berwarna hitam dengan tulisan abstrak putih.

"Lama banget si Bia? Perasaan udah jam pulang sekolah dari satu jam yang lalu," ucap Angkasa. "Kita aja baru di sini lima menit yang lalu," ucap Iqbal memperjelas kalau mereka tidak ikut mata pelajaran jam terakhir.

"Enjel, mau dianterin pulang sama Abang Aka gak? Atau udah dijemput?" Tanya Angkasa saat melihat Enjel yang sedari tadi tersenyum, seperti itulah Enjel, si murah senyum.

"Gue mau Lo taroh dimana?" Ucap Bia dengan nada tinggi membuat Angkasa memejamkan matanya. "Gak apa-apa kak, Enjel bisa pulang naik taksi," ucap Enjel lembut.

"Bal, anterin nih jangan sampai lecet" ucap Angkasa pada Iqbal sedangkan Enjel langsung menolak karena tidak enak hati, "Gak usah, kak Iqbal bisa anterin Kiki aja sepertinya Kiki bakal lama karena ada urusan dulu," ucap Enjel mengingat Kiki yang hari ini tidak bawa motor.

"Angga," Angkasa menoleh pada Angga si manusia es batu, paham kan antara es dan batu. "Gak," ucap Angga singkat, padat dan jelas.

"Angga anterin ih, Lo teman sekelas kita bukan sih. Gue ada urusan dulu sama Aka, gue duluan" Ucap Bia, kalau sudah Bia yang bicara pasti pada nurut, terutama Angga.

•••••
Jangan lupa vote, gratis kok
Tetap tungguin kelanjutannya ygy, sambil nunggu harus tetap💅
Jangan lupa senyunnnn😽

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang