Satu

108 45 9
                                    

Happy reading😁

Pukul 17:15

Langit sedang berhiaskan senja yang indah ketika Sela melangkahkan kaki menuju pelataran rumahnya . Sesaat ia mendongakkan kepalanya, menatap langit sebelum membuka pintu rumah. Ia nikmati sejenak indahnya warna langit yang memerah, burung-burung yang terbang menuju ke sarang, serta sinar matahari sore yang memancarkan siluet diantara dedaunan.

Cantik sekali suasana sore ini. Beberapa menit Sela hanya berdiri mematung dengan kepala menengadah ke langit. Mempersiapkan diri memasuki rumah yang lebih mirip seperti kandang binatang buas baginya.Bisa dipastikan ia akan langsung kena marah, karena memang itulah yang Sela alami setiap hari.

Dan benar. Baru saja Sela menginjakkan kaki di ruang tamu ia langsung dihadiahi tatapan tajam milik sang papa. "Darimana aja kamu jam segini baru pulang?! "

Sela hanya berdiri menatap papa tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Percuma saja dijawab karena memang jawaban itu tidak ada gunanya. Sebab apapun jawaban Sela pasti setelah ini tinju papa akan segera melayang.

"Kalau ditanya itu jawab! " Bentak Arga sekali lagi.

Sela mendongakkan kepala. "Percuma Sela jawab karena apapun jawaban Sela, setelah ini papa bakal pukul Sela, iya kan? "Sela memincingkan matanya.

"Kurang ajar! "

𝘗𝘭𝘢𝘬!

Sela memenangi pipinya yang memerah karena tamparan papanya. Matanya Berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Baginya tamparan ini tidak sakit. Yang membuat Sela ingin menangis adalah kenapa ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari papa. Dulu ketika papa hendak memarahinya ada mama yang selalu melindungi. Tapi sejak mama meninggal papa menjadi lebih sering marah, bahkan bukan hanya marah sekarang papa juga sering memukulnya, hal yang tidak pernah papa lakukan ketika ada didepan mama.

"Kenapa sih saya harus punya anak bandel seperti kamu? Sekali-kali cobalah kamu seperti Seli-"

"Cukup pa! Berhenti ngebandingin aku sama Seli, dari dulu yang papa sayang emang cuma Seli, Seli, Seli, dan Seli. Papa nggak pernah ngertiin Sela, dimata papa emang hanya Sela yang selalu salah dan Seli yang selalu benar. Iya kan? " Aku tersenyum miris

"Makin kurang ajar kamu-" Tangan Arga sudah bersiap untuk kembali menampar tapi Seli langsung menahannya.

"Cukup pa, kak Sela pulang telat karena dia ada rapat OSIS tadi. "

Mendengar penjelasan putri kesayangannya papa langsung menghempaskan tangan Seli dari pergelangan tangannya dan berjalan memasuki kamar.

Setelah Arga pergi Sela menatap Seli-saudara kembarnya sesaat sebelum akhirnya ia juga berjalan ke kamar. Seli melemparkan tas sekolah secara asal sebelum akhirnya merembahkan tubuh di tempat tidur. Baru saja Sela hendak memejamkan mata seseorang memasuki kamarnya. Kali ini bukan papa melainkan Seli.

"Ngapain lo tadi pake boong segala ke papa kalo gue ada rapat OSIS? "Tanya Sela to the poin. Karena sebenarnya sudah dua minggu ini ia mengundurkan diri dari keanggotaan OSIS.

"Karena gue nggak tega liat lo tiap hari dipukulin papa. " Seli ikut merebahkan tubuh disamping Sela. "Lagian lo kemana aja sih dari tadi jam segini baru pulang? "

"Ke tempat yang bisa bikin gue tenang, dan itu nggak pernah gue rasain di rumah sejak mama meninggal."

"Tapi kalo kaya gini lo bakal dipukul papa tiap hari kak, "

"Biarin aja. Biarin papa mukul gue tiap hari, kalo perlu pukul aja gue sampe gue mati. Gue nggak peduli. Karena selama ini yang jadi putrinya cuma lo Seli, cuma elo. Bahkan gue nggak tau gue itu sebenarnya anak kandung papa atau bukan. "

"Kita kembar kak, selisih umur kita cuma tujuh menit, kita sama-sama anak papa. "

"Oh, ya? Tapi kenapa yang papa sayang cuma elo? Om, tante, nenek semuanya cuma sayang sama elo Sel, "

"Kak-"

"Bahkan Asraf juga sayang banget sama elo. " Pungkas Sela, ia menatap kembarannya dengan sorot mata yang penuh luka.

Asraf adalah teman Sela si sekolah, cowok yang dirinya suka. Ia mengenal Asraf semenjak duduk di bangku SMP, dia lelaki yang baik, pintar dan tampan, ah mengingat namanya saja bisa membuat Sela salah tingkah, sudah sejak lama ia menaruh rasa kepada Asraf namun sialnya cinta Sela bertepuk sebelah tangan karena ternyata perempuan yang Asraf suka bukanlah dirinya melainkan Seli.

Lagi-lagi adiknya yang merebut semuanya. Kenapa dunia tidak pernah berpihak kepadaku, batin Sela. Tidak tahu kah Tuhan jika dirinya menderita dengan keadaan ini. Tuhan seakan-akan mengambil semua kebahagiaannya lalu bersamaan dengan itu Tuhan menghadirkan Seli yang hidupnya penuh dengan kebahagiaan, apakah ini adil Tuhan? Kami berdua terlahir dari rahim yang sama, dari ayah yang sama. Bahkan kami sudah bersama semenjak dari dalam kandungan tapi kenapa Seli yang selalu bahagia dan Sela selalu menderita, apakah ada yang salah dengan takdir ini?

" Gue iri sama lo Sel, "Setelah mengatakan itu Sela bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Seli hanya diam. Ia menatap kosong foto keluarga yang terpajang di meja belajar kakaknya.

Air mata yang sedari tadi Sela tahan akhirnya jatuh. Di saat seperti ini sosok yang sangat ia rindukan adalah mama. " Ma, Sela kangen, Sela pengen ketemu mama." Sela memukul dadanya yang terasa sesak.

Sementara di luar Seli yang mendengar tangisan kakaknya berucap lirih"bukan cuma lo yang kangen kak, gue juga kangen mama, gue kangen keluarga kita yang dulu.

Saat Sela keluar dari kamar mandi Seli sudah tidak ada di dalam kamarnya. Seli memang selalu begitu. Sering keluar dan masuk ke kamarnya, tapi tidak dengan Sela, sejak dirinya dan Seli pisah kamar yaitu sekitar sembilan tahun yang lalu sampai sekarang Sela memasuki kamar Seli bisa dihitung dengan jari. Bisa dibilang kegiatan sehari-harinya hanyalah berada di dalam kamar. Bosan? Sebenarnya sih iya, tapi itu lebih baik untuknya daripada harus bersantai di ruang keluarga bersama dengan ayah dan Seli. Kenapa? Tentu saja karena Sela akan diperlakukan seperti patung yang tidak memiliki nyawa. Diabaikan begitu saja. Masih untung kalau hanya diabaikan, setidaknya Sela masih bisa mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel atau menonton televisi, terkadang Arga bahkan dengan terang-terangan berkata bahwa dirinya tidak menyukai anak seperti Sela. Itulah yang membuatnya lebih memilih menyendiri di kamarnya yang tenang damai dan nyaman dibandingkan harus duduk menghabiskan waktu di ruang keluarga bersama bersama Seli dan papanya.

Sela menggelengkan kepala, berusaha menghapus ingatan menyakitkan itu dari pikirannya.

Tatapan Sela kini tertuju ke arah meja belajar. Sebuah kotak kado tergeletak-ah bukan, lebih tepatnya memang sengaja ditaruh di sana. Kotak mungil dengan warna biru itu diletakkan di samping kue tart dengan lilin angka 17 yang apinya sudah padam. Tak terasa kini usianya sudah tujuh belas tahun saja. Tujuh belas tahun ia hidup dengan banyak kesedihan.

Haha
Miris sekali hidupnya.

TBC.

Hola... Hola....Holaaaa

Gimana ceritanya barusan? Seru nggak nih? Kayaknya biasa aja sih ya. Tapi nggak apa- apa lah, kalian mau baca cerita ini aku udah seneng banget. Makasih makasih makasih kalian udah menyempatkan buat baca cerita ini. Kalau dirasa part nya kurang panjang maaf ya soalnya aku juga bingung banget mau bikin kata-kata yang kayak gimana. Tapi sekali lagi makasih udah mau baca. Kasih vote juga kalau kalian suka sama ceritanya,

Kita ketemu di part selanjutnya yah,

See you.....

LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang