Ali-nya Laila

7 0 0
                                    

Gadis bermata kelabu itu bernama Laila, ia senang berlama lama duduk didepan jendela atau di tepian ranjang pesakitan. Setiap hari ia komat Kamit macam membaca mantra padahal ia hanya sedang menyebut nama Ali layaknya dzikir dalam sehari. Kadang ia duduk sambil membaca buku tua berwarna kuning kecoklatan, didalamnya terdapat tulisan Arab yang separuhnya sudah buram. buku itu seukuran buku saku dibawa kemana mana seperti jimat keselamatan.

"Ali belum kembali?"
Tanya Laila pada suster Nina sambil melihat lampu lampu di luar jendela yang mulai menyala.

"Belum non, sambil menunggu Ali nona Laila minum obat dulu ya"
Suster Nina sampai hafal apa yang akan ditanyakan Laila setiap malam.

"Diluar gerimis ya sus?"

"Iya non, mungkin sebentar lagi hujan"

"Ali pasti kehujanan, dia sering lupa membawa mantel. Ali pasti kesulitan, kalau sedang hujan motornya sering rewel"
Kata Laila sambil terus memandang jendela, dari sorot matanya ada banyak tatapan putus asa bersarang disana.

"Apa nona Laila sedang khawatir Ali sakit?"
Tanya suster Nina, Laila mengangguk sebagai jawaban.

"Ali juga khawatir nona Laila tidak lekas pulih. Nona Laila tidak mau Ali khawatir bukan?"
Sekali lagi pertanyaan dari suster Nina itu dijawab dengan anggukan.
Suster Nina menyerahkan segelas air hangat dan beberapa butir pil pada Laila.

"Obat ini akan percuma sus, jika suster tidak membawa Ali kemari"
Laila meminum obat itu sekali teguk, menatap pantulan air hujan dari jendela.

Benar memang kata Laila, obat yang setiap hari suster Nina berikan tidak ada gunanya. Setiap hari Laila tidak berubah barang sejengkal, cintanya pada Ali malah terus bertambah. Laila makin gemar menceritakan Ali meski sejujurnya suster Nina sudah bosan.

"Istirahatlah non, siapa tau nanti tuan Ali datang"
Suster Nina menyelimuti Laila yang kini berbaring setelah minum obat, lalu mengganti suhu ruang ke mode hangat.

"Bisa bacakan ini untuk ku?"
Laila menyerahkan buku saku yang telah lusuh itu pada suster Nina, suster Nina yang buta huruf Hijaiyah langsung menolak secara halus.

"Maaf non, suster tidak bisa membaca huruf Hijaiyah "

"Jika ada Ali mungkin ia akan suka rela membacakan bait bait ini pada ku"

"Kalau boleh tau, buku apa itu non?"

"Ini bukan buku, ini jimat pemberian Ali namanya alfiyah. Orang orang sok tau, mereka pikir aku gila gara-gara tidak kuat menghafal alfiyah, padahal didalamnya tidak ada yang membahas adu kekuatan"
Laila berbaring

"Siapa bilang nona gila, nona Laila cukup waras dibanding mereka yang menyebut nona Laila gila"
Kata suster Nina sambil menepuk pundak Laila pelan. Membesarkan hatinya menghadapi kenyataan bahwa ia dinyatakan gila tak berselang lama mengenal Ali.

"Kalau cukup waras, seharusnya suster berhenti memberi ku obat"
Kata Laila sambil tersenyum sambil memejamkan mata, sepertinya ia sadar salah satu obat yang ia minum tadi mengandung obat tidur. Suster Nina juga tersenyum merasa berhasil memenangkan Laila walau sebentar sebab Laila tidak pernah sepenuhnya istirahat mencintai Ali, ia tidak pernah alpa merindukan Ali walau semalam.

"Selamat tidur non"
Kalimat penutup suster Nina kepada Laila setelah seharian bekerja. Dimatikannya lampu kamar secara perlahan sambil memastikan Laila benar benar pulas dalam tidurnya, dilihatnya punggung Laila yang naik turun mengikuti ritme nafasnya, lalu membuka pintu dan menutupnya kembali tanpa bersuara.

Setiap hari dalam perjalanan pulang, suster Nina bertanya tanya siapa Ali yang begitu tega meninggalkan Laila seorang diri? Atau berpikir tentang sampai kapan Laila akan terus-menerus mengkhawatirkan Ali dan mulai mengkhawatirkan dirinya sendiri?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gilanya Laila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang