48. I'M THAT BOY

738 131 51
                                    

"Sen, beneran enggak mau pergi dulu dari rumah? Mau ke rumah gue? Enggak berdua kok, ada Mama gue di rumah—"

"I need Jeno..." sela Sena lirih sembari mengeratkan jaket Jaemin yang terpasang di badannya.

Jaemin hanya bisa menghela napas. Ia tidak bermaksud buruk. Ia hanya ingin menyelamatkan mental gadis ini. Beberapa menit yang lalu gadis ini ingin bunuh diri karena orang di rumahnya. Tapi, Sena malah ingin kembali ke rumah.

Jaemin hanya mengkhawatirkan Sena.

Sekarang mereka sudah berada di depan pintu rumah Sena yang tertutup. Jaemin merangkul Sena, menopang gadis yang tampak sangat lemah itu. Saking lemahnya, tiap kali gadis ini melangkah, kakinya selalu bergetar dan tubuhnya seperti akan jatuh.

"Sena!" sang papa langsung berjongkok dan memeluknya dalam-dalam. Memejamkan mata dan kemudian mulai menitihkan air mata. Ia sangat khawatir.

Tak lama kemudian, Jeno datang. Ikut memeluk dirinya membuat isakannya pecah.

Tadi Jeno pergi untuk mencari Sena. Berpencar dengan Jaemin saking takutnya gadis itu benar-benar akan melakukan bunuh diri.

Jaemin, entah kenapa kali ini ia memilih untuk pergi ke rooftop sekolah, karena ia melihat sorot keputusasaan milik Sena. Feeling nya yakin bahwa gadis itu benar-benar akan bunuh diri karena terlalu putus asa dari sorot matanya. Selain itu, Sena pernah menyebutkan rooftop sekolah sebagai tempatnya untuk melakukan bunuh diri, jadi tanpa pikir panjang Jaemin langsung pergi ke sana.

Setelah sampai di rooftop sekolah dan menenangkan Sena, ia mengabari Jeno bahwa Sena aman bersamanya. Jeno ingin menjemput Sena, namun Jaemin mengatakan bahwa untuk tidak datang, karena jika Jeno datang, gadis itu tidak akan benar-benar melepas beban pikirannya. Jadi, Jeno mempercayakan Jaemin untuk menjaga Sena dan memilih untuk pulang dan menunggu di rumah.

Kedua lelaki yang sangat ia sayangi memeluknya dengan tulus. Membuat hatinya kembali terhanyut dan berdenyut. Air matanya kembali menitih karena keharuan.

"Lusa kamu bakalan pindah sekolah."

Suara sang mama yang dingin menceletuk di tengah suasana haru itu. Kehadirannya membuat suasana haru itu mendadak buyar. Semuanya tanpa terkecuali berbalik menatap Joy dengan baju dress bunga-bunga berdiri angkuh dengan wajah datar dan dingin.

"Kamu enggak mau sekolah di sekolah kamu yang sekarang, kan? Mama udah pesan tiket pesawat buat kamu—"

"Ma—" Jeno menyela dan berdiri dengan tatapan sendu.

"Yang pindah cuma kamu sendiri. Jeno tetep disini. Mama udah kabarin bawahan Mama untuk urus segala keperluan kamu disana. Sekolah, tempat tinggal udah ada—"

"Maa, jangan gini dong, Ma." Terlihat wajah frustasi dari sang kembaran.

Joy menyilangkan tangannya di depan perut membuat kesannya benar-benar terlihat angkuh. "Jangan gini gimana? Kembaran kamu sendiri yang minta pindah—"

"Iya, aku bakalan pindah. Tapi aku mau pergi naik kapal," sela Sena dengan sorot mata tak terbaca menatap sang mama. "Aku enggak mau pergi naik pesawat—"

"Sena, kamu disini aja, ya? Temenin Papa sama Jeno—"

"Oke. No problem. Mama bakalan pesenin buat kamu."

Keadaan hening. Semuanya terdiam mendengar ucapan Joy. Terutama Jaemin. Bahkan pemuda itu membuka sedikit mulutnya saking tidak percayanya ada seorang Ibu seperti ini.

Ternyata benar yang dikatakan sang Mama. Mama Sena benar-benar egois dan tidak memiliki perasaan.

Disela-sela keheningan itu, Jeno langsung menggenggam erat tangan Sena. Menatap Sena dengan penuh permohonan agar gadis itu tidak pindah walaupun sebenarnya Sena yang meminta untuk pindah sekolah.

Ia tidak mau bertemu dengan Hyunjin. Ia tidak bisa.

"Sen, lo jangan pindah, ya? Sama gue aja disini. Sekolah bareng gue. Gue bakalan lindungin lo. Gue bakalan nurutin kemauan lo. Lo mau kalo gue sama Karina putus, kan? Gue bakalan putusin buat lo—"

"Biarin aja kembaran kamu pindah, Jeno! Biar anak sakit mental kayak dia enggak nyusahin orang-orang!"

Sakit. Dadanya kembali berdenyut sakit. Matanya kembali terasa panas. Bibirnya ia ulum ke dalam, membekapnya kuat-kuat kemudian membuka sedikit mulutnya, menghembuskan rasa sesak pada dadanya.

"Tante yakin Tante adalah orangtua? Tante yakin Tante udah berhak untuk menjadi seorang Ibu?" Tiba-tiba Jaemin memajukan badannya. Menantang wanita yang sudah sangat keterlaluan itu.

"Siapa kamu—"

"Enggak perlu tau siapa saya! Saya cuma kaget liat, bisa-bisanya seorang Ibu melontarkan kata seperti itu. Kata sakit mental itu bukan untuk dijadikan hinaan. Bahkan saya lebih kaget bahwa di depan saya ada seorang Ibu yang mengatakan anaknya sendiri sakit mental."

"Jaemin, udah. Jangan—"

Jaemin menepis pelan tangan Sena yang menyuruhnya untuk diam. "Kalau Sena memang sakit mental, Anda enggak perlu tanya kenapa Sena sakit mental, dong? Karena sudah pasti penyebabnya adalah Anda! Penyebab anak sendiri menjadi tidak waras!"

DEGG

Jantungnya mendadak terhenti selama satu detik. Jantungnya seperti dipukul kuat-kuat oleh perkataan Jaemin—anak tak dikenal yang ada di hadapannya.

"Anda enggak tau? Kalau anak Anda—Sena selalu mencoba untuk bertahan hidup setiap harinya! Sena selalu coba untuk hidup dengan baik tiap detiknya! Tapi dengan mudahnya Anda memaki dan menghina anak Anda sendiri seperti ini! Yang sakit mental seharusnya itu adalah Anda!"

Entah kenapa Jaemin menggunakan kata 'Anda' untuk menyebut wanita itu. Ia terlalu marah. Ia sangat marah melihat perlakuan itu.

"Orangtua yang lain, kalau anaknya sakit mental akan dibawa ke psikolog atau psikiater untuk tau apa penyebab anaknya mempunyai mental yang tidak sehat , tapi liat gimana respon Anda? Anda bahkan malah maki Sena dan menganggap sakit mental bukanlah apa-apa!"

Di dalam sana, hanya suara Jaemin yang menggema.

"Orangtua, bahkan seorang Ibu tidak akan pernah tega menghina, memaki dan merendahkan anaknya sendiri dengan kata sakit mental yang rendahan itu. Orangtua yang berani mengatakan hal seperti itu kepada anaknya adalah orangtua yang mempunyai mental yang tidak sehat. Itu kata Mama saya."

Jaemin menatap Joy dengan tatapan tajam. Matanya berkaca-kaca dan merah karena amarahnya. Ini sudah keterlaluan. Sakit mental bukanlah hal yang sepele. Sakit mental bukanlah kata yang pantas untuk dilontarkan kepada siapapun itu.

Tidak ada yang ingin sakit mental.

Joy, wanita itu terdiam seribu bahasa dengan mata berkaca-kaca. Dadanya mendadak berdenyut sakit mendengar fakta-fakta itu keluar dari mulut Jaemin.

"Dan tolong, jangan pernah salahin Sena lagi. Jangan tuduh dia lagi penyebab anak cowok itu ketabrak. Penyebab anak cowok itu ketabrak dan koma itu bukan salah Sena—"

"Kenapa kamu ungkit itu!"

"Karena Tante sendiri selalu ungkit itu!"

Diam. Wanita itu kembali terdiam dengan rahang yang bergetar.

"Yang bikin anak cowok itu ketabrak itu bukan Sena. Tante harus percaya—"

"TERUS SIAPA KALO BUKAN DIA!" Secara tiba-tiba Joy berteriak, membuat Sena, Jeno dan Taeyong tersentak kaget.

Berbeda dengan Jaemin. Pemuda itu tetap berdiri tegak, layaknya seorang tentara.

Namun, tiba-tiba Jaemin menoleh ke arah Jeno. "Jeno, lo bisa jelasin, kan? Lo tinggal bilang kalo itu kesalahan lo."

Dan kini, semua pasang mata tertuju pada Jeno. Pemuda itu mendadak terdiam kaku. Sekujur badannya panas-dingin. Kerongkongannya terasa kering dan saliva nya terasa berat.

Sampai lima menit berlalu, Jeno tak kunjung membuka suara.

"Tinggal bilang kalo itu salah lo kenapa sih, Jen—"

"Kenapa kamu berani bilang gitu! Kenapa kamu percaya sama omongan Sena! Kenapa kamu berani nuduh Jeno!"

"Karena saya—anak itu..."
























Hayoooo🗿kepikiran gak🗿

Brother Sissy | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang