00. Transmigrasi
Seorang gadis terbangun dengan terkejut. Detak jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Rambut panjangnya yang tergerai di atas bantal seakan menjadi saksi bisu dari tangisan yang mengalir deras. Ia terisak, mengenang kejadian yang baru saja dialaminya—sebuah kenyataan yang begitu sulit diterima.
"Avey, sayang?" Suara lembut terdengar dari balik pintu.
Tak lama, pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya yang cantik muncul sambil membawa nampan. Melihat putrinya menangis terisak, wanita itu terkejut. Dengan langkah cepat, ia mendekat dan meletakkan nampan di nakas.
"Kamu kenapa? Hei, udahan nangisnya," bujuknya berusaha menenangkan.
Grace, gadis yang tengah menangis itu menatap wanita di depannya dengan mata penuh kebingungan. Dalam sekejap, ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya dengan erat, tak bisa lagi menahan isak tangisnya. Wanita itu mengelus punggung putrinya, berbisik pelan untuk menenangkan hati yang terpuruk.
"Avey kenapa, Mom?" tanya seorang pria paruh baya, suaminya, yang baru saja masuk dan melihat putrinya menangis dalam pelukan istrinya.
"Gak tau, waktu Mommy masuk, Vey udah nangis," jawab sang ibu dengan khawatir.
Gadis itu adalah Grace Aradina Diandra. Seorang gadis yang baru saja mengalami transmigrasi. Namun, ia belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, pikirannya masih terfokus pada kedua orang tuanya. Tiba-tiba, Grace menyadari kehadiran seseorang di luar dirinya dan ibunya. Ia menoleh cepat, begitu melihat pria itu, rasa terkejut langsung melanda. Tanpa berpikir panjang, ia melepaskan pelukan ibunya dan berlari memeluk pria itu dengan erat, menangis lebih keras lagi.
"Dad, Daddy... sama Mommy, selamat," ucapnya. Suaranya terputus-putus, hampir tak terdengar karena isak tangis yang membelenggu. Ia berusaha keras untuk tetap berbicara, tetapi air mata mengalir begitu saja, menyelimuti wajahnya yang pucat.
Pria itu mengelus punggung putrinya dengan lembut dan bertanya, "Selamat kenapa, hm? Kamu gak pusing? Kemarin bukannya kamu baru aja minum alkohol?"
Pertanyaan itu membuat Grace segera melepaskan pelukannya dan mengernyitkan dahi, kebingungan. Saat itu juga, ia baru menyadari bahwa ruangan ini berbeda dari kamar yang biasa ia kenal. Begitu menoleh ke atas, wajah pria itu membuatnya semakin terkejut, dan ketika menatap ibunya, rasanya seperti dunia terbalik.
Ayah kandung Grace biasanya setinggi dirinya, sementara ibunya lebih pendek darinya. Akan tetapi, pria di depannya sekarang jauh lebih tinggi, sementara wanita di sampingnya memiliki tinggi yang persis sama dengannya.
Grace mundur beberapa langkah, menggelengkan kepalanya, dan air matanya kembali mengalir.
"Gak... Gak mungkin... Dad... Mom..." lirihnya tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Aaaaa... nggak! Mereka masih hidup! Grace aja hidup, masa mereka enggak!" teriaknya, suaranya penuh keputusasaan. Tangisannya pecah, tubuhnya bergetar hebat, seolah tak bisa menerima kenyataan yang ada. Kedua orang dewasa itu saling berpandangan, rasa khawatir mereka semakin mendalam saat melihat penderitaan yang begitu dalam di mata putri mereka.
Dalam kebingungannya, Grace akhirnya jatuh pingsan. Tanpa ragu, pria itu segera menggendong dan membawa putrinya ke rumah sakit karena merasa cemas dengan apa yang telah terjadi pada putri satu-satunya itu.
***
Gadis dengan selang infus yang tertancap di tangan kirinya itu terbaring, menatap langit-langit ruangan. Hembusan napasnya terdengar beberapa kali, menunjukkan betapa beratnya perasaan yang sedang ia alami. Gadis itu tak lain adalah Grace, kini ia sedang terperangkap dalam kebingungannya.
Grace memikirkan ucapan seseorang yang sempat muncul dalam mimpinya.
"Semoga di kehidupan yang sesungguhnya, kamu merasa bahagia. Terimalah takdirmu dan maafkan aku. Hiduplah dengan bebas, tanpa merasa terbebani."
Kata-kata itu membuat Grace semakin bingung. Ia masih merasakan duka mendalam atas kepergian orang tuanya, hingga akhirnya menyadari bahwa apa yang sedang dialaminya sekarang adalah sesuatu yang dianggap tidak nyata oleh orang lain. Namun, ia ada di sini, merasakannya—sebuah transmigrasi, seperti yang pernah ia baca dalam novel-novel favoritnya.
Semoga Daddy dan Mommy bahagia di sana, batinnya, mencoba mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka sehingga menarik perhatian Grace. Pasangan yang tampak masih muda meskipun sudah memiliki tiga anak, muncul di ambang pintu. Wanita yang tadi dipeluk olehnya mendekat kepadanya.
"Gimana kondisi kamu, Vey? Masih ada yang sakit nggak?" tanya wanita itu dengan lembut, mengelus kepala Grace penuh kasih sayang.
Grace menggelengkan kepalanya, lalu bertanya, "Nama aku siapa?"
Pertanyaan itu membuat pasangan tersebut terdiam dan tangan wanita itu berhenti mengelus kepala Grace, seolah terhenti oleh sebuah ketegangan yang tiba-tiba muncul.
"Kamu lupa sama nama kamu sendiri?" tanya pria yang sedari tadi diam, suaranya penuh kekhawatiran.
"Enggak, cuma mau pastiin aja," jawab Grace dengan cepat.
"Nama kamu Harvey Grace Madeline Davies, putri dan cucu perempuan satu-satunya keluarga Davies," jelas wanita itu sambil mengusap kepala Grace dengan penuh kasih sayang.
Davies? batin Grace, merasa nama itu terdengar sangat familiar.
Grace mengangguk pelan, lalu berkata, "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kepalaku mulai pusing."
Pasangan itu mengerti dan menyarankan Grace untuk tidur saja. Grace pun menutup matanya, membiarkan pikirannya terbenam dalam kebingungannya tentang nama yang terasa begitu akrab itu.
Ah... kini Grace ingat. Davies adalah marga dari second male lead dalam novel yang baru saja ia baca, seorang sadboy yang cukup menyedihkan. Lebih tepatnya, Kevan Damian Davies. Kevan adalah tokoh pendukung yang membantu membangun citra protagonis perempuan dalam cerita novel terakhir Grace baca, Destiny.
Artinya, peran Grace saat ini adalah hanya sebagai figuran—adik yang menurutnya sangat menyebalkan. Dalam novel tersebut, Kevan sering kali menghubungi adiknya, Harvey, tetapi selalu diabaikan. Harvey akan membiarkan Kevan berbicara sendiri, seolah-olah ia sedang berbicara dengan benda mati. Bahkan, tak jarang Harvey akan berkata ketus atau langsung mematikan telepon begitu saja saat Kevan mulai menceritakan kesehariannya. Menurut Grace, Kevan adalah definisi lelaki yang sangat menyedihkan.
Kenapa gue gak dikasih ingatan apapun? Biasanya, kalau di novel yang gue baca, setelah transmigrasi langsung dikasih ingatan tentang raga yang ditempati, batin Grace, kebingungan.
Terus, jiwa asli Harvey kemana? Apa nggak apa-apa gue tempatin raga ini dan bertindak sesuka hati kayak yang dibilang seseorang di mimpi semalam? pikir Grace lagi, yang entah sedang bertanya kepada siapa.
Setelah berperang dengan pikirannya sendiri dan merasa pusing, Grace akhirnya memutuskan untuk mengikuti apa yang seseorang katakan dalam mimpinya semalam. Untuk saat ini, ia memutuskan untuk tidur lagi karena kepalanya masih terasa sangat pusing memikirkan semua hal yang telah terjadi.
♡♡♡
Haii!! Since this is my first new story after a long time buat mikirin publish apa enggaknya and then finally aku publishh yeayy!
First of all, makasih banyak buat yang udah baca notes ini, mampir ke akun aku buat baca cerita ini, dan kasih VOMMENT ♡♡♡
Aku berharap kalian bakalan suka sama cerita ini, aku buat cerita ini karena aku suka tema tentang transmigrasi tapi, aku belum nemu cerita yang aku mau. So, here we go~ Akhirnya aku buat aja dehh
Btw kalo ada kritsar leh banget ya buat dm aku, hehehe :D
See you next page ♡
Revised, 11/11/24
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Figuran? | END
Teen Fiction⚠️ Warning 18+ | in revision Grace Aradina Diandra adalah seorang mahasiswa yang mengalami transmigrasi ke dalam dunia novel dan menjadi seorang figuran yang namanya hanya disebutkan untuk menjadi pelengkap cerita. Figuran yang menyebalkan dan membu...