First Match

2.7K 181 0
                                    

Saat ini, Varo beserta rekan timnya sedang melakukan pemanasan. Tim basketnya akan bertanding, melawan tim SMA yang menjadi musuh bebuyutan sekolahnya selama ini. Atmosfer di lapangan sudah mulai memanas. Terlebih Varo, ini pertama kalinya ia bisa masuk starting line up. Kedua kakaknya, Vano dan Vale pun sudah berada di tribun demi mendukung pertandingan adik kecilnya itu.

"Val, lo bawa air minum gak?"

"Bawa. Kenapa?"

"Bagi dong dikit, seret banget ini" ujarnya sambil mengusap - usap tenggorokannya

"Punya lo emang kemana?"

"Ketinggalan di kelas. Dah cepet ah"

Kemudian Vale memberikan botol air minumnya pada Vano. Peluit dibunyikan, tanda pertandingan akan segera dimulai. Vale kembali fokus menghadap ke lapangan. Melihat adiknya berdiri disana, mengenakan nomor punggung 3. Sesuai urutan lahir anaknya Bapak Martin, katanya. Vale tersenyum, begitu bangga melihat adiknya bisa sampai sejauh ini. Ia ingat betul saat dirinya dan Vano menemani Varo berlatih basket di halaman belakang. Hujan sedang turun, namun mereka tak begitu saja menyudahi latihan mereka. Alhasil, esoknya ketiganya terserang flu. Bahkan Vano harus mengunjungi klinik agar bisa sehat kembali.

Saat ia sadar dari lamunannya, pertandingan sudah dimulai. Ia mengamati permainan tim sekolahnya, khususnya ia lebih memperhatikan Varo. Harus Vale akui, adiknya ini memang handal dalam banyak jenis olahraga. Dan basketlah yang paling menonjol.

"Varooo ayo serang teruuus!!" ujar Vano. Sebetulnya, mereka berdua ini tak begitu mengerti tentang dunia basket. Yang mereka tau, hanya hal - hal standar. Itu pun hasil obrolan sehari - hari mereka dengan Varo. Ia bisa menjadi sangat bawel dan aktif saat bercerita tentang pertandingan basket yang baru saja ia saksikan dari layar kaca.

Varo benar - benar menunjukkan hasil latihan kerasnya selama ini. Terbukti dari cukup banyaknya poin yang ia hasilkan untuk timnya, untuk sekolahnya. Sang pelatih pun meminta time out, memberi arahan pada anak asuhnya agar pertandingan tetap berada di tangan mereka. Semua pemain begitu serius mendengarkan, sampai peluit berbunyi Varo sempat melirik ke arah dua saudaranya. Melambaikan tangan dengan semangat.

Detik demi detik terlewati, pertandingan terus bergulir. Vale bisa melihat raut lelah sang adik. Varo bernafas dengan terengah - engah. Dek, ayo dikit lagi lo pasti bisa, ujarnya dalam hati. Di penghujung waktu, terlihat Varo sedikit tersulut emosi ketika salah satu lawannya dengan sengaja mendorong Yugi, rekan satu timnya yang dinobatkan sebagai kapten tim. Varo sangat dekat dengan Yugi. Tentu saja ia tidak terima rekannya di dorong begitu saja dengan sengaja. Tensi permainan semakin naik, suasana di lapangan maupun di bench sama - sama memanas. Beruntung Jerry berhasil meredam amarah Varo, menariknya menjauh.

Vano sedari tadi tak melepas pandangannya dari Varo. Ia tau betul, adiknya yang satu ini mudah sekali tersulut emosi. Ia khawatir, namun satu usapan kecil membuatnya menoleh ke arah kiri, tempat dimana Vale berada

"Lo tenang aja, di lapangan ada Jerry. Dia bisa handle" Vano hanya menghela napas, kemudian setelahnya mengangguk kecil.

Siang itu, Vano dibuat terkejut ketika adik bungsu nya pulang dalam keadaan terluka. Ada bekas memar membiru di area wajahnya, pelipisnya sedikit robek. Meninggalkan bekas darah yang sudah mengering. Ujung bibirnya pun terlihat memerah. Apa yang adiknya ini lakukan?

"Var, lo kenapa?" Tanya Vano pelan sambil menghampiri adiknya. Belum selesai disitu, di belakangnya muncul adiknya yang pertama, Vale. Tidak, tidak ada luka di wajahnya. Namun, matanya sedikit memerah dan seragam sekolahnya sedikit kusut, terlebih di bagian kerah kemejanya

"Vale juga kenapa ini? Kalian abis ngapain?"

"Sorry, gue yang jadi biang masalahnya" ujar Vale

"Nggak ya. Udah jelas - jelas dia itu nge-bully elo. Kenapa lo diem aja hah? Lawan dong!!" Varo menjawab dengan emosi yang tertahan. Ia masih sadar, Vano dan Vale adalah kakaknya

"Ya gue gak seberani elo. Lagian ngapain kekerasan dibales kekerasan juga? Bonyok kan lo jadinya?!"

"Kok lo sewot?? Lo bakalan abis tadi kalo nggak ada gue. Harusnya lo bersyukur"

"Gue gak minta ditolongin lo. Kalo kayak gitu, malah nunjukkin gue gak bisa apa - apa! Ngerti gak lo?!"

"Ya emang!! Lo gak bisa apa - apa. Puas lo?!"

Tak lagi menyahut, Vale menahan amarahnya. Ia bergegas lari menuju kamarnya. Membanting pintu dengan keras.

Vano yang tak tahu apa - apa, hanya terdiam. Apa yang ia lewatkan?

"Var, gue obatin dulu lukanya ya. Abis ini lo jelasin ke gue. Kalian tanggung jawab gue selama bunda sama ayah ke rumah eyang. Sini duduk"

Vano menuntun adiknya duduk di sofa. Kemudian ia beranjak, mengambil kotak obat yang ada di dekat pintu dapur.

"Jadi, kenapa?" ucap Vano

Varo menjelaskan kalau Vale mengalami perundungan di kelasnya. Entah bagaimana awalnya, tapi ia lihat sendiri kotak makanan Vale berserakan. Dan anak itu hanya diam menunduk, tak berniat menatap orang itu apalagi melawan. Setelahnya, Varo menghajar orang itu tanpa ampun.

"Lain kali jangan sampai main hajar anak orang. Kalian bakalan kena masalah. Kita ini masih baru di sekolah ini, jangan nunjukkin sikap jelek gitu"

"Gue gak terima dia berbuat seenaknya sama kakak gue. Emang lo bakal diem aja kalo itu terjadi sama saudara lo?"

Vano hanya tersenyum. Tentu tidak, ia tak akan tinggal diam. Setelahnya ia hanya mengusap punggung Varo untuk meredam emosinya.

Kondisi di lapangan sudah kembali kondusif. Pertandingan pun berlanjut. Hanya tersisa beberapa menit lagi, dan tim Varo akan memenangkan duel ini. Vano dan Vale harap - harap cemas. Secara tak sadar, mereka melakukan hal yang sama. Mengepalkan kedua tangan mereka dengan erat. Three point dari Yugi berhasil menutup pertandingan kali ini. Sorak sorai pendukung pun terdengar. Begitupun dengan Vale dan Vano yang dengan spontan saling merangkul. Ikut merasakan kebahagiaan atas hasil yang sangat memuaskan.

Di perjalanan, mereka saling mengobrol dengan antusias. Apalagi Varo, yang masih tak menyangka akan memenangkan laga sengit itu. Senyum pun tak luntur dari wajahnya.

"Sumpah anjir gue deg - degan parah tiap mau ngeshoot. Kalo gak masuk, abis pasti gue kena omel si Yugi kampret"

"Yeuu, dia kan kapten elo. Gak ada akhlak lo kayak begitu" ujar Vale

"Ya abis gue jadi tegang, man. Siapa sih yang masih bisa tenang saat game mau udahan tapi selisih skor masih tipis. Hahh dah lah gue gak mau bayangin lagi. Capeeeek" Varo merengek di akhir kalimatnya. Kedua kakaknya yang duduk di depan hanya terkekeh. Mereka kadang lupa, bagaimana pun kuatnya Varo ia tetap anak bungsu. Sifat alamiah seperti itu tak hilang dari dirinya.

"Van, gue mau beli makanan dulu. Mampir minimarket ya"

"Oh yaudah, gue juga mau beli kopi" ujar Vano, menoleh sedikit pada adiknya kemudian kembali fokus ke jalanan di hadapannya. Ia juga berniat untuk membeli banyak makanan untuk adik kecilnya, sebagai hadiah kecil atas kerja kerasnya

Triple TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang