⭐Bantu vote nya teman-teman ^^
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
Air mata di pipi belum sepenuhnya kering, bahkan mata sembab itu belum cukup untuk menyuarakan betapa hancur hatinya ketika di tinggal sang ayah.
Jenggala dengan baju kokoh hitamnya berdiri di pekarangan rumah, menggenggam angin dengan kepalan tangan yang bergetar. Sungguh sakit rasanya, ketika mengingat hari-hari kedepan dia tak akan bisa lagi bertemu ayahnya, bahkan di detik ini saja, tak ada lagi yang menemaninya untuk memuji langit senja.
Sebuah fakta baru ketika dia baru saja naik kelas empat, sebagai pria kecil dengan peringkat pertama, seharusnya dia bahagia hari ini. Namun bagaimana bisa dia tertawa, bersorak dan menari di bawah terik matahari, saat ayahnya sudah di nyatakan pergi?
Ayahnya sudah tiada, benar-benar pergi dan tak akan bisa kembali.
Hari paling buruk dalam hidupnya belum terganti, dan kini sakit hati baru kembali datang menghampiri. Ibu yang setahun lalu pergi membawa saudaranya kini datang, Jenggala bahkan sempat tak mengenali mereka. Dengan kacamata hitam dan pakaian glamor bak Dewi itu, Jenggala seperti berhadapan dengan wanita lain, bukan ibunya.
"Jenggala, ibu ingin bicara." Ibu memanggil agar Jenggala mendekat ke arahnya.
Ketika ibu mensejajarkan tinggi mereka, dapat Jenggala lihat sorot teduh khas ibu membuka kacamata hitamnya. Lalu Jenggala dapat merasakan bendungan air di mata meluruh begitu saja, tak peduli dengan ibu yang terus-menerus menghapusnya.
"Jenggala, mungkin kamu masih terlalu muda untuk tahu, tapi ibu dan abang tidak ingin menunda-nunda lagi untuk mengatakan ini."
Ada sebuah tarikan nafas sebelum wanita itu berucap, "Ibu sudah menikah dengan laki-laki lain, ibu nggak bisa tinggal sama ayahmu lagi, ibu dan abang mau pergi ikut suami ibu."
Jenggala ingin mundur selangkah, namun dirinya serasa di ikat, sehingga yang mampu Jenggala lakukan hanya membatu di tempat. Mendengarkan kalimat-kalimat menyakitkan dari mulut wanita di depannya.
"Jenggala, tolong jangan benci ibu lagi, yah? Ibu tidak bermaksud pergi ninggalin Jenggala sama Abangmu, tapi waktu itu ibu benar-benar nggak punya pilihan lain. Waktu itu Ibu juga mau mengajak Jenggala tapi suami baru ibu tidak membolehkan, maafkan ibu yah?" Lalu bau parfum mahal langsung menyeruak di hidung Jenggala saat ibu memeluknya.
Boleh Jenggala membatalkan ucapannya beberapa hari lalu? Ketika dia dengan tegas berkata bahwa tak akan pernah rindu. Karna buktinya kini dia ingin membalas pelukan ibu.
"Tapi Jenggala bisa ikut ibu sekarang, Ibu sudah merayu suami ibu biar bisa bawa kamu, Jenggala mau ikut ibu?"
"Jenggala nggak usah tinggal sama om Raden dan ayah lagi, Jenggala bisa ikut ibu."
Anak itu tak bisa berkata apa-apa, yang bisa dia lakukan hanya pasrah, pasrah dengan air mata yang mengalir tiada habisnya dan pasrah dengan takdirnya.
Dunia Jenggala baru saja porak-poranda, di porak-porandakan oleh kepergian dan perpisahan. Jadi, bolehkah dia diam saja untuk beberapa saat? Jenggala tak punya tenaga.
Sedangkan anak laki-laki lain yang sedari tadi ada di samping Ibu menatap mereka tanpa ekspresi, tatapannya dingin, sedangkan tangannya berkeringat karna terkepal begitu lama. Dhanan menahan mati-matian air mata perpisahan untuk mengalir.
"Gala." Panggilan dingin itu sudah cukup membuat pelukan Jenggala dan ibunya terlepas.
Di belakang sana, di samping teras yang di sinari cahaya senja, berdirilah seseorang yang paling Jenggala takuti. Raden Jakti Pramoda. Mata merahnya, tangis yang tiba-tiba, dan juga tatapan penuh dendam dan luka yang di arahkan pada ibu.
"Sini, Gala!"
Gala sempat diam, sebelum Raden melangkah dengan tegas untuk menariknya mundur, menyembunyikan tubuh kecil itu di balik badannya yang tinggi.
"Gala masuk saja, aku mau bicara sama perempuan ini."
Jenggala menurut, sebelum benar-benar pergi, dia menoleh ke arah Dhanan yang juga menatapnya. Pemuda itu tersenyum, senyum manis terakhir yang dia dapatkan.
"Kalau mau pergi, pergi saja," Raden berucap dingin. "Jangan pernah tunjukkan diri kamu di depan Gala lagi."
Hera tak terima, dia tentu mengelak, "kenapa? Aku ibunya, aku masih berhak bertemu dia."
"Kamu sendiri yang pernah bilang pada Gala supaya dia lupain kamu, 'kan? Jadi silahkan pergi, dia tidak butuh ibu seperti kamu."
Hera merasa tertohok mendengarkan, "aku berkata begitu pada Gala agar dia tak berharap aku pulang! Aku nggak mau dia tersiksa."
"Dia udah tersiksa setelah tau kamu dan saudaraku berpisah, jangan sok menjaga perasaan anak itu." Tangan Raden terkepal kuat, dia tak tahan melihat penampilan wanita di depannya, sangat jauh berbeda setelah berpisah dengan suaminya yang dulu.
"Kamu udah punya uang 'kan sekarang? Sudah bisa membiayai hidupmu sendiri tanpa Bang Raja? Kalau begitu sekarang pergi, asalkan jangan pernah kembali." Pria itu membuang muka ke arah lain.
"Aku nggak akan pergi sebelum Jenggala ikut sama aku!" Hera masih bersikeras.
"Kalau begitu kamu nggak akan pergi! Aku nggak akan biarin Jenggala hidup bareng wanita kayak kamu."
"Jenggala nggak akan bisa hidup tanpa aku! Aku ibunya! Yang membesarkan dia dari kecil!"
Raden tersenyum sinis, "kamu bodoh Her, Jenggala sudah mati satu tahun yang lalu kalau dia tidak bisa hidup tanpa kamu. Dan fakta sebenarnya adalah Jenggala nggak butuh kamu! Jadi buat apa kembali?!"
Hera sudah naik darah, di tatapnya Raden dengan marah, seolah merasa tak ada keadilan untuknya.
"Kenapa kamu nggak biarin aku bawa Jenggala, ha?! Dia anak aku!"
"Nggak! Jenggala anaknya bang Raja, dan Bang Raja mati gara-gara kamu!!" Air mata di pelupuk mata pria itu benar-benar mengalir sekarang.
Saat itulah ada sebuah jiwa yang membeku di tempatnya, jiwa yang sudah menghancurkan dunia orang lain, yang merenggut kebahagiaan orang lain. Hera menatap tanah yang dia pijaki dengan nanar, namun bahkan setetes air mata tak turun untuk menetes ke bawah sana.
"Kenapa? Bingung?!" Raden tertawa sinis sebentar, "pemakaman Bang Raja sudah selesai tadi siang, makanya pelayat udah banyak yang pulang, makanya sepi, kamu nggak tau 'kan, kalau Bang Raja meninggal?"
"Jenggala nangis nggak berhenti dan kamu malah datang buat kasih dia pilihan yang berat?! Mau sampai mana lagi kamu hancurin hidupnya Jenggala, ha?!!" Pemuda yang baru saja masuk kuliah ini muak, muak dengan ketidak-tahuan yang menghalang penyesalan untuk datang.
Lalu dengan tegas, Raden berbalik dengan keadaannya yang berantakan, tak ingin melihat Hera yang membatu serta Dhanan yang mulai menangis begitu keras.
"Pergi."
Gerimis mulai turun, seolah ikut berduka dengan kehancuran dan kesedihan jiwa-jiwa di sana. Senja yang hangat pun makin memerah, ingin cepat-cepat berganti dengan malam yang dingin agar tak melihat air mata lebih lama.
Sedangkan sayup-sayup terdengar suara isakan dari balik pintu, Jenggala menutup mulut rapat-rapat agar tak terdengar oleh siapapun. Di tatapnya punggung tegap Raden yang sedikit bergetar, lalu pria itu berjalan ke pintu di mana Jenggala menangis, membuat anak itu cepat-cepat pergi dari sana.
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
Selamat bersua dengan Jenggala
Di hortensia
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
General FictionJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...