Rumah Singgah

3.6K 190 18
                                    

Ini bukan tentang cerita romansa yang berujung bahagia, juga bukan cerita tentang si pejuang bahagia yang akhirnya bertemu tujuannya, atau cerita tentang keluarga bahagia yang hidupnya serba sempurna.

Namun ini hanyalah cerita singkat dari seorang lelaki yang hidupnya penuh lara. Perawakan tinggi dengan rambut hitam legam, serta kedua netra gelap yang memiliki tatapan menusuk itu sudah dapat menggambarkan seorang Nala Pradipta, laki-laki kelahiran Jogja yang memendam ribuan luka pemberian semesta.

Selama 5 tahun terakhir, Jogja mampu menjadi saksi bagaimana dia selalu merasa sendiri, tak tau harus kemana lagi, karena kenyataannya Nala memang tak pernah tau apa yang sebenarnya ia cari. Mungkin itu hanya sebuah rumah dengan kehangatan keluarga di dalamnya? Nala pernah mendapat hal itu, tinggal di tengah-tengah kehangatan keluarga yang utuh. Tak pernah ada kecanggungan yang menyiksa, tak pernah ada hening yang mengambil alih suasana. Dulu, riuh tawa adalah segalanya.

Namun semua itu berubah semenjak ibunya memilih menyerah dengan penyakitnya dan pergi ke pelukan semesta. Dan akhirnya, tempat yang pernah dia sebut 'rumah' itu seakan-akan pergi membawa kehangatan yang selalu ia cari selama ini. Kehangatan itu seakan-akan pergi, dan ikut terkubur bersama jasad ibunya hari itu.

Beberapa Minggu selepas kejadian itu, ayahnya datang dengan hasta yang mengait tangan sang dara, mengatakan dengan begitu saja sebuah kalimat yang langsung menusuk ke relung hatinya "Nak, ini istri papa yang baru. Mulai hari ini kamu panggil dia mama, ya?" Kata 'baru' yang ia dengar seolah-olah mengatakan bahwa ibunya hanyalah sebuah benda usang yang kini telah tergantikan posisinya.

Bayang-bayang kehilangan belum sepenuhnya hilang dari benaknya, bahkan rasa sakitnya masih terasa sama. Namun sekarang ayahnya dengan begitu saja membawa seseorang yang akan menjadi pengganti ibunya. Apakah ini lelucon?

Semuanya seakan-akan hilang arah, termasuk tujuan dari langkah kakinya yang sekarang masih saja menapaki trotoar jalanan. Mega mendung di atasnya tak membuat Nala merasa takut sedikitpun, manakala hujan datang begitu saja dan membuatnya basah kuyup. Dia baru saja pulang sekolah, jalan kaki menjadi pilihan setelah ia mempertimbangkan hal itu beberapa menit, dan akhirnya demi menghemat pengeluaran akhir bulannya dia memilih untuk berjalan kaki.

Diujung jalan, kedua iris segelap malam itu menangkap figur seorang anak yang duduk di atas trotoar, terlihat seperti memeluk lututnya, tak lupa dengan suara Isak tangis yang bisa Nala dengar dari tempatnya berdiri. Kakinya ingin memutar balik arah jalannya, tanpa melewati anak itu, namun hatinya berkata lain. Dan kini kedua kaki jenjang itu kembali menyapu trotoar jalanan menuju anak itu.

"Kakak.. Mau pulang.." Saat jarak mulai terpangkas, Nala bisa mendengar getar suara anak itu yang terus-menerus memanggil kakaknya. Terlihat dari kedua mata yang kini berkaca-kaca itu, Nala bisa Nala tahu anak itu sedang ketakutan.

"Dek? Kamu kenapa--"

"Kamu siapa?! Jangan deket-deket!" Baru saja membuka suara, anak itu langsung terlonjak kaget dan mencoba untuk segera beranjak. Namun baru saja hendak bangun, anak itu malah terduduk kembali, tentu saja itu membuat Nala membelalakkan matanya.

"Dek!" Anak yang kini duduk diatas trotoar jalanan itu menatap Nala takut, terlihat jelas dengan air mata yang semakin lama semakin menggenangi pelupuk matanya. Nala tersenyum tipis.

"Jangan takut, anggep aja kakak orang baik yang bakal nolongin kamu. Ayo?" Masih dengan senyum yang sama, Nala mengulurkan tangannya dan dengan ragu anak itu menerimanya. Anak itu perlahan berdiri, namun atensi Nala tak pernah lepas dari lutut anak itu yang terlihat sedikit terluka.

"Kamu kenapa?" Tanyanya pelan, berharap anak itu tak takut lagi.

"Tadi.. Tadi uangku diambil preman, terus akunya didorong, terus sekarang kaki aku sakit banget. Kak.. Aku mau pulang." Walaupun Nala bisa mendengar getar suara anak itu yang sepertinya agak ragu untuk menjawab, anak itu tetap melanjutkan nya. Sekali lagi nala menatap awan di atasnya yang semakin lama semakin pekat warnanya, dan tanpa berpikir panjang laki-laki itu berjongkok dan kemudian menggendong anak laki-laki itu.

Rumah Singgah | Jake SimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang