"Ini buat Bu Herna, Pak Gerald, sama undangan buat temen-temen mas. Mas yakin ini cukup undangannya ada yang belum ke list nggak?"
Hanum memasukkan setumpuk undangan pernikahan berwarna soft rose pink dalam goodiebag dan menyerahkannya pada Andre.
"Cukup, mas cuma undang yang mas kenal banget aja, Bu Herna kenapa nggak kamu aja yang kasih undangannya bareng nanti sama temen-temen kamu?"
"Nggak enak dong mas, kan Bu Herna juga lebih lama kenal mas daripada aku, jadi ya undangannya harus sebagai temen kamu dong."
Andre tersenyum simpul.
"Hingg...deg degan...aku takut reaksi mereka berlebihan." Hanum memegangi dahi kanan dan kirinya dengan kedua telapak tangan.
"Hmph" Andre tertawa kecil "Kamu mau kasih undangannya kapan?"
"Nanti pas mau pulang aja, aku kasih terus langsung pulang dan langsung cuti besok. Jadi nggak banyak ketemu mereka." Hanum mengangguk sambil tersenyum puas dengan rencananya.
Andre mengangguk, "Nanti mas temani, sekalian kita pulang, nggak perlu ngumpet-ngumpet lagi kan ke parkiran mobil?"
Hanum seakan tidak menggubris pertanyaan Andre, sibuk menenangkan dirinya. Melihatnya membuat Andre tertawa kecil.
***
"Num, laper banget, pengen makan bakso si abang, lo mau makan apa?" Lani menepuk pundak Hanum.
"Mmm ayo mba makan bakso." Jawab Hanum. Ia sebenarnya tengah berpikir apakah ia harus memberi undangan pada Lani sekarang, Lani adalah teman pertamanya di kantor, Hanum merasa tidak enak tidak memberi tahu Lani dari awal.
"Yauda mau nanya ke yang lain nggak? Tapi yang lain pada lagi meeting tuh sama Pak Rusdi." Baru saja Lani bangkit dari kursinya tapi ditahan Hanum.
"Mba gimana kalo kita makan berdua aja disana?" Tanya Hanum sedikit berbisik.
"Boleh, ada apaan nih lo minta makan berduaan? Lo mau cerita sesuatu ya?" Lani memicingkan mata.
"Eee iyah..." Hanum memundurkan kursinya sedikit dan mengorek goodie bag berisi undangan mencari nama Lani.
"Num? Itu... undangan lo? Omaygaaat... mana liat?"
"Di tempat makan bakso aja mba."
"Oooh itu toh maksudnya ya udah ayo." Lani kembali bangkit dari kursinya dan langsung berjalan menuju pintu, Hanum memasukkan undangan yang bertuliskan nama Lani di kantong kardigan yang dipakainya.
Hanum menunjuk salah satu meja di tempat bakso yang masih sepi pengunjung, biasanya tempat makan mulai ramai di jam setengah 1, sementara sekarang baru jam 11.55.
"Jadi jadi gimana Num?" Tanya Lani yang sudah merasa penasaran.
"Iya mba, ini." Hanum menyerahkan undangan pernikahannya pada Lani dengan dada yang berdegup kencang, baru memberikan ke Lani saja sudah begini nervous nya, bagaimana nanti? batinnya.
"Wiss...bagus banget undangannya Num, oh inisial calon lo A ? Gue buka ya." Lani membuka amplop yang membungkus kartu undangan dan mengeluarkannya. "Gue lihat tanggal dulu, hah seminggu lagi ya Num? Kok mendadak banget lo ngasihnya sekarang? Tapi lo masih kerja kan?"
"Besok aku cuti mba sampe acara."
"Ooh... Namanya Andre Lesmana...Ih kok sama banget kayak pak Ale namanya, bukan dia kan? Hahaha." Lani tertawa kecil namun langsung tawanya menghilang melihat Hanum yang tidak memberikan ekspresi menolak justru hanya menutup rapat mulutnya sambil mencoba memberikan senyuman. "Kok... lo nggak men deny omongan gue sih Num?" Tanya Lani lagi.
Hanum hanya terus tersenyum.
"Jangan bilang..." Lani kembali membuka undangan dan memperhatikan dengan seksama nama Andre, tapi ia pun tidak tau bagaimana memastikan apakah Andre calon suami Hanum adalah Pak Ale yang ia kenal, karena ia sendiri tidak mengenal nama orang tua Andre. "Num, asli nih ini Andre Lesmana Pak Ale bukan?"
Hanum terdiam sebentar lalu menarik nafasnya, "Hhh iya mba."
"Hahhh? Kok bisa? Maksud gue, hah ini... ini gimana ceritanya Num? Wah ini mah bener lo harus cerita full Num. Jadi lo mau nikah sama Pak Ale? Lo nggak lagi ngerjain gue kan?"
Hanum salah tingkah, "Kaaan... aku baru bilang ke Mba Lani aja udah begini reaksinya, gimana nanti kalo ngasih ke yang lain? Hiiinggg..." Hanum menenggelamkan wajahnya ke lipatan lengannya di meja.
"Baksonya mba." Pelayan tempat bakso mendatangi meja mereka.
"Oh iya mas, makasih." Hanum segera bangkit dan menerima mangkuk baksonya dan Lani, sementara Lani masih membolak balik undangan Hanum tak menggubris apa yang ada didepannya.
"Num, gue bener nanya ini, ini lo serius, lo nikah sama Pak Ale?" Tanya Lani semakin memajukan posisi badannya ke Hanum.
Hanum menutup matanya, "Iya mba bener."
"Andre Lesmana itu Pak Ale yang di kantor?"
"Iya mbaa...Andre Lesmana disitu ya Pak Ale yang mba kenal di kantor."
"Waaaaah gilaaa...lo bisa bisanya Num... Kok bisa Num? Cerita sekarang dari awal sampe akhirnya lo memutuskan untuk nikah sama Pak Ale?... yaampun mana gue sering ngomongin Pak Ale lagi depan lo, asli ini awkward parah sih... gimana gimana cerita."
Hanum menceritakan detail hubungannya dengan Andre selama ini pada Lani.
***
Kantor, 14.30
A : Mas baru selesai meeting sekalian bagikan beberapa undangan, nanti kita pulang jam 5 ya.
Hanum menatap ponselnya membaca pesan dari Andre, lalu ia menengok ke arah Lani karena merasa ditatapnya. Benar saja, Lani sedang menatapnya sambil senyum-senyum.
"Apa mbaaa..."
Lani masih tersenyum sambil menggelengkan kepala, "Gila gue nggak habis pikir Num, hebat juga lo ye."
"Cih, apa sih mba." Hanum ikut tertawa kecil.
Pukul 16.15
Hanum tak menyangka teman-teman teamnya semua ada di tempat sore itu, padahal ia berharap setidaknya ada beberapa yang meeting diluar atau minimal pulang duluan, jadi ia tidak perlu memberi undangannya ke setiap orang di ruangannya. Tapi karena semua masih berada di tempatnya, mau tidak mau Hanum harus menghadapi situasi ini.
L : Num, lo mau ngasih sekarang, ayo gue bantuin.
Setelah membaca pesan dari Lani, Hanum menengok ke arah Lani dan mengangguk. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Hanum mengambil goodie bag yang dibawanya, dan memberikan setengah undangan kepada Lani. Hanum membagikan pada atasan-atasannya, sementara Lani membagikan kepada teman-teman staffnya.
Hanum berdiri dan berjalan ke meja Inggrid dan memberikan undangan, lalu ke meja Dewi, Cahyo, Rusdi dan Santi supervisornya, sementara Lani menunggu sampai Hanum selesai memberikan undangannya.
"Wih Hanuuum...tiba-tiba ngasih undangan aja nih."
"Selamat ya Nuuum... Jihan, lo dilangkahin lagi nih hahaha."
"Heh Hanum kok lo tiba-tiba udah ngasih undangan aja, nggak sopan banget."
Kira-kira begitu respon pertama dari tiap-tiap yang menerima undangan, tapi that's not the end.
Bu Herna yang mendengar keributan di luar ruangannya melangkah menuju pintu, ia tau pasti ini saatnya Hanum membagikan undangan, ia juga menanti-nanti momen ini, ingin melihat reaksi anak buahnya. Bu Herna membuka pintu.
"Rameee banget pada nerima undangan doang, udah lihat belum nama calonnya Hanum? Hahaha" Karena perkataan Bu Herna serempak semua membuka undangan yang ada di tangan masing-masing. Sementara Hanum yang sudah kembali ke mejanya menghela nafas, memejamkan mata sambil tangannya menutup matanya, merasa pasrah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TOUCHED (On Going)
RomanceCerita hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, kejadian dan tempat maka itu adalah unsur ketidaksengajaan Hanum harus merasakan pahit ditinggalkan oleh suaminya dalam kecelakaan saat pergi bekerja. Bersama dengan anaknya Azka yang baru berum...