Langit sudah mengecup senja di saat Barcode baru keluar gerbang sekolah. Penampilan berantakan, lelah, sakit kepala dan leher bagian belakangnya yang kram. Kondisi yang membuatnya merasa sekolahnya sedikit kurang manusiawi pada pelajarnya. Pemuda itu berjalan dengan bahu turun dan begitu saja melewati beberapa temannya yang masih nongkrong di sekitar sekolah.
Ia ingin pulang, mengganti pakaiannya dan langsung terlelap di atas tempat tidur. Masa bodoh dengan ujian fisika besok pagi, bahkan Barcode tidak ingat apa saja rumus yang dijejalkan ke dalam otaknya selama les tambahan.
"Ujung gang, belok kanan, rumah." Katanya mensugesti diri sendiri ketika dirasa perjalanannya lebih panjang dari biasanya.
Ya meskipun rumah yang ia tuju bukan 'rumahnya' tapi sementara Barcode tinggal disana, sepanjang sisa semester ini.
Rumah yang pemuda itu maksud adalah rumah sahabat bundanya, tempat tinggal keluarga Pakapatpornpob yang hanya ditinggali 3 orang. Sepasang suami istri dan seorang anak tunggal yang umurnya terpaut 4 atau 5 tahun dari Barcode. Setiap ayah bundanya dalam perjalanan bisnis, pemuda ini selalu menginap di rumah keluarga Pakapatpornpob, sekalian menemani anak tunggal mereka katanya. Padahal Barcode ingin saja menyeletuk kalau putra tunggal keluarga itu justru tidak terlihat senang atas kehadirannya.
Baginya Ta itu cuek, pendiam, mukanya galak seorang dengan tipe kepribadian introvert. Ta, hanya satu suku kata yang Barcode ingat dari lelaki itu entah nama lengkapnya Nakunta, Nanakun atau Naunta atau juga Nanaunta. Tidak ada ide, Barcode hanya fokus membuka pagar biru di depannya ini.
Begitu langkahnya memasuki rumah telinganya mendengar beberapa gelak tawa berbeda. Ternyata Ta di rumah bersama beberapa lelaki yang tidak pemuda itu kenal. Mungkin teman, begitu pikirnya.
Barcode hanya ingin ke kamarnya di lantai atas, lekas-lekas ia berjalan melewati Ta dan tamu-tamunya.
Alkohol, sekali lirik pemuda bermata lebar itu juga tahu kaleng-kaleng di bawah meja itu kaleng alkohol. Barcode tidak khawatir dengan adanya orang mabuk disekitarnya, walau tak jago bela diri ia cukup jago memukul orang dengan barang seadanya. Yang ia khawatirkan adalah rupa ruang tamu nantinya, palingan Ta akan mengetuk kamarnya pagi-pagi sambil membawa tongkat pel lalu memasang cengiran manis. Ta bukan lelaki yang bisa bersih-bersih.
Barcode menutup pintu kamarnya, melepas sepatu dan kaus kakinya lalu meletakkan tasnya dengan rapi di meja belajarnya. Tanpa berpikir mengganti seragamnya dengan pakaian yang lebih nyaman pemuda itu langsung merebah dan terlelap.
Dua jam berlalu hingga empat jam, begitu terbangun Barcode sudah dapat melihat langit malam lewat jendela yang tadi belum ia tutupi gorden. Lehernya kering, perutnya lapar dan badannya lengket. Tidak jauh berbeda dengan kondisinya pulang sekolah sore tadi setidaknya sekarang ia bisa memikirkan kesehatannya. Perutnya punya kepentingan untuk di isi.
Mandi sekali bilas ala Barcode tak memakan waktu lebih dari lima belas menit. Seragamnya yang tadi sudah berganti piyama kotak-kotak biru yang lebih nyaman.
Kakinya menuruni tangga sambil manik gelapnya mengintip ruang tamu. Berantakan sekali, bungkus cemilan dan kaleng alkohol berserakan banyak sekali. Masa bodoh, Barcode berlalu menuju dapur. Ternyata ada sosok Ta disana bersama beberapa kaleng alkohol.
Lelaki yang lebih tua itu duduk sendiri sambil bergumam. Penampilannya berantakan, kontras dengan Ta yang selama ini terlihat di mata Barcode. Rambut kusut, kemeja hitam yang hanya dipakai tanpa dikancingkan dan keringat dimana-mana.
Ada wangi parfum maskulin lelaki itu yang masih tersisa menggambang di udara. Untuk pertama kalinya Barcode berdebar di dekat Ta. Entah karena takut, bingung atau kecanggungan yang mulai terasa. Namun yang pasti dalam kepalanya, pemuda itu memuji pesona Ta yang meningkat disaat-saat seperti ini.
Barcode berusaha terlihat baik-baik saja. Ia beranjak memeriksa isi kulkas yang ditempati beberapa makanan instan. Terlalu malas baginya untuk memasak sesuatu jadi pemuda itu berinisiatif membuat segelas susu saja. Kalau tidak mengenyangkan bisa buat dua gelas. Cerdas sekali, pujinya pada diri sendiri.
Pemuda itu mulai mondar-mandir disekitar dapur dan sepertinya Ta mulai menyadari eksistensi yang lebih muda. Sudut mata lelaki itu menangkap gerakan jari lentik Barcode dari sisi meja.
"Mau?" Barcode mengkernyit lantas menggeleng, tak menyangka lelaki cuek itu menawarinya sekaleng alkohol.
Barcode anak baik, ia masih suci. Batin pemuda itu berkeras.
Barcode kembali pada aktivitasnya, mencari toples susu bubuk dan sedikit ia terkejut toples itu yang biasanya diletakan di kulkas sekarang ada di sudut lemari paling atas. Ia menghelah nafas, siapa lagi pelakunya kalau bukan Ta. Meski sikap lelaki itu cenderung kaku, minatnya menjahili Barcode tidak pernah kalah. Contoh terakhirnya tadi pagi, yang lebih tua masih sempat menyembunyikan salah satu kaus kaki Barcode di tengah sarapan.
Ta terkikik, Barcode bisa mendengarnya dari balik punggungnya. Ia juga berhasil menggapai toples kaca itu walau harus memaksa kaki jenjangnya berjinjit.
Setelah menyeduh susu dengan air hangat, Barcode menyesapnya perlahan sambil berdiri. Yang lebih tua hanya melirik namun tangannya menarik kursi kosong disisinya. Mengajak pemuda itu duduk disitu. Barcode menggeleng, lebih takut dijahili lagi.
Namun salah Barcode berpikir ia lolos dari tingkah absurd Ta. Lelaki bermata tajam itu malah berjalan ke arahnya, merebut cangkir susunya, menegaknya hingga dagu terangkat.
Barcode benar-benar terkejut melihatnya bahkan ketika pemuda itu belum beranjak dari shocknya yang lebih tua menarik lembut dagunya dan mendaratkan kecupan di labium Barcode.
Tak hanya itu mulutnya dipaksa terbuka, tak sampai sedetik sebuah cairan manis mengaliri tenggorokannya. Susu. Dari. Mulut. Ta. Beberapa tetesnya keluar menuruni leher jenjang Barcode. Berselang beberapa detik barulah lelaki bermata tajam itu melepaskan bibirnya.
Senyum Ta adalah ekspresi pertama yang Barcode cerna. Senyum lelaki itu menyiratkan hal lain kali ini. Bukan sebuah senyum kejenakaan tapi senyuman manis hingga menampilkan gusi dan mata menyipit seolah sabit.
Barcode menelan liurnya. Ia bersiap mendorong Ta ketika lelaki itu kembali mendekat. Sayangnya, puda itu sangat tidak beruntung dan malah mendaratkan jemarinya pada petak-petak otot di perut yang lebih tua.
Tangan berurat Ta membelai pipi Barcode lembut nan ringan sebelum ia kembali menyatukan bibirnya pada milik pemuda itu, mengisi tiap celah dari labium merona nan kenyal dengan lumatan basah. Barcode mencengkram kerah kemeja Ta dan perlahan jemarinya menyusuri leher pria itu, sesekali ibu jari Barcode mengusap jakun maskulin Ta.
Barcode hanyut, jangan salahkan pertahanan dirinya yang tidak terlalu tebal. Ini salah Ta, lelaki panas yang melumat lembut bibirnya dengan godaan nafsu dan sentuhan yang mengalirkan panas.
Barcode tidak lagi merasakan dingin lantai dibawah kakinya karna tubuhnya sekarang jatuh dalam dekapan Ta. Desahannya mulai terdengar dan mengeras sebab lidah yang lebih tua tak henti menggoda rongga mulutnya dan mengajaknya bertaut lebih intens. Moment ini, moment yang tidak pernah Barcode bayangkan akan ia alami dengan pria yang tidak pernah terasa penting selama hidupnya. Setidaknya sampai saat ini.
Pemuda itu tak lagi berpikir, ia hanya menikmati bagaimana lelaki yang mendekapnya ini menuntunnya pada kesesatan yang nikmat. Ia tak yakin berapa lama momen itu berlangsung. Ketika Ta melepaskan bibirnya, Barcode hanya bisa terengah dengan bibir bengkak, basah, memerah dan benang liur yang masing melekat.
Ta memberinya kecupan singkat seolah perpisahan untuk malam ini. Dengan lembut jemarinya menyelipkan anak rambut Barcode ke belakang telinga. "Tidur yang nyenyak cantik."
Lalu pelukannya terlepas lantas beranjak begitu saja. Barcode tak lagi memeriksa ritme jantungnya, tubuhnya merosot turun seolah kakinya menjelma sepasang jelly.