"Riki, bukannya sudah kubilang—"
"Aku Ni-ki, bukan Riki."
"Tapi kalian berdua orang yang sama."
"Tidak! Aku bukan si anak pengecut itu!"
"Jaga bicaramu, Riki!"
"Kubilang aku Ni-ki! Dia dan aku beda! Dia pengecut tapi aku tidak!"
"Riki tidak seperti itu, dia baik dan penurut. Bukan Ni-ki yang pembangkang dan sulit diatur."
"Terserah, aku tidak peduli."
"Riki! Hei dengarkan aku bicara dulu!"
Terdengar suara pintu dibanting, siapa lagi pelakunya kalau bukan Nishimura Riki, yang kini berada di kepribadian Ni-ki. Dia bergegas menaiki motornya, lalu melajukannya secara ugal-ugalan ke suatu tempat.
Sebuah apartemen kelas menengah adalah tujuannya. Sesampai disana dia langsung menuju sebuah unit yang kerap ia datangi. Menekan bel beberapa kali, pintu akhirnya terbuka menampilkan seorang pemuda berkaos hitam menyambutnya dengan senyumnya.
"Hei, tumben kemari pagi-pagi."
Bukannya menjawab, Ni-ki justru bergegas masuk dengan ekspresi tidak ramah. Pemuda itu tetap tersenyum. Ia menutup pintu setelah Ni-ki sudah berada di dalam.
"Ni-ki, kau belum menjawab sapaanku," rajuknya sembari membuntuti langkah panjang Ni-ki.
Bagaimana dia tahu kalau dia sedang berhadapan dengan Ni-ki bukan Riki? Simple, karena ia sudah hafal diluar kepala dengan kondisi kekasihnya itu.
Ni-ki mendudukkan diri di sofa, diikuti si pemilik rumah bernama Sunoo itu.
"Ribut lagi dengan kakakmu, hm?" tanyanya penuh perhatian. Tatapannya tak lepas sedetikpun dari yang lebih muda, meski Ni-ki lebih memilih menatap layar ponselnya.
"Baiklah, kuanggap iya. Mau kubuatkan kopi? Biasanya Ni-ki suka minum kopi setiap sedang bad mood."
Tau tak bakal dijawab, Sunoo lantas beranjak sendiri menuju pantry. Disana dia membuatkan kopi dengan takaran favorit Ni-ki menggunakan mesin kopi yang dia beli sengaja untuk pemudanya. Mengingat dia sendiri tidak terlalu menyukai kopi melainkan prefer mint chocolate.
Sampai ia selesai membuatkan kopi hingga menghidangkannya di depan Ni-ki, yang lebih muda masih tetap berkutat dengan layar ponselnya. Sunoo tau Ni-ki tidak sedang sibuk apapun dan sejak tadi hanya gabut scrolling galeri yang tentu saja isinya hanya foto-foto Sunoo saja. Karena ponsel Ni-ki adalah kamera favorit dari si photogenic Sunoo.
"Buat apa kemari kalau kau lebih memilih melihat foto daripada orangnya langsung, hm?" ujar Sunoo sembari dengan lembut merebut ponsel di tangan Ni-ki dan sukses membuatnya menoleh padanya.
Setelah perhatian Ni-ki telah berhasil ia rebut sepenuhnya, dengan senyum hangat ia pun menangkup wajah Ni-ki dan menatapnya lekat.
"Jadi hari ini ribut apa lagi dengan kakakmu, hm? Ketahuan balap liar?"
Ni-ki hanya menatapnya dengan sorot tajam, Sunoo akhirnya mengerti.
"Jangan dengarkan kata kakakmu, Ni-ki. Semua orang boleh benci padamu, tapi tau tidak kalau ada satu orang yang sangat menyukaimu dan menerima Ni-ki apa adanya? Aku. Hyung, sangat menyukai Ni-ki.
"Meskipun kau adalah Riki yang pengecut, lemah, cupu, tidak berdaya, Hyung tetap menyukai Riki. Riki tidak mati. Riki dan Ni-ki ada di tubuh yang sama, dan Hyung mencintai kalian berdua. Bukankah itu cukup?"
Ni-ki perlahan meraih satu tangan Sunoo di pipinya. Lantas menariknya hingga bibir mereka saling bertemu.
Hanya dengan menjadi Ni-ki ia berani mencium hyung tersayangnya. Riki tidak mungkin bisa seperti ini. Riki terlalu takut, takut jatuh terlalu dalam, takut ditinggalkan lagi, takut dikhianati lagi, takut jika Sunoo hanyalah bagian dari halusinasinya semata.
Ni-ki membuat dirinya menjadi sosok yang pemberani, tidak mudah disetir, keras kepala, kuat. Meski terkesan memiliki hati sekeras batu, tapi hanya Sunoo seorang yang memegang sisi rapuh hatinya.
Seperti saat ia meneteskan air mata ketika bibir mereka masih saling bertaut dalam.
Ni-ki tak butuh nasehat. Satu-satunya yang ia butuhkan hanyalah penerimaan dari orang lain.
"Aku tak akan memaafkanmu kalau kau juga pergi meninggalkanku, Hyung."
FIN