Cerita ini sudah Update di Karyakarsa sampai bab 15, silakan mampir. Link ada di bio.
Selamat Membaca
Yudi datang ditemani tiga orang pria yang akan menjadi saksi pernikahan Bima dengan Sinta.
"Sudah siap kamu?" Yudi mendekati Bima yang tengah duduk menikmati minuman hangat di ruang tengah, sedangkan para tamu berada di ruang tamu. "Loh Papa sudah datang?" Bima tidak menyadari jika Papanya sudah datang.
"Lah Sinta nggak bicara sama kamu." Saat masuk Yudi bertemu dengan Sinta, "Mungkin lupa kali Pa, oh iya semua mahar sudah Papa uruskan?" Bima yang malas keluar memilih untuk menitipkan mahar yang akan ia berikan kepada Sinta.
"Sudah semuanya sudah Papa beli. Sekarang ayo kita keluar." Ajak Yudi untuk bertemu dengan orang-orang yang akan menikahkannya.
"Bentar Pa, Bima ke belakang dulu. Panggil Sinta." Yudi mengangguk, ia memilih untuk meninggalkan putranya.
Langkah Bima mendekat ke kamar tidur yang ia tempati, membuka pintu ia melihat pantulan Sinta yang tengah terduduk di tepi ranjang dengan tatapan ke depan, entah memikirkan apa Bima juga tidak tahu.
"Ayo Baby, semua orang sudah datang." Bisik lembut Bima kepada Sinta, Sinta yang mendengar itu menatap calon suaminya dengan tatapan kosong. "Kamu nggak papa?"
"Apa ini jalan terbaik untuk kita?" Pertanyaan yang terdengar seperti bisikan itu keluar dari bibir Sinta. Bima yang mendengarnya hanya bisa menghela napas panjang, "Aku tidak menjanjikan banyak hal karena aku takut jika aku gagal mewujudkannya. Tapi satu hal yang ingin akun katakan, aku ingin ada disisi kamu Baby. Terlepas atas apa yang terjadi kepada kita tempo hari."
Apakah seorang bajingan bisa menepati janji? Entahlah, Bima sendiri juga masih bertanya-tanya akan hal itu. Tapi jauh di lubuk hatinya ia ingin melindungi Sinta, panggilan yang bersumber saat ia melihat gadis berseragam putih biru itu tengah menangis di tepi jalan memandang teman-temannya yang tengah dijemput oleh orangtuanya.
"Maukan kamu melangkah ke depan dengan pria sepertiku?" Tangan Bima arahkan ke depan tubuh Sinta seolah mengajaknya untuk bertautan tangan. Sinta yang paham akan ajakan itu menatap Bima haru dan menerima uluran tangan Bima. "Kita buat kebahagiaan kita sendiri, terlepas dari kelamnya hidup kita." Ada asa yang diucapkan Bima, hingga akhirnya mereka berdiri dan berjalan menuju ruang tamu untuk melangsungkan pernikahan sederhana.
Dengan satu kali tarikan napas Bima mampu mengucapkan ijab khobul yang memberikan pertanda bahwa sekarang dirinyalah yang bertanggungjawab akan diri Sinta. Dirinyalah yang akan menjadi sosok terdepan saat Sinta membutuhkan uluran tangan.
"Sah."
Sinta yang duduk di samping Bima menatap Bima haru, setelah ucapan itu Sinta menyalami tangan pria yang menjadikannya pendamping hidup itu. "Semua sekarang tanggungjawab kamu Bima, Papa hanya bisa mendoakan saja atas apa yang akan terjadi kelak. Tapi pesan Papa janganlah engkau melukai hati istri kamu, karena ketika air mata yang keluar dari matanya membuat kamu akan dikutuk malaikat."
Bima paham akan hal itu, "Doakan kami Pa." Kedua pria beda usia itu berpelukan hangat sebelum Yudi memilih untuk undur diri. Pekerjaannya yang menuntut dirinya harus segera pulang. "Jaga menantu Papa, Papa titipkan dia kepada kamu." Pesan Yudi saat berada di depan putranya.
Netra tua itu kembali menatap wanita yang telah resmi menjadi istri putranya. "Kalau Bima macam-macam tolong bilang Papa, Papa akan melindungi kamu dari si bajingan ini."
Sinta tersenyum, sedangkan dua orang pria itu tertawa terbahak-bahak. "Sekelamnya masa lalu Bima, dia tetap menjadi putraku. Jadi biarkan tangan tua ini yang akan menghukumnya."
"Baik Pa." Selesai berpisahan, Yudi melangkah pergi meninggalkan dua orang yang disebut pengantin baru itu.
***
"Sini." Ajak Bima menepuk sisi ranjang yang kosong untuk tempat Sinta. Sinta yang baru selesai mencuci wajah sontak mendekat ke sisi Bima. Ia memposisikan tubuhnya untuk bergelung dengan Bima. "Baby... Besok kita mau kemana?" Kalau sebagian orang setelah menikah akan liburan maka Bima dan Sinta tidak. Mereka memilih untuk tetap berdiam diri di rumah, menghabiskan waktu bersama, yang tentunya membuat mereka saling mengenal satu sama lain.
"Emm... Aku belum pernah pulang setelah kejadian tiga tahun lalu. Aku kangen sama Ibu." Sebuah keinginan yang sudah lama mendekam di relung hati Sinta, tetapi hatinya yang lemah tidak mengizinkannya untuk datang kesana.
"Hm... serius kamu Baby?"
Kedua netra mereka saling bertatapan, Bima merasa permintaan Sinta terlalu cepat.
Anggukan kepala Sinta lakukan, tangannya mendarat ke kulit wajah Bima yang ditumbuhi bulu halus. "Aku juga tidak tahu, tapi aku ingin kesana."
"Aku rindu Ibu." Lirih Sinta mengatakannya, Bima yang sadar akan perubahan istri kecilnya menggenggam tangan Sinta yang berada di wajahnya. "Baiklah besok kita kesana. Kita hadapi semuanya berdua."
"Tapi... Aku takut." Bulir bening turun dari ujung mata Sinta, buliran yang membuat pipinya basah. Jari Bima menyeka air mata Sinta, ia tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik.
"Kita hadapi bersama." Entah ini akan menjadi pilihan yang baik atau tidak, Bima rasa ia patut mencoba. Bagaimanapun Sinta masih memiliki keluarga, jadi sebagai seorang anak Bima harus tetap mendukung keinginan istrinya itu.
"Jangan bersedih. Oke." Netra yang sudah di penuhi dengan air mata itu menatap sendu ke arah Bima, dan mengangguk.
"Sekarang ayo kita tidur. Besok kita bicarakan kembali." Bima tidak pernah memaksa, kecuali kejadian kemarin.
Lengan besarnya merengkuh tubuh mungil Sinta, mendaratkan kecupan di kening istrinya itu sebelum mereka terlelap tidur.
Pagi yang cerah untuk sepasang suami-istri, pagi yang membuat Bima sangat bahagia saat terbangun dan menemukan istrinya tengah memasak di dapur. Pagi yang membuat dirinya paham akan arti kompromi dalam hidup, meskipun ia tidak sebebas dulu dalam menyikapi masalah tetapi ia cukup bahagia. Karena ia bisa berbagi akan keluh kesah yang ada di hatinya dengan Sinta.
Suara bel berbunyi, suara yang berasal dari pintu utama. Bima yang tengah memandangi wajah tenang Sinta saat memasak merasa terganggu akibat tamu yang tak tahu waktu itu.
"Siapa sih yang kemari?" Racau Bima dengan bangkit dan berjalan menuju pintu utama. Sinta yang melihat Bima hanya bisa menggelengkan kepala, "Pakai bajunya!" Teriak Sinta saat melihat Bima berjalan hanya mengenakan celana pendek tanpa baju.
"Iya." Bima mengambil kaos yang tadi ia sampirkan di sofa dan berjalan mendekati pintu.
Tangannya membuka handel pintu tanpa tahu siapa tamu yang ada di balik pintu.
Ceklek.
"Bima!" Teriak seorang wanita yang mengenakan dress tipis yang membentuk lekukan tubuhnya. Oh jangan lupakan jika panjang dress nya hanya sampai di tengah pahanya yang putih.
Tubuh perempuan itu menubruk Bima dengan tangan yang merengkuh Bima dengan kasarnya.
Bima yang tidak mengantisipasi akan tindakan itu hanya bisa mematung. Sebelum teriakan dari dalam rumah membuatnya sadar akan tindakan ini.
"Bima!!! "
Tbc
Kalau bad boy emang susah say, banyak yang ngefans. wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
General FictionKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.