01-Ikrar

18 2 0
                                    

“Thala, kamu harus janji, ya, jangan pernah ninggalin aku. Kita harus sama-sama terus di sini, selamanya.”

Athala yang saat itu mendengar kalimat manis dari Qiran sontak tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit. Tak lupa dengan lesung pipi kecil di sebelah kanannya juga terbit. “Iya, Qiran … pokoknya, kalau di antara aku sama kamu ada yang adopsi, kita harus kabur.”

“Janji, ya.” Qiran mengacungkan jari kelingkingnya, disusul oleh jari kelingking Athala hingga keduanya terikat janji tersebut.

“Janji,” kata Athala.

Namun, satu minggu setelah mengucap janji, rupanya sepasang suami istri datang ke panti asuhan dan mengadopsi Athala. Qiran terpukul, sudah pasti. Ia kecewa, tentu. Hatinya sakit, tidak perlu ditanya lagi. Yang jelas, Qiran begitu sangat hancur. Janji yang Athala ucapkan ternyata hanya sebuah ikrar belaka. Karena semenjak Athala diadopsi, Qiran selalu menunggunya kembali, tetapi tak pernah terjadi.

“Lo nggak tahu sehancur apa gue saat itu, Tha.”

Nabil menunduk, ia memang salah karena tidak menepati janjinya untuk kabur dan kembali ke panti asuhan. Namun, yang sebenarnya bukan Nabil tidak berusaha, tetapi tidak bisa.

“Gue udah coba buat kabur, Ran, tapi nggak bisa,” kata Nabil, “dan saat akhirnya gue berhasil bisa kembali ke panti dengan ngajak orang tua angkat gue, gue justru dapat kabar kalau lo juga udah lama diadopsi.”

Iya, satu bulan setelah Athala diadopsi, sepasang suami istri juga mengadopsi Qiran. Athala yang berhasil kembali empat tahun setelahnya juga merasakan kecewa dalam hatinya. Janji yang dibuat oleh dua anak usia sembilan tahun itu hancur begitu saja.

“Dan setelah itu, gue nggak tahu lo di mana, gue nggak tahu harus kembali ke mana.”

Gue di neraka, Athala ... dan yang menciptakan neraka itu adalah lo, batin Shenna.

Qiran atau yang sekarang bernama Shenna itu bangun, Nabil mendongakkan kepala. “Gue nggak peduli sama cerita masa lalu lo, tentang bagaimana lo nggak bisa kembali, karena intinya lo tetap ingkar janji,” kata Shenna, “yang jelas, yang harus lo tahu sekarang adalah, gue menderita selama bertahun-tahun, dan itu karena lo.”

Shenna menoleh dan menurunkan pandangannya untuk menatap Nabil yang masih mendongakkan kepala. “Gue benci sama lo, Athala.”

Diameter mata Nabil membesar, ia tidak mengira kalau hubungan yang dulu begitu dekat kini hancur tak tersisa. Bahkan, Qiran yang merupakan teman kecilnya itu berbalik membencinya. Shenna pergi, dan Nabil tidak berani mengejarnya. Cowok itu menghela napas berat.

***

“Bil, cewek tadi siapa? Gaya banget diam-diam punya kenalan cewek.” Suara itu milik Zidan, teman sekelas bahkan sebangku dengan Nabil, juga anggota voli di SMA Negeri 2 Jakarta.

“Teman kecil,” jawab Nabil jujur.

“Teman kecil? Tetangga maksud lo?”

“Gitu, lah. Pokoknya gue kenal sama dia dari kecil.”

“O ...,” Zidan mengangguk-anggukkan kepalanya, “tapi, kenapa, kok, dia manggil lo Athala?”

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Nabil menjawab, “Kepo banget, sumpah.”

“Yeeee, udah tahu kepo, bukannya di kasih tahu malah bikin tambah kepo,” kata Zidan seraya mendorong lengan Nabil.

“Gue alergi sama orang kepo,” Nabil mengusap-usap kedua lengannya bergantian, “tuh, gatel semua.”

“Itu, mah, lo emang kudisan.”

Nabil yang akhirnya merasa kesal itu menempel-nempelkan kedua tangannya ke badan Zidan. “Nular mampus lo!” katanya.

PROMISESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang