* Perasaan Yang Terpendam *

20 5 0
                                    

     Kami berjalan bersama menyusuri setiap toko yang ada. Ryoba lalu menghentikan langkahnya sejenak dan menunjuk tempat penjualan Takoyaki.

     "Nee~ bagaimana jika kita membeli makanan itu"

     "Takoyaki ya? Sudah lama aku tidak memakannya, kalau begitu ayo!!" Ryoba menarik lenganku, kami layaknya anak kecil yang baru pertama kali pergi ke pasar. Setibanya kami di depan kios itu, Ryoba langsung memesan tanpa ragu.

     "Paman, aku pesan takoyaki-nya yang ukuran besar"

     "Ahh ternyata yang mulia ratu, mohon maaf sebelumnya tapi kami sudah bersiap untuk tutup. Hari ini kami mendapat banyak pelanggan, jadi bahan mentahnya sudah habis"

     Sebuah jawaban yang terasa sangat mengecewakan keluar dari mulut penjual takoyaki itu. Aku menoleh kearah Ryoba dan melihat wajahnya yang penuh kekecewaan. Aku bisa merasakan aura kekecewaan dan kemarahan darinya. Wajahnya terlihat sangat masam layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan.

     "Uhn.. tidak apa paman, kami mengerti" aku terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulutnya. Wajahnya yang tadi terlihat sangat kecewa kini tersenyum tulus layaknya tak terjadi apa-apa. Ini sama seperti saat Udor menghinaku, tak hanya ekspresinya bahkan aura tubuhnya mampu berubah drastis dalam waktu singkat layaknya membalik telapak tangan.

     "Ayo sayang!!" Ryoba menarik tanganku menjauhi kios tadi.

     "Hey... apa kamu baik-baik saja?"

     "Apa yang kamu bicarakan? Tentu aku baik-baik saja"

     Singkat cerita akhirnya kami membeli daging sapi panggang dan Crepes sebagai makanan siang hari ini. Setelah selesai membeli kedua makanan itu, kami kebingungan mencari tempat untuk menyantapnya. Kami menatap kesegala arah dan meyipitkan mata untuk mencari tempat duduk namun semuanya terisi penuh.

     "Sepertinya hari ini sangat ramai... Kalau begini, kita tidak akan bisa menikmati makanan ini" ucapku.

     "Yahh... kamu benar... AHA!! Aku tau satu tempat yang bisa kita tuju, bagaimana jika kita pergi keatas sana?" Ryoba menunjuk sebuah bukit tak jauh dari tempat kami sekarang.

     "Baiklah kalau begitu, bagaimana jika kita berlomba sampai ke atas sana? Yang kalah berarti lemah Ventus Rimor!!" tanpa ngatakan aba-aba mulai, aku langsung terbang keudara meninggalkan Ryoba.

     "Heyy!! Itu curang!! Ventus Rimor!!" Ryoba segera terbang menyusulku, meski aku mencuri start duluan nampaknya itu tidak menjadi masalah baginya. Hanya dalam waktu beberapa detik Ryoba sudah menyamai kecepatanku. Kami beradu cepat sampai keatas bukti, namun akhirnya kami mendarat secara bersamaan.

     "Akuhh..mhenang.." aku menyatakan diri sebagaai pemenang.

     "Thidaak.. akuhh yaangh menang!!" balas Ryoba tak menerima.

     Kami kelelahan, nafas kami sama-sama pendek bahkan untuk berbicara saja susah. Semua usaha itu terbayarkan setelah melihat tempat ini, rumput hijau memenuhi tempat ini, sebuah pohon yang kokoh nan rindang berdiri di tengah-tengahnya, angin berhembus lembut terasa menyegarkan dan pemandangan Elven terlihat jelas dari atas sini. Ryoba meraih tanganku dan menggiring untuk duduk dibawah pohon.

     "Mari kita beristirahat disini sayang"

     "Uhnn.."

     Kami bersandar pada batang pohon itu dan melepas lelah bersama-sama. Kami menyantap makanan yang kami beli sebelumnya. Canda tawa mewarnai siang nan cerah ini. Aku masih sedikit penasaran dengan kejadian yang baru saja kualami.

     "Sayang... ada sesuatu yang ingin kutanyakan"

     "Ara~ tumben sekali. Silahkan tanya saja, aku tidak akan menggigitmu.. mungkin"

     "Saat kamu membeli takoyaki tadi, aku merasakan kekecewaan dan amarah yang besar keluar dari tubuhmu, hal itu juga tergambar jelas pada ekspresi wajahmu. Bukan hanya sekali, saat Udor menghinaku hal yang sama juga terjadi. Kamu mengubah semua itu layaknya membalik telapak tangan, bagaimana bisa?" Aku menanyakan selengkap mungkin pada Ryoba.

     "Hmm... Setelah ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah serangan, Elven dipercayakan kepadaku sebagai satu-satunya pewaris. Saat itu aku masih sangat kecil, aku masih memerlukan perhatian dari orang tuaku. Namun alih-alih mendapat perhatian kini justru aku yang harus memberi perhatian, waktu dan tenaga untuk Elven. Udor sebagai waliku mengajari berbagai hal tentang menjadi seorang ratu. Ratu adalah orang yang mampu memendam rasa dalam dirinya baik itu kecewa, senang, ataupun marah demi rakyat yang dicintainya. Itulah mengapa sebisa mungkin aku akan menutupi perasaanku dengan senyum" Ryoba menjelaskan semuanya, dia terlihat ingin menangis namun berusaha keras menahan air matanya. Aku langsung memeluknya dan berusaha menenangkannya.

     "ITU TIDAK BENAR!! Kamu tidak perlu memendam semua perasaan itu, selama kamu memiliki hati maka perasaan itu akan tetap ada. Menurutmu mengapa manusia, iblis, bahkan malaikat memiliki hati? Karena itulah yang membuat kita berarti, perasaan yang mengalir itulah yang membuat kita berharga. Jadi mulai sekarang, berhentilah memendam perasaanmu. Kini aku adalah kekasihmu dan kamu adalah kekasihku, aku siap menjadi tempatmu melepas lelah, tempatmu berbagi suka duka, aku siap menjadi rumah yang menjagamu dan melepas semua bebanmu"

     Mendengar ucapanku Ryoba langsung melemaskan tubuhnya. Air matanya tak lagi terbendung, suara tangisan bergema diudara. Aku memeluk erat tubuhnya, aku mengelus kepalanya dalam pelukanku. Ryoba melepas semua beban yang di tanggungnya, dia menangis sejadi-jadinya. Air mata terus mengalir dan kini mulai membasahi bahuku. Setelah kurang lebih tiga menit, tangisan Ryoba perlahan terhenti.

     "Alex.. terimakasih.."

     "Tidak perlu berterimakasih, bukankah aku ini kekasihmu? Sudah sewajarnya aku melakukan ini. Jadi jangan menyembunyikan perasaanmu lagi, janji?" Aku mengeluarkan jari kelingking layaknya anak kecil yang berjanji.

     "Aku berjanji... janji kelingking" Ryoba mengeluarkan jari kelingkingnya dan kami saling menggulung jari itu untuk menetapkan janji.

     Ryoba yang sedang berpangku sembari berpelukan denganku kini mengambil posisi duduk. Dia duduk dengan kaki yang dilipat kebawah tubuhnya hingga kini yang terlihat hanya sepasang paha empuk. Dia menarik kepalaku dan mengistirahatkan diatas pahanya. Tidak ada yang mampu mengalahkan bantal paha ini, bahkan bantal-bantal yang ada di istana tidak mampu mengalahkannya.

     "Mooo~ harusnya aku yang mendominasimu, namun malah kebalikannya. Sekarang justru kamu yang mendominasiku, aku tidak akan kalah!!" Ucapnya dengan mata yang masih sembab setelah menangis.

     "Uhnn.. aku juga tidak akan kalah tanpa perlawanaan" Kami tertawa riang bersama, entah mengapa aku dan dia seperti memiliki banyak kecocokan.

     "Nee~ Alex"

     "Hmm ada apa?"

     "Jadilah asisten sekaligus penasehat pribadiku"

     "HE!! HEEEEE!!!"

What Would You Do If Your Girlfriend Was A Succubus..??? [ END ] ( Book 1 Of 3 )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang