Malam ini aku melewatkan waktu di balkon kamar yang terbilang luas. Bergelung di sofa berwarna krem berbahan kulit lembut, dengan beberapa bantal penyangga serta selimut kecil yang kubawa dari kamar. Di atas mejanya yang berbetuk bulat dengan kaki-kaki bergaya klasik bercat putih, aku meletakkan secangkir coklat panas yang beberapa detik lalu masih mengepul. Segera kuseruput isinya sebelum benar-benar dingin.
Rasa hangat mengaliri tenggorokan, sementara kedua mataku menatap lekat pemandangan di depan, Menara Eiffel yang rupawan.
Bukan main dinginnya. Betapa tidak, saat ini jam menunjukkan pukul 2 malam waktu Paris. Mataku tak bisa terpejam. Lebih baik aku memanfaatkannya untuk menyaksikan lukisan alam yang entah kapan lagi bisa kudapatkan.
Separuh badan menara Eiffel nampak jelas dari sini. Begitu berkilau, seolah menghibur hati yang sedang galau.
Amarahku pada Deva masih bersisa. Setibanya di hotel tadi sore, segera aku mengunci diri dalam kamar. Keluar sesekali hanya untuk mengambil makan dan minum di dapur. Tak kulihat Deva di mana-mana. Mungkin sama denganku, ia pun mengunci diri. Atau bisa jadi pergi keluar. Entahlah, aku tak peduli.
Apa yang ia pikirkan tentangku? Dikiranya mudah saja membeliku dengan uangnya? Dipikirnya semudah itu aku jatuh cinta dengannya dan rela menjadi pelariannya demi hidup bergelimang harta? Apa ia kira semua wanita akan silau dengan harta benda?
Ia benar-benar salah menilaiku.
Kutandaskan coklat panas yang sudah tak panas lagi. Dingin yang menggigit membuatku memutuskan cukup untuk acara cuci mata malam ini.
Sebuah notifikasi pesan masuk dari ponsel yang kuletakkan di sebelah cangkir, membuatku urung beranjak. Segera, aku membukanya. Ada segores harap jika Deva yang mengirimiku pesan.
[Hani, sedang apa?]
Rasa kecewa menelusup. Rupanya Artha. Tumben sekali.
Lama aku tak menjawab. Sempat bimbang, haruskah kami kembali menjalin komunikasi?
Tapi mungkin, tak ada salahnya.
[Duduk-duduk sambil minum coklat. Ada apa?]
Pesanku terkirim dan langsung centang biru. Tertulis pada bagian atas jika ia sedang mengetik balasan.
Saat ini di Paris adalah pukul 2 pagi. Selisih waktu di sini adalah lebih lambat 5 jam dari Jakarta. Artinya, di tempat Artha kini, adalah pukul 7 pagi, waktu ketika semua orang baru saja memulai aktivitas.
[Bukankah di sana dini hari? Kenapa belum tidur?] Balasnya lagi.
[Gak kenapa-kenapa] balasanku singkat.
[Aku chat kamu, berharap semoga beruntung pesanku dibalas. Ternyata kamu memang belum tidur.] Pesannya diakhiri dengan emoticon tersenyum merona. Tersirat seolah acara begadangku malam ini memang takdir yang diciptakan Tuhan sebagai jalan untuk kami bisa kembali berkomunikasi.
Benarkah begitu? Aku memutar-mutar ponsel, menimbang apa yang harus kujawab. Bukankah Artha telah memiliki kekasih baru? Atau wanita yang bersamanya waktu itu hanya teman atau ... pelarian?
Berpikir tentang kemungkinan seperti itu, seharusnya aku bahagia.
Ya, seharusnya.
Tapi entah mengapa, semua terasa hampa. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak membalas pesannya.
*****
Aku membuka mata dan mengerjap beberapa kali. Berusaha mengumpulkan kepingan nyawa yang berserakan. Dari arah jendela yang nampak benderang aku tahu jika hari jelas telah siang.
Aku bangkit dengan enggan. Bagaimanapun juga, tidak mungkin aku memenjarakan diri dan menghabiskan waktu seharian di kamar. Betapapun inginnyabaku menghindar dari Deva.
Ini hari ke-empat di Paris. Seharusnya, hari ini kami pulang ke Jakarta. Tapi Deva telah memperpanjang sewa hotel hingga 10 hari ke depan. Hal yang entahlah, harus kusesali atau kusyukuri. Dengan perkembangan kondisi yang seolah makin runyam.
Mungkin ada baiknya aku coba berkomunikasi baik-baik dengan Deva. Mungkin aku yang terlalu mudah tersulut emosi, entah mengapa. Ini tidak seperti diriku yang biasa. Mungkin aku terlalu takut untuk larut dalam konflik yang menyangkut-pautkan perasaan.
Aku beranjak ke ruang tengah, dan tak mendapati Deva di sana. Juga di dapur dan balkon. Tertegun, aku berdiri bingung di tengah ruangan. Kemana Deva? Mengapa tak terlihat sama sekali batang hidungnya sejak semalam?
Bagaimana kalau ... Deva meninggalkannya pulang?
Rasa panik seketika menyerang. Mengingat memang seharusnya hari ini kami pulang. Apa Deva begitu sakit hati terhadapku?
Aku terduduk dan menutup wajah, mencoba menenangkan diri dan menemukan solusi.
"Hani?" Deva berdiri di ambang pintu kamarnya, dengan penampilan rapi seperti hendak pergi. Rasa lega membanjiri hati. Aku pikir tadinya ia sudah pergi, saking marahnya padaku. Tapi kemudian, aku merasa heran melihat penampilannya yang agak terlalu rapi.
"Deva, kamu mau kemana?"
"Ke bandara," jawabnya singkat, sambil menutup pintu dan berjalan ke arah pantry dan menuang segelas air putih dari ceret kaca bermotif bunga.
Jadi benar, kami akan pulang hari ini juga?
Sejujurnya, aku tidak berharap kondisi akan berubah tak mengenakkan seperti ini. Mungkinkah aku yang berlebihan sehingga Deva berubah pikiran untuk segera pulang?
Baiklah, tapi aku paling tidak suka bermusuhan dengan siapapun.
"Deva, maafkan aku kalau kemarin membentakmu dan menuduhmu atau apapun. Aku hanya gak suka dengan ... Yah, kita harus bicara baik-baik." Kusingkirkan jauh-jauh rasa gengsiku untuk beberapa saat saja.
"Aku harus mengepak barang-barang dulu kalau mau pulang. Aku juga belum mandi."
Deva meneguk kembali air putihnya. Tidak terlihat marah atau penuh canda seperti biasa. Sikapnya cenderung acuh dan dingin kali ini.
"Kita tidak pulang hari ini. Bukankah aku sudah membooking hotel ini hingga 10 hari ke depan? Kamu lupa?" Kini ia tertawa lepas, seperti tak ada insiden apapun di antara kami. Sungguh lega melihat dua lesung pipi itu lagi. Setengah bebanku seolah terangkat tinggi-tinggi. Bagaimanapun, hanya Deva temanku selama di sini. Meskipun gombalannya sering mengesalkan, tapi ia adalah teman bicara yang asyik. Bertengkar dengannya sungguh tak enak.
"Terus mau ngapain ke bandara?" tanyaku.
Deva melihat jam tangan yang melingkari pergelangannya.
"Menjemput Dania." Ia berdiri, segera menyambar winter coat yang digeletakkan di atas sofa.
"Aku pergi dulu, Hani. Telepon saja kalau ada apa-apa." serunya sambil bergegas melewatiku yang tertegun berusaha mencerna.
Menjemput ... Dania?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Cinderella
Любовные романыRahania Calandra, terpaksa menjajakan ginjalnya dengan harga 150juta kepada para pengusaha, untuk membayar kehilangan mobil perusahaan ekspedisi di mana ia bekerja dan bertanggungjawab. Namun, alih-alih membeli ginjalnya, seorang pengusaha muda bern...