12. Tio

7 1 0
                                    

Pukul 18.45 waktu Paris.

Kami berempat duduk mengitari sebuah meja hitam, dengan piring-piring porselen berbentuk unik di atasnya. Piring-piring yang dirancang khusus, terinspirasi dari lokasi restoran ini sendiri.

Le Jules Verne, menara Eiffel lantai dua. Restoran dengan sajian utama seafood, buah karya seorang koki handal.

Meja kami terletak di titik yang paling diincar para pengunjung, tepat di sebelah jendela yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan. Meski sayang, suasana di antara kami tidak ada menakjubkannya sama sekali. 

Aku, Deva, Tio dan Dania, duduk canggung menanti menu makan malam yang beberapa saat lalu kami pesan. Dalam hatiku terbersit sebongkah penyesalan, kenapa mau saja diajak dinner dengan formasi yang ... entahlah, terlalu memaksakan kalau kubilang. Tak mengerti apa yang Deva pikirkan.

"Bagaimana perjalananmu, Dania? Transit di mana saja?" Tio membuka percakapan, mencoba riang di tengah wajah-wajah muram.

"Lumayan. Sempat transit di Singapura dan Doha," jawab Dania kaku.

Hening lagi.

"Kenapa kamu tidak bilang padaku, Deva? Aku 'kan bisa menjemput Dania di bandara tadi siang. Kamu pasti sibuk."

"Tidak perlu. Aku tidak percaya padamu," jawab Deva ketus. Melihatnya seperti itu, bertambah keherananku padanya. Mengapa mengajak kami dinner ganda seperti ini jika hanya untuk dijudesi?

"Hahaha .... Kamu ini, masih saja sentimen denganku," Tio justru menjadi lebih rileks setelah mendapat perlakuan ketus tadi. Para laki-laki aneh. Crazy rich yang benar-benar krezi.

Siang tadi Deva menjemput Dania di bandara. Setelah itu, ia langsung mengantar Dania ke hotel yang letaknya sekitar 5 km dari hotel kami. Tapi setelahnya, ia langsung membawa Dania lagi untuk makan malam di menara Eiffel. Aku ditinggalkannya seharian, tapi ia berpesan pada Tio agar pergi bersamaku ke Le Jules Verne untuk bergabung dengan mereka, dinner di lantai dua menara Eiffel. 

Aku yang terlanjur takjub membayangkan dinner itu, tak berpikir bagaimana akan begitu menyiksanya makan malam dengan Deva dan si Medusa itu, Dania. Oh, bukan aku yang memberikan julukan itu, ingat? Tapi Miranda. 

Tunggu. Apa katanya tadinya? Jadi, Deva tidak mempercayai Tio untuk menjaga Dania, tapi membiarkanku untuk pergi diantar oleh Tio dari hotel menuju Eiffel? 

Oke, baiklah. Aku memang tidak berharga.

Keanehan ini sudah jelas. Deva menjemput mantan kekasihnya, Dania. Yang entah mengapa tiba-tiba datang ke Paris di tengah 'bulan madu' kami. Jadi aku tak bisa menyalahkan Tio yang beberapa kali melempar pandang penuh ribuan tanya. 

'Apa maksud dari situasi ini?' Begitu kira-kira maksud tatapan mata dan kerutan-kerutan samar yang menghiasi dahi Tio.

Aku berusaha keras mengabaikan keingintahuannya itu. Di perjalanan singkat dari hotel menuju menara Eiffel pun aku dan Tio tak banyak bercakap, meski aku tahu ia menyadari keanehan ini sejak awal.

Menu makanan kami datang. Pilihanku jatuh pada menu dengan nama paling mudah. Saint Jaques Doree. Sejenis kerang. Meski yang tersaji di depanku kini bentuknya seperti kue lopis yang sudah dipotong-potong, dengan saus berwarna jingga dan topping remah-remah entah daun apa. Benar-benar tidak mencerminkan ke-kerang-an dari sisi mana pun. Semoga rasanya tidak membuatku terlihat norak di mata ketiga krezi rich ini.

Deva, Dania, dan Tio segera menyantap makanan aneh yang tersaji. Diam-diam aku memerhatikan ketiganya, yang makan dengan normal saja, tak ada yang mual atau bagaimana.

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang