Arkais

16 2 0
                                    

Pukul 10 pagi, di taman kota yang tidak begitu ramai, bukankah sangat cocok untuk menghabiskan waktu luang atau sekedar bersembunyi dari hiruk pikuk dunia nyata? Waktu di mana matahari belum sepenuhnya membara. Suasana udara yang sedikit sejuk karena pepohonan yang rimbun berhasil membuat siapa pun akan merasa nyaman meskipun sekedar duduk di bangku taman yang telah disediakan.

Aku mungkin adalah salah satu dari belasan manusia yang menikmati suasana tersebut. Terduduk di bangku taman, membiarkan angin sejuk menerpa pelan kulit wajah, serta menghirup pelan aroma bunga yang menyeruak. Setidaknya suasana sederhana ini berhasil mengalihkan isi kepalaku yang lumayan berisik. Hingga fokusku teralihkan oleh sebuah pergerakan pelan seseorang yang secara tiba-tiba duduk di sampingku.

"Boleh kan saya duduk di sini?"

Sebuah anggukan saya berikan, menyetujui permintaannya. Lagi pula kursi ini fasilitas publik yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Aku rasa tidak ada salahnya berbagi kursi dengan lelaki itu.

Waktu terus berlalu, hingga sebuah pergerakan lelaki di sampingku itu mulai mengalihkan fokusku. Ia bergerak mencari sesuatu di dalam tas kecil yang ia bawa. Senyuman itu kembali setelah ia menemukan apa yang dicarinya.

Sebuah permen kaki berwarna merah yang dibungkus oleh plastik biru muncul dari dalam tasnya. Ia menawarkan permen kaki tersebut kepadaku. Mungkin jika seumur denganku kalian akan sangat familiar dengan permen tersebut. Pernah populer pada masanya. Bahkan aku sedikit heran, di mana lelaki itu mendapatkan permen yang sudah mulai langka ini.

"Ambil, nggak saya kasih racun. Nggak akan bikin kamu hilang kesadaran juga," ucapnya.

Jujur saja untuk seorang yang tidak begitu mahir dalam bersosialisasi aku merasa sangat canggung. Seakan mengerti, lelaki itu meraih tanganku kemudian menyimpan permen kaki tadi di sana. Hanya satu bungkus. Aku menggenggam permen tersebut.

"Siapa namamu? Saya Arkais."

"Aku Alea."

"Nama yang indah."

"Terimakasih."

Selesai. Pembicaraan berakhir begitu saja setelah perkenalan. Hening menyelimuti aku dan lelaki bernama Arkais tadi. Aku masih bisa melihat Arkais dari ekor mataku. Lelaki itu seperti mencari lagi sesuatu dalam tas kecil miliknya. Senyuman itu lagi-lagi ia pamerkan sesaat setelah mendapatkan apa yang ia cari. Satu batang permen kaki lainnya sudah dalam genggaman.

"Saya ada satu lagi. Alea mau?" tawarnya. Aku menggeleng. Menolaknya sesopan mungkin.

"Engga, buat kamu aja. Aku kan udah ada." Kini aku perlihatkan permen kaki yang sebelumnya ia berikan. Arkais mengangguk mengerti.

"Alea, saya sering lihat kamu di sini. Pukul 10 pagi. Selalu sama. Apa kamu sedang menunggu seseorang?"

Aku mengangguk.

"Orang itu, masih belum datang?"

Lagi, aku mengangguk.

"Tidak bertanggung jawab."

Aku menoleh ke arahnya. Arkais, lelaki itu terlihat kesal. Jujur saja, ekspresi Arkais terlihat lucu sekarang. Ia mengerucutkan bibirnya. Menyilangkan kedua tangannya di atas dada. Seolah ia yang telah datang setiap harinya dan menunggu seseorang, bukan aku.

Sepertinya ia sadar sejak tadi aku perhatikan. Kini senyumannya muncul. Senyuman manis. Senyuman sederhana. Tapi entah mengapa menular. Aku juga ikut tersenyum dibuatnya.

"Nah seperti itu. Saya lebih suka lihat kamu senyum, Alea. Jangan hilang ya senyumnya."

Aneh. Senyuman ku malah semakin lebar. Begitu pula dengan miliknya.

"ALEAAA!!" Panggilan itu menginterupsi diriku. Segera aku menoleh kearah sumber suara. Seorang lelaki jangkung berlari ke araku. Tatapannya terlihat begitu khawatir. 

"Alea!! Kenapa kamu ke sini lagi? Kakak nyariin kamu dari tadi." Ah benar. Dia Kak Johnny. Kakak kandungku.

"dr. Haris udah nunggu Lea. Ayo, udah giliran kamu sekarang," ajaknya. Kak Johnny membantuku untuk berdiri. Ia merangkul diriku. Menuntunku untuk meninggalkan kursi yang sejak tadi aku duduki.

"Kak, sebentar. Lea mau pamit dulu sama Arkais." Aku menoleh kearah kursi tadi. Tapi Arkais sudah tidak ada disana. Hilang.

"Alea..." Panggil Kak Johnny. Berhasil membuatku menoleh ke arahnya seolah bertanya, kenapa?

Kak Johnny meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Sangat erat. Sampai rasanya aku tidak bisa bernafas.

"Lea, kita ketemu dr. Haris dulu ya. Abis itu kita ketemu Arkais. Kakak Janji," ucapnya seraya mengelus puncak kepalaku. Aku bisa merasakan beberapa kecupan di puncak kepalaku. Kak Johnny selalu seperti itu. Tanda kasih sayang seorang Kakak katanya.

"Ayo, dr. Haris udah nunggu Lea." Pelukan pun terlepas. Aku meninggalkan taman kota bersama Kak Johnny.

"Sampai bertemu lagi Arkais."

•••

end.

Arkais: Fictional Character Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang