____
Jangan lupa ngaji dan shalawat Nabi 🤍
Tetap jaga iman dan imun 🤍Happy Reading!
Raga bersandar di kursi, lelah menjalar dari punggung hingga ke pikirannya. Rutinitas dan pekerjaan yang menumpuk membuat otaknya terasa beku. Ia butuh pelarian—sesuatu yang bisa melepaskan belenggu monoton. Ia membuka playlist di ponselnya. Lagu "Xpresikan" milik Bondan Prakoso pun menjadi pilihan. Sudah lama ia tak nge-rapp, dan sekarang adalah waktu yang tepat.
Ketika intro lagu mengalun, ruangan yang kedap suara itu menjadi dunianya sendiri. Raga mengikuti irama dan bibirnya mulai mengucapkan lirik yang telah melekat sejak lama:
"Hey kawan, hey teman, semua yang mendengarkan. Ungkapkan rasa cita dalam pelukan. Bulatkan tekad untuk raih mimpi bertepi
Sesegar kopi hangat temani warnai pagi."Namun, momen tersebut terputus mendadak. Ponsel Raga bergetar di meja. Ia menghentikan aksinya. Nomor asing terpampang di layar. Dengan setengah hati, ia menjawab panggilan itu.
"Raga," Suara seorang perempuan menyapa, lembut namun terasa begitu memuakkan bagi Raga.
"Ini nomor Braga Pratama Athaya, kan? Ini aku, Amelia."
Raga diam. Jemarinya mengepal, menahan luapan emosi yang membuncah.
"Aga, tolong ngomong. Jangan diem aja."
Amelia terus berbicara, memohon, memanggilnya dengan panggilan yang dulu begitu Raga sukai.
"Aga ... aku kangen. Maafin aku. Beri aku kesempatan kedua."
Namun, Raga tidak mau lagi terjerat oleh masa lalu. Suaranya berat, dingin, seperti pisau yang mengiris tanpa ampun.
"Diam, bangsat!"
Amelia terkejut. "Astagfirullah, Aga. Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Aga yang aku kenal gak kayak gini."
"Dengar, Amelia. Nama saya Raga. Aga yang kamu kenal itu sudah lama mati. Saya muak sama kamu! Saya tegaskan sekali lagi, saya muak sama kamu!"
Panggilan itu diakhiri oleh Raga. Ia membanting tubuhnya ke kasur, memandang langit-langit kamar dengan napas berat.
"Kenapa dia berani-beraninya muncul lagi? Apa dia gak punya malu?"
***
Pada pagi yang cerah, mentari tampak menyapu langit dengan sinar hangatnya, seolah-olah ingin membangunkan setiap sudut kota dari lelap. Di tengah suasana yang nyaman itu, Naya tengah sibuk menuntaskan sebuah tugas istimewa. Ia membawa sekotak pisang cokelat hangat. Pesanan ini untuk seorang teman baiknya yang sedang mengidam.
Perhatian dan kepeduliannya membuatnya selalu menjadi sosok yang siap membantu dalam keadaan apa pun. Tidak mengherankan, memiliki seorang Naya dalam lingkaran pertemanan adalah keberuntungan tersendiri. Ia tidak hanya peduli, tetapi juga tulus—sebuah kombinasi langka yang membuatnya begitu berharga di mata siapa saja yang mengenalnya.
"Vira, lo beruntung banget gue masih punya nurani buat nganter ini," kata Naya ketika tiba di meja temannya di Universitas Aludra Sentosa.
Vira menyambut dengan senyuman lebar. "Engkaulah teman terbaikku, Naya."
"Bicit," sahut Naya, memutar bola matanya.
Namun, melihat wajah temannya yang mengerut sedih, ia menghela napas panjang. "Yaudah, makan yang banyak, Vir. Kalau bisa, habisin. Nanti kalau perlu apa-apa lagi, bilang aja."
Setelah menyelesaikan tugasnya, Naya memilih berkeliling kampus. Langkahnya membawa ia ke kantin Fakultas Ekonomi. Pandangan Naya tertuju pada sosok yang sangat ia kenali. Tanpa ragu, Naya mendekati meja tersebut.
"Hai, Jasad," sapa Naya sambil duduk tanpa permisi.
Raga mengangkat kepala, tatapannya datar seperti biasa. "Siapa?"
Naya mengernyit. "Gue?" tanyanya sembari menunjuk diri sendiri.
"Bukan," jawab Raga singkat.
"Terus?"
"Jasad." Raga memandang Naya dengan kesal.
"Lah? Hahaha, Jasad mah itu lo kali. Raga sama dengan Jasad," jawab Naya dengan tawa kecil.
"Oh," jawab Raga dengan cuek sambil kembali fokus kepada tab-nya.
"Lo nggak marah?" Raga merenyit heran mendengar pertanyaan dari Naya. Pasalnya, Raga memang sedang tidak dalam mode marah.
"Enggak."
"Oh, gak marah. Berarti, gue boleh dong manggil lo Jasad," kata Naya dengan tersenyum lebar.
Lelaki itu menatap malas perempuan di hadapannya lalu berkata, "Gak boleh."
"Kenapa gak boleh? Lo kan, gak marah tadi."
"Marah sih enggak, tapi saya gak suka dipanggil Jasad."
Naya menyeringai. "Lo harus terima panggilan dari gue, Raga. Dengerin gue, kalau Raga itu masih banyak sinonimnya kayak tubuh, awak, jasad, badan, fisik."
"Salah!"
"Kok salah? Gue itu gak pernah salah, Raga," protes Naya dengan kesal.
"Manusia yang normal pasti pernah salah. Kalau kamu merasa gak pernah salah, kamu bukan manusia normal," ucap Raga dengan datar.
"Kok ada, ya, spesies manusia kayak lo di dunia ini?"
"Saya juga heran kenapa juga ada spesies manusia kayak kamu di dunia ini, Naya?" tanya Raga dengan membalikkan ucapan dari Naya.
"Gue ada dunia ini biar suasana semakin ramai dan berwarna, Raga!"
"Oh."
"Lo dulu lahirnya bukan di rumah sakit atau di bidan kan, Raga? Pasti lahir di kulkas inimah," ucap Naya dengan sewot.
"Masalah kamu apa kalau saya lahirnya di kulkas?"
"Lo ngeselin."
"Salah kamu, ngapain ngajakin saya ngomong?" tanya Raga dengan tatapan dingin miliknya.
"Kok gitu sih."
"Karena gak gini," jawab Raga santai.
"Kok lo ngeselin sih?"
"Oh."
"Raga!"
"Apasih, Naya?" tanya Raga dengan malas.
"Jangan ngeselin!"
"Udah dari stelan pabriknya begini. Kamunya aja yang nggak sabar sama saya," ucap Raga dengan enteng.
"Bukan guenya yang gak sabar, tapi lo nya aja yang ngeselin minta ampun."
"Minta ampun itu sama Allah, Naya," balas Raga santai.
"Iya, kalau itu gue tahu, Raga." Lama-lama, ia ingin mencakar wajah menyebalkan Raga.
"Yaudah sih."
"Astagfirullah. Kalau ada sepuluh orang kayak lo di kehidupan gue. Bisa-bisa gue gila, Ga," ujar Naya dengan frustasi.
"Memangnya sekarang belum gila?"
"Dasar blasteran beruang kutub! Sinting!"
Naya menggebrak meja lalu bangkit dari duduknya. Naya kehilangan mood untuk makan di kantin ini. Akhirnya, ia memilih pergi dari kantin tersebut menyisakan Raga yang menggeleng heran sembari tersenyum teramat tipis.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Hati Braga (END)
RomanceBraga Pratama Athaya tenggelam dalam jurang patah hati setelah hubungannya dengan Amelia Syakira kandas. Perasaan yang hancur membuatnya mengidap gangguan kecemasan. Di tengah kekelaman itu, hadir sosok Naya Ayura Ningtyas, seorang wanita yang memb...