Afeksi

92 14 0
                                    

Aroma khas laut yang menguar akan tercium bagi siapapun yang mengunjungi tempat ini. Suara nyaring dari kicauan burung camar bahkan terdengar dengan jelas. Pantai Jeju memang memiliki daya tarik tersendiri, tak heran banyak pelancong datang kemari.

Pemandangan laut biru yang membentang luas, serta suara ombak yang menenangkan memang menjadi perpaduan yang indah.

"Paman, apa kau pernah merasakan jatuh cinta?".

Pertanyaan yang terlontar dari seorang bocah itu membuyarkan lamunan sang pemuda di samping nya, "Jatuh cinta?". Jawab nya sambil menoleh ke arah anak lelaki berumur lima tahun tersebut.

"Hmm". Si bocah mengangguk dengan semangat.

Pemuda yang di sebut paman itu kembali mengarahkan pandangan nya kedepan – menatap bentangan laut. "Tentu saja pernah".

Jawaban barusan jelas membuat sorot mata si bocah berbinar senang, ia sangat exited sampai merelakan beberapa burung camar berebut mengambil snack kesukaan nya yang sejak tadi ia makan.

Manik obsidian sang anak menengadah menatap pemuda jangkung tersebut, "Bagaimana rasanya jatuh cinta paman?".

Lengkungan tipis dari sudut bibir si pemuda membentuk sebuah senyuman samar. Meskipun begitu memori di otak nya ikut berpacu mengingat kembali kisah nya dengan sang pujaan; dulu. "Tentu saja menyenangkan, tak ada yang lebih menyenangkan ketika orang yang kau cintai balik mencintaimu juga".

"Hmm begitu ya", kepala mungil nya tertunduk lesu setelah mendengar jawaban sang paman.

Pemuda jangkung yang sadar dengan perubahan nada bicara si bocah kembali mengarahkan pandangan nya ke samping. "Ada apa? Apa ada seseorang yang kau sukai?"

Telapak tangan besar itu menangkup kepala sang anak , lalu membelai surai nya lembut.

Kepala si bocah mengangguk lemah, "Tapi sepertinya dia tidak menyukai ku".

"Kenapa kau berpikir seperti itu?, apa kau sudah mengungkapkan perasaan mu?".

Ia menggeleng lemah, "Tentu saja belum, karena aku takut dia akan membenciku kalau aku mengungkapkan perasaan ku".

"Kau tidak akan pernah tahu, sampai kau sendiri mencobanya." Ujar sang pemuda; memberi nasehat.

"Tapi bagaimana jika benar dia membenci ku?". Kepala nya menengadah, dan sorot mata nya tampak berkaca-kaca.

Ia tersenyum tipis, tak lupa tangan besar itu mengusak surai hitam milik sang ponakan; gemas,  "Maka bukan dia yang kau butuhkan." Perlahan pemuda itu bangun dan meregangkan otot-otot nya yang pegal karena terlalu lama duduk.

Ia lalu mengulurkan tangan kiri nya pada sang bocah, "Sebentar lagi matahari akan terbenam, ayo kita pulang. Kalau aku terlambat membawa mu pulang, aku tak yakin nyawa ku akan selamat di tangan ibu mu".

Namun anak laki-laki itu bahkan tak tertarik untuk menerima uluran tangan tersebut. "Aku bisa sendiri".

"Yasudah" Jawab sang pemuda sambil mengendikkan bahu nya tak acuh.

Tangan kecil itu mengibas-ngibaskan celana milik nya yang kotor karena pasir pantai. "Benar kata ibu, paman memang bodoh, padahal kan sekarang masih siang". Gerutu sang bocah. Yang tentu saja gerutuan barusan tak akan terdengar oleh pemuda bernama Jisung itu karena si pemuda tersebut terlalu sibuk membereskan sampah-sampah makanan mereka.

...

Aku tahu bahwa di dunia ini, yang singgah akan pergi,

Begitu pun dengan mu,

Namun kini aku seperti tersesat,

Masih dalam posisi nya,

Dimana diri ini belum mampu untuk melupakan mu.

...


Awan kelabu serta rintikan hujan yang masih setia menghujam menjadi pemandangan pertama ketika pemuda bernama Chenle itu kembali menginjakkan kaki nya di kota Seoul.

Netra kecokelatan milik sang pemuda mengedar di pelataran sekitar bandara incheon. Aroma petrichor perlahan mulai tercium melalui hidung bangir nya.

Kedua sudut bibir nya tertarik membentuk sebuah senyuman, "Sudah lama aku tidak kemari".

Koper yang berada di tangan kanan si pemuda ia seret menuju deretan taxi yang berjajar dan siap mengantar sampai tujuan itu. Sang sopir yang melihat Chenle menghampiri nya langsung sigap membantu menaruh bawaan si pemuda ke bagasi.

"Ahjussi tolong antarkan saya ke apgujeong".

"Baik".

Taxi yang di tumpangi pemuda bernama Chenle itu melaju, membelah jalanan kota Seoul yang basah dan lembab sebab hujan masih enggan untuk berhenti.

Gerimis yang menerpa permukaan jendela mobil tersebut membuat kaca tebal itu terhiasi oleh jejak air. Walaupun sedikit buram, namun ia masih bisa melihat jajaran gedung bertingkat di luaran sana.

Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak perubahan terlihat jelas di depan matanya ketika kembali menginjakkan kaki di kota ini. 'Bagaimana kabar nya sekarang?' inner pemuda bernama Chenle.

...

To Be Continued

_

Hallo, setelah sekian lama akhirnya aku kembali lagi dengan cerita chenji. Ini masih tes ombak ya, makanya chapter ini sedikit. Aku mau liat masih ada yang baca cerita ku atau enggak hehe.

Di tunggu voment nya, thank you.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not Over Yet | Chenji | Jichen (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang