Gianna turun dari mobil taxi yang ia tumpangi dengan sedikit terburu. Kaki jenjangnya melangkah ke sebuah bangunan berlantai dua yang merupakan tempat tinggal Haikal sementara menimba ilmu di Jakarta.
Sebenarnya dibanding sebuah kos-kosan, bangunan tersebut lebih layak disebut sebagai rumah kontrakan yang memang sengaja disewa oleh Haikal dan ketiga temannya.
Meski awalnya agak ragu-ragu, wanita yang mengenakan high waist jeans dan tank top hitam polos yang dilapisi cardigan rajut dengan warna senada itu perlahan masuk ke dalam pekarangan rumah.
Ingatan terhadap kejadian buruk yang ia alami setahun yang lalu kembali muncul. Jika bukan demi Haikal, Gianna tidak akan sudi menginjakkan kaki di tempat terkutuk ini lagi.
'Anak-anak pada nggak ada, jadi nanti langsung masuk aja. Gua mager bukain lu pintu.'
Kurang lebih begitulah pesan terakhir yang Haikal kirimkan padanya. Untung saja kamar temannya itu berada di deretan paling depan, sehingga Gianna tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam rumah. Hanya butuh beberapa langkah saja dari pintu masuk, ia sudah sampai di depan kamar Haikal.
Gianna mengetuk pintu tersebut sebanyak dua kali. Begitu mendapat izin, barulah dia masuk ke dalam sana. Hal pertama yang tertangkap oleh indera penglihatannya adalah Haikal tengah duduk bersender di kepala ranjang. Pria itu menampakkan cengiran menyebalkan seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa padanya.
"Ih tadi katanya nggak apa-apa, tapi kok sampe begini?" ujar Gianna sembari berjalan mendekat dengan agak panik.
"Selaw. Gua emang nggak apa-apa kali."
Haikal mengulurkan tangannya yang tentu saja diterima oleh Gianna. Wanita itu kini duduk di samping ranjang menghadap ke arahnya dengan raut wajah khawatir. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Lo ngebut ya?"
"Enggak lah, enak aja. Gua mah pengendara taat aturan kalo di jalan. Emang lagi sial aja tadi gua kena serempet mobil."
Gianna mengamati keadaan Haikal dari ujung rambut hingga kaki. Ketika matanya melihat ke arah kaki kiri pria itu yang dibalut perban, raut wajahnya jadi terlihat sendu seperti seseorang yang akan segera menangis dalam waktu dekat.
"Harusnya tadi lo langsung ngabarin gue waktu masih di rumah sakit. Kenapa sih telat banget ngasih taunya? Emang gue bukan termasuk orang yang penting buat tau keadaan lo ya?"
"Bukan gitu-"
"Padahal gue kalo ada apa-apa selalu ngabarin lo duluan Kal, tapi kenapa sih lo nggak bisa gitu juga ke gue?" tambah Gianna sembari memfokuskan pandangannya ke arah wajah Haikal yang untungnya tidak terluka sedikit pun.
"Nggak usah lebay. Ini gua cuma luka dikit doang. Sekarang udah nggak kerasa sakit malah."
Gianna sangat mengenal Haikal. Sejak dulu, pria itu memang selalu begitu. Bagaimanapun keadaannya, dia selalu saja mengatakan tidak apa-apa, bahkan meski dirinya sedang sakit parah sekalipun. Dia tau jika Haikal begini karena tak ingin membuatnya terlalu khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends With Benefits [✓]
Fiksi PenggemarMarvin dan Gianna memang telah sepakat untuk menjalin hubungan yang cukup rumit tanpa melibatkan perasaan di dalamnya. Namun mereka bisa apa jika takdir malah berkata sebaliknya? ©️zrstly, 2022