09. Ignorance

8.9K 624 47
                                    

Begitu Faux dan aku kembali ke By the Beach, pertandingan sudah selesai, dan Tobias keluar sebagai pemenang.

Aku buru-buru turun dan menyusul Tobias ke ruang ganti, melupakan Faux yang barangkali sudah ditelan kerumunan. Aku mengendap-endap di sepanjang koridor menuju ruang ganti, lalu mengintip dan akhirnya masuk sambil cengar-cengir.

"Halo, Axelle." Patrick menjadi yang pertama menyapaku. Cowok itu seperti baru saja mandi di pantai: basah dari ujung kepala hingga kaki. Patrick mengelap kacamatanya dan memakainya sambil mengerjapkan mata, lalu meneguk sebotol air yang disediakan oleh pihak penyelenggara. "Tobias masih di toilet," kata Patrick.

"Nggak apa-apa." Aku menyandar pada sofa kulit yang empuk. "Aku tunggu."

Patrick mengangguk-angguk. "Lawannya biasa aja," dia kembali menyambung obrolan kami yang sempat terhenti. "Masih lebih sulit lawan Daniel."

"Oh." Kelihatannya juga begitu. Aku memilin-nilin ujung sweter rajut baruku. Warnanya lilac dan sedikit longgar di bagian bahu. Faux membelikanku ukuran S. Mungkin aku kelihatan lebih berisi daripada aslinya. Ukuranku selalu XS. Aku menarik bahu sweterku, mulai kedinginan menunggu Tobias. Patrick menyelonjorkan kaki dan mengambil gulungan plester untuk membebat kakinya. Tontonan itu cukup menarik di saat bosan. Namun, ketertarikan itu menghilang secepat kedatangannya begitu Tobias berjalan keluar dari toilet tanpa atasan.

Tobias berhenti sambil mengelap tubuhnya dengan jersey, lalu mencampakkan jersey itu ke lengan sofa yang kududuki dan membungkuk untuk menciumku.

"Keringetmu," aku menggerutu.

"Sorry." Tobias tetap saja mengecup hidungku. "Udah lama di sini?"

Dia kemudian melarikan tatapannya ke bawah dan membelalakkan mata saat melihat ada yang berubah dari penampilanku.

"Kapan kamu ganti baju?" Tobias mengerutkan hidungnya. "Memangnya kamu punya baju yang kayak gini?"

Kesabaranku menipis hingga akhirnya habis ketika Tobias menjepit ujung sweterku dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Sweterku ketumpahan minuman," aku berkata. "Aku beli yang baru."

"Barusan?"

Aku mengedikkan bahuku.

"Siapa yang numpahin?"

Oh, astaga. Ini dia.

"Faux," kataku.

Tobias dan Patrick bertukar pandang, dan hanya aku yang merasa tidak diajak dalam diskusi seru mereka.

"Hati-hati, man," Patrick terkekeh. "Yang satu itu agak bahaya."

Alis Tobias terangkat, dan aku pura-pura tidak melihat ketika cowok itu mengembuskan napas dengan kasar dan hampir-hampir memutar bola matanya. "Anak itu ngajak ngomong nggak pernah, tahu-tahu deketin kamu aja." Seharusnya aku senang mendengar setitik rasa cemburu di dalam nada suara Tobias, tapi entah kenapa aku malah kesal. Aku tidak suka Tobias merasa terancam oleh orang-orang yang bersikap baik padaku. Sengaja atau tidak, yang penting Faux tidak berbahaya untukku, bukan? Apa pun intensinya.

"Dia nggak jahat, Tobias," aku mengerang.

"Terserah," kata Tobias, lalu menyambar tas serutnya dan mengedikkan kepala ke arah pintu keluar. "Ayo pergi. Aku laper."

Aku mengangguk dan tersenyum sopan pada Patrick, lalu menyusul Tobias yang terseok-seok menuju pintu keluar. Tobias menahan pintu untukku, lalu mencangklong tas serutnya selagi cowok itu berjalan menuju basemen.

Aku menggosok-gosok lengannya. "Capek ya?"

Tobias tidak langsung menjawab, tapi dia menyandarkan pipinya di rambutku dan terhuyung-huyung mendorongku keluar dari koridor. Kami bertahan seperti itu hingga basemen parkir.

Saints & SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang