Bertemu Kawan Lama

67 15 0
                                    

Aku terdiam dari balik kaca jendela apartemen murah yang kusewa setelah keluar dari penjara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terdiam dari balik kaca jendela apartemen murah yang kusewa setelah keluar dari penjara. Memandang nyalang ke arah gedung tinggi yang terpancar nyala lampu. Kini yang ada dihadapanku hanyalah keputusasaan. Sekalipun aku bertahan, rasanya selalu ingin menyerah.

Sudah hampir 2 minggu aku menunggu kabar dari Mona, tetapi masih tidak ada kabar. Ia memang tidak menjanjikan aku pekerjaan, tapi setidaknya ia berjanji mencari jalan keluar. Mungkin aku terlihat egois, tetapi hanya Mona-lah harapanku satu-satunya.

Dulu ketika aku berada di puncak karier, aku bukan orang pandai menabung atau berinvestasi. Usiaku bertambah, tetapi jiwaku selalu muda.

Party setiap hari mengusir kesepian dan memuaskan teman-teman dekatku. Kini, hal itu yang paling aku sesali.

Aku masih punya ibu dan dua adik di kampung halaman. Namun, semenjak aku memilih untuk menjadi aktor di ibu kota, hubunganku dan keluarga meregang. Apalagi ketika ayah yang seorang ulama desa meninggal dunia gara-gara aku. Saat itu aku bermain film yang menampilkan adegan ranjang. Tentu saja potongan scene itu viral di sosial media dan ayahku yang melihat langsung terkena serangan jantung, tidak lama meninggal dunia.

Makin saja keluarga menyalahkan dan memojokanku.

Di hari pemakaman ayah, aku bahkan tidak diizinkan datang apalagi berziarah. Hatiku tercabik-cabik hingga ingin rasanya menghancurkan hidupku sendiri.

Suara getaran ponsel membuyarkan lamunanku. Aku memicingkan mata untuk membaca nama yang tertera di layar ponsel. Buru-buru aku segera mengangkatnya.

"Halo, Na. Gimana?" Aku terdengar excited. Hatiku membuncah hebat karena merasa sangat senang. Ingin meledak rasanya.

"Nu ... sori gue baru hubungin lo nih," kata Mona di seberang telepon sana.

"Nggak apa-apa kok."

"Gini, Nu. Sebenernya ada beberapa naskah masuk ke Agency. Nah ... ada salah satu naskah yang gak diambil karena citra produsernya yang jelek, so ... mereka gamau ambil resiko di hujat netizen. Tapi pas gue baca sih jalan ceritanya oke kok. Kalau lo mau coba, besok jam 9-nan ke rumah gue aja. Gue mau ketemuan sama beliau, sekalian ngenalin lo."

"Serius lo Mon?"

"Dua rius! Tapi kagak janji gue lo dapet perannya apa gak. Pinter-pinter lo ngelobi Pak Produser aja dah."

Aku menunggingkan senyum terbaik. "Oke, oke, oke. Thank you, ya, Mon. Lo emang terbaik!"

Setelah memutus sambungan telepon, aku merasa seperti terlahir kembali. Semangat itu ada lagi. Semoga benar bahwa pasti ada jalan bagi orang yang tak menyerah.

***

Masih ada sisa uang di saku celana. Aku memutuskan untuk membeli cake di toko roti baru dekat apartemen. Tidak enak jika berkunjung ke rumah orang tak membeli buah tangan.

Aku sudah tidak memiliki mobil karena dijual untuk menutupi pinalty proyek yang sudah terlanjur aku ambil. Apartemen mewah sudah jadi hak milik Jess, setidaknya hanya itu yang bisa aku berikan padanya. Selama dua tahun pernikahan, aku tidak pernah memberikan apa-apa. Kemudian uang tabunganku habis untuk membayar pengacara atas kasusku dam membayar uang denda pada negara karena kepemilikan barang haram.

Aku miskin sekarang. Ini adalah masa-masa terpuruk salama aku hidup.

"Jangan Ranu deh, Na. Udah gue problematik, masa pemainnya juga problematik. Film gue kagak laku nanti."

Aku menghentikan pergerakanku saat ingin mengetuk pintu. Kemudian terdiam mematung memandang daun pintu dengan tatapan sedih. Jujur saja, perkataan itu sangat menghantam dadaku.

"Tapi menurut gue dia itu paling tepat buat meranin Mas Satrio lho, Bang. Film action gitu udah cocok sama karakter Ranu. Dia juga udah pengalaman main di beberapa film action dan laga sebelumnya."

Nada bicara Mona benar-benar meyakinkan. Ia berusaha melobi Bang Danang, politikus yang nyempulng jadi produser film.

"Ah nggak dulu deh. Malah gue kira lo mau rekomenin si Andrew. Belakangan kan dia viral gara-gara pacaran sama fans-nya."

Mona menghela napas panjang seolah-olah mengatakan bahwa pilihan Bang Danang payah. Jujur saja aku kurang tahu artis pendatang baru, tapi kalau Mona sudah begitu, kemungkinan anaknya jauh lebih problematik.

"Nggak cocok, Bang. Anak kemarin sore itu," ujar Mona sedikit meremehkan "Lo kalau mau cari peran flower boy unyuu unyu, nah dia kayaknya cocok."

Bang Danang terbatuk-batuk. Mungkin sudah tidak kuat dengan asap rokok yang ia hisap sendiri. Klotak klotak. Tangan kekar itu menyentuh jendela dan berusaha membukanya.

Aku pun segera mengumpat di samping tembok dekat jendela kamar depan rumah Mona.

"Ya elah, siapa peduli? Zaman sekarang mah yang penting ganteng, cantik, pinter gimmick buat promosi."

"Yah ... jangan gitu, Bang. Gue nggak enak sama Ranu nih. Mas Riza sutradara bilang pemainnya terserah gue. Lo juga bilang nyerahin ke gue. Tapi kok malah gini."

"Ya tapi bukan Ranu juga, Na. Baru aja dia keluar penjara. Kagak ke panti rehab dulu apa dia?"

Dadaku sesak. Tidak sanggup lagi mendengar gunjingan orang lain tentangku. Aku bukan pecandu, aku dijebak. Kenapa semua orang begitu?

Aku buang cake yang kubeli di dekat pos satpam komplek perumahan. Tanpa pamit, kuputuskan untuk pergi saja. Entah ke mana, aku tidak punya tujuan pasti.

Topi dan masker yang kupakai rupanya mampu membantu penyamaranku. Saat aku naik angkot, bahkan lanjut naik Transjakarta, tidak seorang pun yang mengenaliku.

Aku terus berjalan dari satu trotoar menyambung trotoar lainnya. Terus berjalan hingga tidak terasa hari sudah malam saja.

Perutku keroncongan, tetapi aku harus berhemat. Entah sampai kapan. Mungkin sebentar lagi aku akan tinggal di jalanan karena sudah tak mampu membayar uang sewa.

Suara bising hingar bingar kendaraan seolah buyar. Aku tidak mendengar suara klakson nyaring yang dulu menjadi suara yang paling aku benci. Siapa pula di dunia ini yang tahan dengan kemacetan? Kurasa para pegawai gedung tinggi tak akan mau jika bukan karena perkara bertahan hidup.

Aku kemudian melipir ke persimpangan jalan kecil samping restoran cepat saji. Gang itu klasik. Kemudian aku sengaja merekam perjalananku. Merekam langit pada hari itu. Merekam lampu jalanan, dan suasana hari itu.

BRUUGGG

Sampai ketika aku keluar dari gang, ponselku tak sengaja merekam mobil yang menabrak sejumlah pedagang.

Kejadian itu memang musibah. Tetapi di saat bersamaan menjadi kesempatan emas untukku untuk bisa kembali di dunia entertaiment.

Danira. Dia Danira.

TBC

Fight For My Way (TERBIT Di WACAKU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang