Tepat pada pukul tujuh malam, Nabil turun dan berjalan mencari-cari keberadaan Alia—sang Ibu. Rupanya, wanita itu tengah berada di ruang keluarga menemani Hana, sang adik yang baru saja berusia enam tahun bermain. Dari kejauhan, Nabil melihat Alia bergerak dan membantu Hana menumpukkan mainannya untuk membuat gunung, dan setelahnya suara teriakan dari keduanya menggema karena gunung yang tengah dibangunnya runtuh begitu saja.
Nabil tersenyum kecil, melihat keluarganya seperti itu selalu membuatnya tak henti mengucap syukur. Nabil bersyukur, karena kedua orang tua angkatnya tak pernah membeda-bedakan antara dirinya dengan Hana yang merupakan anak kandung di rumah tersebut. Baik Alia atau pun Reza, sang ayah yang saat ini tengah bertugas di luar kota itu tak pernah sekali pun membagi kasih sayangnya secara tidak adil, mereka selalu menganggap sama antara Nabil dengan Hana.
Kaki jenjang milik Nabil melangkah mendekati Alia, wanita yang langsung mendongakkan kepala saat kedatangan putranya. Ia tersenyum. Sementara, Nabil langsung menidurkan kepalanya di paha Alia.
“Kenapa, Bil?” tanya Alia. Alia tahu, jika putranya bersikap manja seperti ini, itu tandanya Nabil sedang gundah, sedang memikirkan sesuatu, atau apa saja kegelisahan yang ingin Nabil bagi dengannya.
Nabil menatap lurus ke atas, sementara Alia menunduk dan kedua mata mereka saling bertemu. “Mama pernah buat salah?” tanya Nabil to the point.
Mendapat pertanyaan seperti itu Alia terkekeh. “Pasti, dong, namanya juga manusia, makhluk sosial, sadar nggak sadar kita pasti pernah buat salah. Kamu habis buat salah sama siapa, hm?”
Nabil mengerucutkan bibir. “Kok, langsung ketebak?”
Alia terkekeh lagi. “Ya, gimana? Kamu, kan, anak Mama, jelas Mama udah tahu kebiasaan kamu.”
“Nabil habis buat salah sama seseorang, salah besaaar banget, sampai nggak bisa dimaafin.”
Dahi Alia berkerut. “Siapa? Kesalahan apa?”
“Qiran, masih ingat?”
Tidak langsung ada sahutan, Alia menerawang ingatannya tentang seseorang bernama Qiran. Sampai akhirnya, sebuah ingatan kecil muncul samar-samar. Alia bertanya, “Teman kecil kamu di panti, kan?” tanyanya memastikan.
Nabil mengangguk. “Nabil ketemu lagi sama dia, dia sekolah di sekolahan Nabil sekarang.”
“Oh, ya?” sahut Alia, “terus dia masih marah karena kamu nggak nepatin janji waktu itu?”
Nabil mengangguk lagi.
Alia menjatuhkan pundak, ikut kecewa atas apa yang Nabil rasakan. “Maaf, kalau dulu Mama sama papa bawa kamu ketemu Qiran lagi, mungkin sekarang Qiran nggak akan marah.”
“Bukan cuma itu.”
Alia menaikkan kedua alisnya sebagai respons, ia menunggu Nabil melanjutkan ceritanya. Namun, beberapa saat menunggu, Nabil tidak juga menceritakan kelanjutannya, karena yang Nabil pikirkan adalah, apa jangan dulu bilang, ya? Gue juga, kan, nggak tahu jelas masalahnya apa. Nanti malah bikin mama bingung.
“Bil, kok, malah ngelamun,” tegur Alia.
Nabil tersadar dan langsung nyengir. “Cara biar Qiran mau maafin Nabil gimana, ya, Ma?” tanyanya mengalihkan perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISES
Ficção Adolescente"Thala, kamu harus janji, ya, jangan pernah ninggalin aku. Kita harus sama-sama terus, di sini, selamanya." "Iya, aku janji." *** "Kamu udah bikin aku jatuh cinta, Bil, jadi aku mohon sama kamu, kamu harus bertanggung jawab atas perasaan aku sekaran...