Malam itu langit begitu gelap tanpa taburan bintang. Hanya ada angin dingin yang berhembus setelah rintik hujan telah usai beberapa menit lalu, walaupun pertokoan di kota besar itu masih memamerkan tulisan 'open' di depan pintu toko mereka tapi aktivitas nyatanya terlihat begitu sepi.
Entah karena orang-orang terlalu malas keluar rumah setelah hujan atau memang karena saat ini waktu sudah menunjukkan diatas jam sebelas malam.
Jalanan itu cukup lengang dengan hanya ada beberapa kendaraan yang lewat diatas aspal basah.
Dengan mata yang masih tajam, seseorang dengan rahang tegas itu menyetir dalam kesunyian malam. Jas hitam yang sejak tadi siang menemaninya bertugas kini sudah tersampir disandaran kursi penumpang sebelahnya.
Satu tangannya memegang stir mobil sedang yang satunya lagi ia pakai untuk menopang pipinya dengan tumpuan siku pada pangkal jendela kaca mobil.
Bohong kalau dia bilang tidak merasakan denyutan pening pada kepalanya.
Satu jam yang lalu ketika dia sampai di rumah sakit setelah menyelesaikan tugas di kantor kejaksaan, isterinya datang dengan wajah agak sembab dan menceritakan semua hal yang sudah terjadi.
Soal anak mereka dan diagnosis yang sudah dokter berikan padanya.
Dengan berat hati dia dan isterinya harus menerima semua keadaan sang anak yang kini tak lagi seperti dulu.
"Post Traumatic Stres Disorder atau yang biasa di singkat menjadi PTSD, walaupun ini masih diagnosis awal tapi semua gejala sudah ditunjukkan oleh putera anda tuan Jung. Dan hal ini bisa berakibat fatal bila tidak segera di tangani oleh dokter yang tepat."
"Selain perawatan medis putera anda juga membutuhkan dampingan psikologis. Trauma masa lalunya membuat dia selalu berhalusinasi."
"Saya akan mengajukan rujukan pada dokter spesialis sikolog, kalian bisa menemuinya. Untuk saat ini biarkan putera anda beristirahat di rumah, jangan biarkan dia sendirian dalam jangka waktu yang lama, terus ajak dia berbicara saat bersama dan alihkan perhatiannya dari benda-benda tajam atau apapun yang dapat dia gunakan sebagai senjata atau membahayakan dirinya dan orang lain."
"Lalu hal yang terpenting adalah, cobalah untuk tidak menyinggung masalah atau kejadian yang pernah dia alami dulu. Itu pasti sangat membuatnya tertekan."
Kepala keluarga Jung itu termenung dalam fokusnya menyetir. Semua ucapan dokter Shin masih terasa jelas terngiang-ngiang dalam benaknya. Semua diagnosis itu benar-benar terjadi pada anak tengahnya. Hal yang sangat tidak pernah dia bayangkan akan terjadi pada salah satu anak-anaknya.
"Jaehyun...?"
Agaknya yang merasa dipanggil sedikit terkejut.
Lelaki itu menoleh ketika namanya dipanggil oleh Taeyong yang duduk di kursi penumpang belakang bersama Jeno yang tengah terlelap dengan kepala yang terkulai diatas paha Taeyong.
"Ya? Kau mau beli sesuatu untuk Mark dan Sungchan?"
Taeyong menggeleng pelan seraya melirik wajah damai anaknya yang sedang tidur. Ia mengulum senyum miris sambil mengusap-usap kepala dengan surai sehitam jelaga tersebut.
Sebelum keluar dari gedung rumah sakit dia sudah mendapatkan pesan singkat yang dikirim oleh si sulung yang mengatakan kalau dia dan si bungsu sudah memesan makanan. Jadi ibu dan ayahnya tak perlu repot-repot lagi untuk membelikan sesuatu setelah pulang nanti.
"...apa semua persiapan untuk persidangan besok sudah siap?" Taeyong bertanya lirih. Bahkan suaranya hampir teredam oleh suara geraman laju mobil ketika kendaraan berwarna hitam metalik itu memasuki jalan tol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wake Me Up || Sekuel SAVE
ActionJeno tidak mengerti mengapa setelah pindah dia kerap melihat sosok lelaki yang menculik dan menyiksanya itu? Padahal ayahnya bilang, orang itu sudah di penjara. Dan hal mengerikan itu terus berulang hingga Jeno merasa mulai gila! (Biar lebih paham...