"Boleh aku bertanya?"
"Ini bukan tentang keraguanmu, 'kan?"
"Keraguan apa? Kenapa berpikir begitu?"
Tebakan Alby membuatku bertanya-tanya.
Tidak mudah menyuruhnya pulang jika sudah menginjakkan kaki di apartemen kami, bahkan dia menumpang mandi juga. Bajunya ada di sini tanpa kusadari kalau dia pernah sengaja meninggalkannya beberapa lembar. Alby menyelipkannya di antara baju-bajuku di lemari, bahkan meletakkannya sesuai dengan warna bajuku. Bajunya tersebar di beberapa tempat, tetapi beruntungnya dia tidak menitip pakaian dalam juga--aku pasti akan menjerit kalau menemukannya satu di antara milikku.
Namun, aku tidak akan membiarkan dia menginap malam ini, tidak untuk mendapat risiko bangun kesiangan karena tidur terlalu nyenyak di sisinya. Bahkan dalam posisi ini saja rasanya sudah sangat nyaman. Berbaring miring di sofa ruang tengah yang sempit dengan dia berada di belakangku, memelukku. Tubuh kami menempel dan aku bisa merasakan debar jantungnya di punggung. Napasnya berembus hangat di puncak kepalaku. Sesekali dia akan usil menggelitik perutku dan aku segera menegurnya dengan cubitan yang sama sekali tidak memberi efek jera. Meski begitu, sudah setengah jam seperti ini dan kami sama sekali tidak bicara, hanya suara televisi yang memenuhi ruangan.
"Kau cenderung tidak bisa langsung menerima suatu perubahan yang mendadak dan menentang apa yang sudah kau percaya." Dia menjawab dengan mantap, dan aku tidak mengelak karena itu benar. Sayang sekali sofa ini terlalu sempit untuk aku sekadar membalik badan dan melihat wajahnya. "Aku akan sedih kalau kau masih meragukan perasaanku."
Andai dia melihat wajahku sekarang; geli bercampur ngeri. Dia seperti orang yang kehilangan percaya diri. Lingkar tangannya di pinggangku seperti sebuah usaha untuk membuatku percaya. Dan aku tidak pernah berpikir untuk meragukannya, mengingat pengakuannya waktu itu adalah sesuatu yang sudah kunantikan. Aku tidak ingin keraguan menahanku untuk merasa bahagia. Apa yang terjadi besok, biar kupikirkan setelah menghadapinya.
"Tidak, bukan itu. Aku hanya ingin bertanya tentang ... keseharianmu. Kupikir kau cukup sibuk, tapi masih sempat bersantai seperti ini."
Pelan-pelan saja, aku tidak ingin dia curiga kalau aku langsung mempertanyakan tentang bisnisnya. Dia cukup tahu kalau aku tidak mengerti apa pun soal bisnis dan tidak senang membicarakannya. Well, salahkan Claudia.
"Serius kau bertanya itu?"
Dia bergerak tiba-tiba hingga membuatku hampir terdorong ke depan dan jatuh, tetapi terselamatkan oleh lengan kekarnya yang masih berada di pinggangku. Wajahnya sudah berada di atas kepalaku, tetapi aku harus menoleh agar bisa benar-benar melihat wajahnya. Apa memang terdengar tidak wajar kalau menanyakan itu?
Perubahan posisinya memberiku ruang untuk bisa telentang. Lengan kiriku sudah sakit karena tertindih sejak tadi.
"Aku penasaran bagaimana kau membagi waktu." Aku menyisir beberapa helai rambut lembapnya yang menutupi dahi. Namun, tanganku tidak berhenti di situ saja, tetapi menelusuri pipi, rahang, leher tidak terlewat bahunya juga. Aku bergerak pelan-pelan sampai berhenti di lengan dan sedikit meremasnya. "Misalnya kapan kau punya waktu untuk membentuk otot-otot ini."
Aku tidak tahu seberapa besar pengaruh sentuhanku sampai dia menelan ludah dan menahan geraman dalam mulutnya. Jakunnya yang bergerak-gerak gelisah itu menarik perhatianku.
"Kalau ingin menggodaku, sebaiknya tunggu kakimu sembuh. Kau akan menyesal sudah meloloskan singa lapar dari kandangnya."
Mendengar erangan frustrasi darinya membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa. Tentu aku sangat mengerti maksud kata-katanya. Entah sejak kapan aku menganggap itu sebagai sesuatu yang lucu dan bukan lagi sesuatu yang menjijikkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart to Break [✔]
Roman d'amour[Song Series][Completed] Ava, seorang layouter majalah, tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; kekasihnya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan dia juga harus kehilangan pekerjaan di saat yang bersamaan. Orang bilang, di balik kesialan, akan di...