DAY 3

8 4 0
                                    

09:10

Ada sesuatu yang menggantung di langit-langit kamarnya, seperti bayangan monster berkepala hitam dari masa lalunya. Awalnya monster itu tampak kabur, tapi seiring berlalunya waktu, wajahnya semakin jelas. Monster berkepala hitam itu memiliki mata besar yang warnanya semerah darah. Kedua mata itu selalu terbuka dan memperlihatkan pupil kecil hitam di bagian tengahnya. Ada cairan putih berlendir yang terus menerus keluar dari mulutnya. Cairan itu menetes di atas wajah Dean. Monster berkepala itu juga memiliki rambut lebat seperti sulur tanaman berwarna coklat yang menggantung persis di atas wajahnya sampai memblokade semua cahaya yang masuk melewati jendela kamar.

Dean membiarkan kedua matanya tetap terbuka untuk menatap wajah mengerikan monster itu. Kemudian ada ketegangan yang mencekam saat ia menyaksikan monster itu membuka mulutnya perlahan-lahan dan memperlihatkan sebaris gigi kuning yang tajam, lidah merah yang panjang seperti ular dan lubang hitam besar di dalam mulutnya. Moster itu bergerak turun dan semakin turun sampai wajahnya berada persis di depan mata Dean. Kini kedua matanya terbuka lebar, jantungnya berdegup kencang. Dean merasakan udara semakin tipis dan mencekik. Persis ketika monster itu membuka mulut dan siap untuk melahapnya, Dean tersentak bangun dari tidur.

Dengan nafas tersengal, Dean menatap ke sekelilingnya. Tidak ada monster. Matahari telah merangkak di atap pondok. Cahayanya membanjiri setiap sudut tempat dan menyusup masuk melewati jendela kamarnya. Di sampingnya Bree masih tertidur pulas. Satu lengannya melingkari pinggul Dean. Kedua matanya terpejam erat, nafasnya berembus dengan teratur. Dean tidak menyangka seseorang dapat tidur sedamai itu ketika ia masih saja dihantui oleh monter dari masa lalunya.

Sembari mengatur nafasnya, Dean menatap ke arah alarm di atas nakas yang menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Ia menyingkirkan lengan Bree dan selimut dengan hati-hati kemudian menyeret tubuhnya turun dari atas ranjang.

Hawa dingin yang tertinggal di lantai kayu menusuk telapak kakinya ketika Dean berjalan perlahan mendekati kamar mandi. Ia membasuh wajahnya di wastafel kemudian mencengkram tepian wastafel itu sembari menatap dinding kosong.

Bagaimana mungkin keluarga Bree tidak meletakkan satupun cermin disana? Bagaimana ia akan menyadari betapa kacau kondisinya pagi itu? Pakaian yang kusut, mata menghitam, dan bekas makanan yang tersisa di sela-sela giginya.

Dean mengabaikan semua itu dan memutuskan untuk menanggalkan pakaiannya dan berdiri di atas pancuran air. Tubuhnya mengigil saat butir-butir air dingin dari pancuran itu menghujani kulitnya. Ia membasuh tubuhnya dengan cepat kemudian berpakaian dan turun ke dapur untuk membuat kopi.

Bree meletakkan banyak jenis kopi di lemari penyimpanannya, hanya saja tidak satupun dari kopi itu terasa familier untuknya. Namun rutinitas pagi hari tidak bisa dilewati begitu saja hanya karena Dean tidak mendapatkan kopi kesukaannya. Jadi, ia memutuskan dengan cepat untuk meramu kopi hitamnya sendiri.

Tidak banyak makanan yang tersedia di lemari penyimpanan. Hanya ada sejumlah makanan kaleng yang sudah berdebu. Dean membaca tenggat waktu konsumsi pada permukaan kaleng itu. Beberapa makanan yang sudah melewati batas waktu konsumsi langsung ia singkirkan ke dalam bak sampah hingga yang tersisa hanya dua kaleng berisi kacang merah.

Dean merengut, tapi perutnya mengatakan hal lain. Ia mengeluarkan telur dari dalam kulkas, berharap kalau telur itu masih layak untuk dikonsumsi, kemudian menyalakan kompor dan menyajikan kacang merah dan telurnya sendiri.

Lima belas menit kemudian Dean duduk di dapur sembari menyantap makanannya. Ia memeriksa ponselnya dan mendapati dua panggilan tidak terjawab dan dua pesan dari Kate masuk ke ponselnya pada dini hari sekitar pukul dua.

Apa yang terjadi pada GPS-mu? Sialan, Dean, dimana kau?

Dan pesan lain bertuliskan:

FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang