3A

11 3 0
                                    

Bree mengatakan kalau mereka akan pergi menuju sungai dan Dean mengikutinya tanpa bertanya-tanya seperti anjing yang penurut. Hanya saja ia menyadari bahwa jalur yang ditempuh mereka berbeda dari sebelumnya. Tempat itu sangat aneh, pikirnya. Seolah-olah seseorang sudah merancangnya seperti itu. Setiap jalur yang ditempuh terlihat baru untuk Dean, dan karena kemiringannya yang tak menentu serta banyaknya bukit-bukit tanah yang terbentuk disana, jarak ke sungai dan ke pondok bisa saja sama jika dilihat dari peta, namun ketika mereka berjalan untuk sampai disana, satu tempat bisa terasa lebih jauh dari tempat lainnya, dan perbedaannya sangat signifikan.

Dean berjalan pelan menyusuri permukaan tanahnya yang tidak rata. Berhati-hati agar tidak menginjak rumput liar dan juga menghindari sulur-sulur tanaman yang menggantung liar atas kepalanya. Cahaya mataharinya tampak kelabu di bawah dahan-dahan pohon tinggi yang menghalanginya untuk dapat menyentuh permukaan. Udara terasa menipis dalam setiap langkah yang diambilnya untuk sampai di sungai. Sementara itu, jalur setapak mulai menyempit karena pohon-pohon besar yang menjarahnya. Di depannya, Bree berjalan tanpa ragu-ragu. Lengannya terangkat untuk menyingkirkan sulur-sulur tanaman liar yang menghalangi jalannya. Sementara Dean terus menatap punggungnya, seolah ia sedang berusaha membuat lubang disana. Tiba-tiba ia mengingat percakapan terakhirnya dengan Nikki di telepon.

Aku berusaha menghubungimu – sekitar pukul dua, tapi kau tidak menjawab. Mungkin kau sedang tidur..

"Hei!" Dean berjalan cepat ke samping Bree kemudian mengimbangi langkahnya. "Dua malam yang lalu, saat kita berhenti di tengah jalan, aku ketiduran, bukan?"

"Ya."

"Paginya kau sudah tidak ada di mobil."

"Ya, aku perlu buang air kecil.."

"Aku tahu, tapi.. pukul berapa kau bangun?"

Bree kembali mengangkat satu lengannya untuk menyingkirkan sulur tanaman itu. Karena tempatnya begitu hening, derap langkah mereka terdengar begitu jelas.

"Aku tidak tahu, aku tidak melihat jam, tapi yang pasti masih gelap. Mungkin fajar. Memangnya kenapa?"

"Apa kau mendengar ponselku bergetar?"

Bree tertegun, dahinya mengerut, kemudian wanita itu menggeleng dengan cepat. "Tidak."

"Kau yakin?"

"Ya, Dean, aku sangat yakin. Memangnya ada apa?"

"Tidak apa-apa. Kupikir seseorang berusaha menghubungiku, itu saja."

"Siapa?"

Dean tidak menjawab sampai Bree mengehentikan langkah dan memutar tubuh ke arahnya. Wanita itu meraih pundaknya sembari mengerutkan dahi – satu hal yang selalu dilakukan Bree ketika ia menuntut penjelasan. Dan satu hal yang pasti tentang Dean: ia tidak bisa berbohong – terutama pada orang-orang terdekatnya.

"Nikki."

Kerutan pada dahi Bree menghilang, namun tidak menanggalkan rasa penasarannya.

"Ada apa? Semuanya baik-baik saja?"

"Tidak. Sam terjatuh. Temannya mendorongnya ketika mereka sedang bermain di taman dan dia menangis semalaman. Nikki berusaha menghubungiku tapi aku tidak menjawab panggilannya."

Kini Bree mendekat sembari meletakkan kedua tangannya yang hangat di atas rahang Dean. Wanita itu menatapnya dengan penuh simpati dan berkata, "hei, maafkan aku. Bagaimana kondisi Sam sekarang?"

"Kuharap dia baik-baik saja. Aku berusaha menghubungi Nikki, tapi dia tidak menjawab panggilanku, selain itu sinyalnya sangat buruk disini."

"Tidak apa-apa, kau akan mencobanya lagi nanti. Aku tidak mengada-ada, tapi disini memang sulit menemukan sinyal. Orang-orang yang tinggal disini tidak menggunakan internet."

FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang