3D

6 3 0
                                    

13.10

Di seberang pondoknya, Dean melihat Irine sedang berdiri di pinggiran danau. Wanita yang mengenakan dress putih dan pita biru yang melilit kepalanya itu sedang memindahkan ember dan jaring ke dalam dek perahu rakit, kemudian menunduk selagi memasukkan satu tangannya ke dalam permukaan air danau yang keruh, seolah-olah sedang berusaha mencari sesuatu.

Ketika Dean mendekatinya, Irine tersentak kaget. Wanita itu terburu-buru ketika menarik tangannya dari dalam air kemudian dengan kepala ditundukkan ia berusaha menyibukkan diri untuk memindahkan kembali ember-ember kecil ke dalam dek. Dean melihatnya. Irine mungkin berpikir kalau Dean cukup bodoh untuk mempertanyakan gerak geriknya yang kikuk, tapi Dean memahami permainannya dengan baik untuk berpura-pura kalau ia sama sekali tidak mengangkapnya.

"Hai!" ucapnya ketika mendekati wanita itu.

Irine, yang tingginya nyaris menyandingi Dean, menatapnya kosong kemudian cepat-cepat berpaling. Dean menunduk untuk menatap ember-ember di dalam dek itu. Tidak ada hal lain selain jaring dan rantai basah yang digeletakkan di atas permukaannya begitu saja. Beberapa alat pancing yang sempat dilihat Dean kemarin sudah dipindahkan, namun tali yang menahan perahu tetap di tepian masih ditautkan kencang di kaki jembatan kayu. Angin yang bergerak lembut menyeret dedaunan kering ke atas permukaan danau. Daun-daun itu kini mengambang di permukaan air, bergerak mengikuti alirannya yang tenang menuju bantaran kemudian berkumpul disana bersama dedaunan yang lebih dulu sampai.

"Kau bisa memancing?" tanya Dean saat berusaha memulai percakapan.

Irine menatapnya kemudian menggeleng.

"Ada apa? Kelihatannya kau yang paling pendiam di antara saudari-saudarimu yang lain."

Hening. Dean mengamati reaksi wanita itu dengan kedua mata disipitkan. Sementara itu Irine masih menatap kosong ke seberang danau seolah-olah ia sangat berhati-hati dalam memilih kata-katanya. Tapi kemudian Dean mendengarnya berbicara. Aksennya persis seperti Bree hanya saja wanita itu berbicara lebih pelan, seperti sedang berbisik.

"Diam lebih mudah," katanya.

"Aku mengerti," Dean mengangguk. "Beberapa muridku di sekolah juga pendiam, tapi kebanyakan dari mereka yang pendiam menunjukkan kemampuan yang lebih baik daripada mereka yang banyak berbicara. Mungkin kau memiliki sesuatu cukup besar untuk disampaikan."

"Tidak ada," Irine menatapnya - benar-benar menatap. Untuk kali pertama Dean bergidik saat melihat wajahnya yang pucat. Dari jauh wanita itu tampak baik-baik saja, kecuali karena sikap diamnya yang terasa aneh. Namun setelah ia mengamati lebih dekat, Irine tampak lebih pucat. Luka di dahinya memperlihatkan belasan jahitan yang membuat Dean ngilu hanya dengan membayangkannya.

"Tidak ada yang harus disampaikan.." wanita itu melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.

Keheningan yang terasa janggal sempat hadir sampai Dean memutuskan untuk bertanya, "lukamu kelihatannya cukup serius. Apa yang terjadi?"

"Kau tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban, bukan?"

"Apa?" tanya Dean sembari memiringkan wajahnya. Di sampingnya Irine hanya menatap lurus pada permukaan danau. Ekspresinya tampak setenang air, tapi siapa yang benar-benar tahu apa yang sedang dipikirkannya?

"Aku tahu seseorang sepertimu."

"Seseorang sepertiku? Seperti apa?"

"Kau kebingungan dengan dirimu sendiri. Kau pikir kau sudah tahu jawabannya, tapi sebenarnya kau sendiri bingung."

Hening. Kini Dean mengedarkan pandangannya ke sekitar, berusaha untuk mencerna apa yang disampaikan Irine. Firasatnya sejak awal benar. Wanita itu tahu lebih banyak dari yang terlihat. Irine bisa saja duduk di sudut meja paling pojok, diam dan bertingkah seolah-olah tidak mendengar apapun dalam percakapan, tapi sebenarnya wanita itu melihat semuanya. Ia tidak hanya melihat dengan kedua mata, tapi juga telinganya dan Dean mulai khawatir kalau ia mengatakan sesuatu yang salah malam kemarin karena sedang mabuk.

FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang