19

314 17 6
                                    

"Tolong cintai gue!"

Kiren terpaku melihat Erlangga menangis di depannya. Kiren mengusap air mata Erlangga dengan tangannya dan mengelus pipi Erlangga juga.

"Jangan nangis," pinta Kiren ikut sedih melihat Erlangga menangis.

Erlangga mengangguk lalu menyentuh tangan Kiren yang mengelus pipinya.

"Maaf, gue malah nangis!" Erlangga tertawa renyah masih menangis.

"Air mata gue nggak bisa berhenti!" ujar Erlangga ingin menahan air matanya namun tak bisa.

Grepp

Kiren memeluk Erlangga lagi. Kali ini lebih erat dari yang tadi. Kiren menepuk-nepuk punggung Erlangga.

"Jangan nangis, nanti gue ikutan nangis juga!" pinta Kiren lalu memejamkan mata dan menyembunyikan wajahnya ke leher Erlangga.

Erlangga membalas pelukan Kiren yang selalu terasa hangat. Pelukan hangat yang jarang sekali Erlangga dapat dari kedua orang tuanya itu.

"Maaf."

Kiren menggelengkan kepalanya. "Gapapa!"

Erlangga menghapus air matanya. "Gue nggak baik-baik aja sekarang, hati gue sakit! Fisik gue lelah dan mental gue terluka, rasanya capek banget hari ini!"

Erlangga memejamkan matanya sejenak. Ia akan menceritakannya pada Kiren sekarang.

"Tadi gue ketemu sama Ayah, gue ngobrol sama dia Ren! Ternyata dia tegas dan berwibawa loh," jelas Erlangga mengingat sosok Alaska.

Kiren ingin melepaskan pelukannya namun di tahan oleh Erlangga. "Ayah? Ayah lo disini?"

"Iya Ren, Pak Alaska itu Ayah gue."

"APA?!"

Erlangga tersenyum mendengar suara teriakan Kiren yang terkejut. Wajar sekali gadisnya terkejut karena Pak Alaska sama sekali tak mirip dengannya.

"Gue sedih Ren! Dia adalah orang yang selalu di rindukan Ibu, namanya selalu dipanggil Ibu setiap harinya tapi sekarang gue tahu Ren, dia sama sekali nggak mau mengakui gue dan Ibu." Erlangga memeluk Kiren semakin erat.

"Gue tahu dia ingat dan dia sadar gue adalah anaknya tapi dia nggak mau mengakui anaknya sendiri! Gue.."

"Udah Er! Cukup! Gue udah paham!" Kiren menimpali ucapan Erlangga dan menghentikan cerita Erlangga. Kiren tak mau Erlangga semakin membuka lukanya dengan bercerita kepadanya.

Laki-laki yang terlihat kuat dan menyeramkan. Kini terlihat lemah karena hatinya sedang terluka. Kiren masih terkejut mendengar cerita Erlangga tentang Ayahnya itu. Kiren yang tadinya merasa bangga setelah mendengar pidato Alaska, kini rasa bangga nya itu sudah memudar.

"Jangan terluka lagi! Seorang Ayah yang tak mengakui ayahnya tidak pantas disebut orang tua," ucap Kiren memihak pada Erlangga.

"Emang sih seburuknya orang tua itu tetap aja orang tua yang harus kita hormati tapi kalau sudah begini apa boleh buat selain melupakan dia, semoga Tante bisa secepatnya sembuh dari penyakitnya."

"Er, hiks..hiks!"

Erlangga mendengar isakan Kiren. "Ren, lo nangis?"

"Hmm, nggak..hiks!"

Erlangga tersenyum, jelas-jelas suara isakan itu terdengar sangat jelas. Erlangga menepuk-nepuk punggung Kiren seperti Kiren menepuk-nepuk punggungnya tadi.

"Kenapa Ren?" tanya Erlangga dengan lembut.

"Gue keinget Tante Kamelia," jawab Kiren menyembunyikan wajahnya kembali.

ERLANGGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang