Bagian 2.3

41 1 0
                                    

Apa yang kau tanam itulah yang kau petik.

Entah sudah berapa kali aku mendengar pepatah seperti itu. Dari sejak kecil aku suka membaca. Karena memang kesepian yang membuatku seperti ini.

Terkadang aku ingin mempunyai banyak teman dan bisa pergi keluar bersama sama. Tapi itu hanya angan angan saja. Kenyataannya aku sangat sulit untuk berteman dengan orang asing.

Kesulitan tidak mempunyai banyak teman ternyata sangat berpengaruh. Kadang juga itu adalah hal yang positif. Seperti sekarang ini, aku sedang berada di apotek dekat rumah. Aku menatap sekeliling semoga saja tidak ada yang mengenaliku.

Aku berjalan sekitar sepuluh menit dari rumah. Alasanku kepada orang rumah adalah lari sore hari. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.

Aku maju satu langkah karena orang di depanku sudah selesai bertransaksi. Aku menyerahkan barang yang akan ku beli dengan sedikit ragu. Kasir apotek itu menatapku sebentar lalu menghitung barang yang aku beli.

"Semuanya jadi 103.000 Kak"

Aku mengambil tiga lembar uang lima puluh ribuan. "Kembaliannya ambil aja Mbak"

Aku segera keluar dari apotek itu. Barang yang aku beli tadi ku sembunyikan di kantong jaketku. Lalu aku kembali berlari kecil menuju rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar mandi. Aku mengeluarkan apa yang ku beli. Dengan seksama aku membaca cara pakai alat itu.

Selama lima menit menunggu dengan detak jantung yang berdebar, aku melihat hasilnya. Keraguan itu akhirnya pudar, dua garis merah. Aku hamil.

Ya Tuhan!

Aku menutup kedua mataku dan luruh di lantai kamar mandi. Aku menyalakan shower agar menyamarkan isakkan tangisku. Takut apabila ada orang yang mendengar.

Aku mengelus perut yang terdapat janin kecilku. Mengapa benih laki laki itu harus tumbuh. Kenapa aku menuai hal buruk yang bahkan tidak aku tanam?

Aku sudah berusaha menjadi seorang anak yang patuh. Aku tidak pernah berpacaran dan berteman dekat dengan lawan jenis. Mungkinkah ini balasan atas dosa di kehidupanku yang dulu?

Rasa marah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Semua mimpi yang ingin aku bangun akan sia sia. Semua harapan kedua orang tuaku akan punah.

Aku anak satu satunya yang tidak bisa menjaga diri. Hamil tanpa ikatan pernikahan, bahkan ayahnya tidak aku kenal sama sekali.

-Kopi Susu-


Sore ini aku sedang duduk santai sendirian di taman samping rumah. Aku membaca novel sambil mendengarkan lagu indie. Sudah setengah toples keripik pisang yang aku habiskan.

Semenjak aku mengetahui kalau ada makhluk lain di perutku, aku menjadi semakin kuat untuk makan. Sampai sekarang Mama dan Papa belum tahu hal ini. Aku masih memikirkan alasan yang bagus.

Kai, laki laki itu tidak aku kenal sama sekali. Bahkan mungkin Lauda juga tidak mengenalnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada kedua orang tuaku.

Getaran ponselku membuat playlist lagu ku berhenti. Ternyata Tante Arumi mengabarkan kalau kebayanya sudah di depan rumah. Sesuai perjanjian, kebaya yang aku pesan beberapa waktu lalu selesai hari ini.

Dalam proses pembuatannya agak sedikit lama karena Tante Arumi ada bentrok dengan pelanggan lain. Rencananya aku akan memakai kebaya ini lusa. Acara wisudaku lusa, seluruh keluarga besarku akan datang baik dari keluarga Mama dan Papa.

Aku menerima paket kebaya dari gojek yang di pesan Tante Arumi tadi. Aku langsung mencobanya. Ternyata ukuran yang dibuat Tante Arumi pas badan. Padahal seingatku aku meminta agar sedikit di longggarkan.

"Anne... "

"Iya Ma?"

Mama masuk ke dalam kamar dengan wajah serius. Aku mengira Mama akan pulang besok, karena seharusnya hari ini Mama dan Papa masih berada di Malang.

"Mama sudah pulang? Aku kira Mama akan pulang besok atau lusa"

"Bagaimana Mama dan Papa tidak pulang kalau menemukan ini?!!! "

Itu suara Papa. Papa datang dengan muka memerah seperti menahan marah. Aku tercekat saat melihat testpack yang pernah ku pakai berada di tangan Papa. Aku yakin sudah membuang testpack itu di tong sampah depan.

Plakkk!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku bisa melihat nafas Mama yang memburu. Air mata ku mengumpul siap untuk jatuh.

Terlihat jelas kilatan amarah dan kecewa di kedua mata orang tuaku. Aku juga tidak mau seperti ini. Aku ingin berteriak membela diri. Tapi aku tahu, itu hal yang sia sia.

Sejak dini, kata gagal tidak ada dalam kamusku. Setiap kali aku akan gagal, Mama dan Papa akan mendorongku jangan sampai gagal. Dan ini adalah kali pertama kegagalan fatal dalam hidupku.

"GUGURKAN!!!" Tegas Papa.

Aku memeluk perutku. Walaupun dia tidak diinginkan, aku sudah menjadi ibunya. "Aku tidak bisa Pa!"

"Bagaimana dengan hidupmu Anne!!!!" Mama berteriak. Beliau menangis terduduk di ranjang "Mama dan Papa tidak mau menerima ini. Tidak akan pernah"

"Ma... Aku diperkosa.... "

"Kami tidak peduli Anne. Setelah wisuda kita pergi ke klinik aborsi!"

Aku hanya bisa menatap kepergian Mama dan Papa. Begitu pintu tertutup, aku langsung meredam tangisku di bawah bantal. Aku menangis memikirkan bagaimana reaksi mereka tadi saat tahu aku di perkosa.

Mama adalah seorang ibu yang harusnya lebih mengerti perasaanku. Seharusnya aku sedang menangis di pelukan Mama saat ini. Menumpah semua kejadian yang aku alani. Tapi Mama lebih memilih kesempurnaan yang dia cipta.

Nyatanya, aku menelan kesakitan ini sendiri. Membiarkan hatiku nyeri menahan tangis yang kian deras. Dan aku dipaksa harus kuat.

Aku mengelus perutku dengan pelan. Tidak pernah ada kata membenci janin ini. Setelah aku tahu dia tumbuh, aku harus membuatnya terlahir.

Janin ini adalah temanku nanti. Dia yang pertama aku peluk saat menangis. Dia yang akan aku bahagiakan mati matian. Dia anakku sendiri walau bagaimanapun.

Hidup selama dua puluh dua tahun tanpa kasih sayang orang tua membuatku yakin. Dia ada dikirimkan untuk menemaniku hingga usia senja. Walaupun dengan cara yang tidak aku sangka sangka.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku akan menentukan pilihanku sendiri. Aku akan mempertahankan bagian dari diriku. Aku harus bangkit.

"Tumbuh yang sehat sayang. Bunda akan berjuang untuk kita"

Aku mengelus perlahan perutku. Semoga dia merasakan kalau aku, Ibunya, akan menunggu kehadirannya.

Hal pertama yang ada dalam rencana hidupku adalah melewati ini semua dengan ikhlas. Setelah wisuda nanti, besar kemungkinan aku harus mencari pekerjaan.

Ada beberapa perusahaan yang sempat menawariku pekerjaan. Tapi itu semua adalah kenalan keluargaku. Aku tidak mungkin bekerja pada mereka.

Mulai besok, aku harus mencari pekerjaan. Asalkan halal, untuk aku dan anakku tidak apa apa. Terimakasih Tuhan, malaikat kecil ini engkau kirimkan kepadaku.


Salam hangat, Fi.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang