Prolog

856 84 3
                                    

"Emang kampret si Satya itu!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Emang kampret si Satya itu!"

UMPATAN penuh nada kesal itu terucap di antara riuh suara mahasiswa yang memenuhi kantin kampus Persada Sakti. Alvaro Ganesha Tristanio, seorang cowok berambut nyaris gondrong dengan tindikan memenuhi telinga kirinya—alias sosok yang mengeluarkan umpatan tadi, nampak memutar-mutar garpunya yang penuh gulungan mi ayam dengan kesal. Membuat ketiga sahabatnya yang sejak tadi asyik menikmati makan siang masing-masing mau tak mau harus menahan cekikikan atas apa yang baru saja mereka dengar.

"Gue masih gagal paham tau, emang dia sebenci apa sih sama gue sampai-sampai semua nilai gue semester ini juga diacak-acak sama dia!"

Dan lagi, karena cowok itu kembali merepet, ketiga sahabat yang sejak tadi susah-payah menahan tawa, akhirnya tak tahan untuk melepaskan tawa mereka juga. Bagimana tidak? Untuk kali pertama, mereka bertiga baru melihat Alvaro menampakkan kekesalan yang luar biasa seperti barusan. Alasannya, tidak lain dan tidak bukan adalah dosen mata kuliah mereka yang bernama Satya Samudera itu.

"Sabar aja, Ro. Mungkin aja Pak Satya lagi kesel karena lo keseringan absen kuliah." Abednego Wijaya, si cowok berkacamata yang terkenal paling wise di antara mereka berempat akhirnya mengambil suara. "Belakangan, lo emang keseringan nggak hadir kuliah gara-gara manggung dan latihan sama Paradigma, kan? Anggap aja Pak Satya lagi ngasih lo teguran supaya lo lebih fokus sama kuliah lo."

Mendengar itu, alih-alih mengiakan, Alvaro justru mendengkus seraya mencomot bakso di mangkuknya dan memakannya dalam sekali suapan. Siapapun di antara mereka berempat sama-sama tahu, bahwa bagi cowok itu, Paradigma adalah keluarga keduanya. Dan bagi seorang Alvaro yang idealis, tidak semudah itu orang lain bisa serta-merta melarangnya. Termasuk sang dosen.

"Kalau memang si Satya keberatan gue sering absen di kelasnya, kenapa nggak dia coba bikin jadwal kuliah yang lebih fleksibel?" tandas Alvaro masih tak terima. "Kuliah online, mungkin? Atau jangan-jangan, dia emang segaptek itu sampai-sampai nggak kepikiran? Nobody knows, kan?"

Atas apa yang diucapkan oleh cowok itu, mau tak mau mereka bertiga hanya diam sambil menggelengkan kepala pasrah. Seperti mereka tahu bahwa Alvaro adalah the one and only cowok gay di dalam geng mereka—dan mereka sama sekali tak mempermasalahkan hal itu, baik Abed, Tristan maupun Angga sama-sama tahu, bahwa menguliahi cowok dua puluh tiga tahun itu sama saja seperti memadamkan kebakaran dengan air ludah.

Nihil hasil alias hanya membuang-buang waktu saja.

Makanya, ketimbang mereka kesal sendiri karena Alvaro sudah barang tentu tidak mendengar saran dari mereka, ketiganya memilih diam seraya menghela napas panjang.

"Ya udahlah ya, daripada kita mikirin si kampret nggak jelas itu, mending kalian mesen makanan lagi, deh!" lanjut Alvaro sembari menyodorkan menu yang tadi dimintanya pada petugas kantin ke atas meja. "Kebetulan fee manggung gue kemarin malam udah cair, jadi kalian semua bakal gue traktir!"

Dan begitu saja, ketiganya langsung heboh setelah mendengar kata 'traktir' yang keluar dari mulut Alvaro.

***

JAZZ merah mengkilat yang dikendarai Alvaro berhenti di depan rumahnya. Rumah dua lantai dengan arsitektur modern dan pekarangan luas yang dipenuhi dengan bebungaan beragam jenis. Pemuda itu melirik arloji di tangan kirinya. Hampir pukul tujuh malam. Sepulang kuliah tadi, ia memang menyempatkan diri mampir sebentar di basecamp Paradigma di kawasan Selatan, sebelum kemudian memutuskan pulang karena sesi latihan mereka dibatalkan karena sang drummer berhalangan hadir.

Menginjakkan kaki memasuki ruang tengah, Alvaro bisa mencium aroma wangi yang berasal dari dapur. Ayahnya tengah sibuk memasak makan malam. Tadinya, Alvaro ingin langsung saja naik ke kamarnya. Namun rupanya, sang ayah sudah lebih dulu menyadari kedatangannya.

"Jadi, mau sampai kapan kamu mau terus bermain-main dengan band-mu yang nggak jelas itu?"

Di atas kedua kakinya yang masih menginjak anak tangga pertama, Alvaro berdiri mematung. Sama seperti ratusan percakapan yang pernah dilakukannya dengan sang ayah, Alvaro membenci perkataan itu.

"Papa sudah lihat nilai kamu semester ini." Karena sang anak masih enggan memberikan respons, laki-laki dalam balutan pakaian kerja yang belum diganti itu melanjutkan. "Mau sampai kapan kamu mau terus bermain-main dengan masa depanmu? Kuliahmu sudah memasuki semester lima, sudah waktunya kamu berhenti membuang-buang waktumu dengan band rock-mu yang nggak jelas itu dan lebih fokus terhadap masa depanmu."

Andai saja sosok laki-laki di hadapannya bukan laki-laki yang telah membuat mendiang ibunya melahirkannya, tentu Alvaro akan dengan senang hati melemparkan tas di punggungnya ke arahnya. Urat di leher Alvaro mengeras, pertanda emosi di dalam kepalanya mulai mendidih dan menguapkan kesabarannya.

"Varo tahu bagaimana cara menentukan masa depan Varo sendiri kok, Pa." Di antara marah, Alvaro mengucapkan itu.

"Oiya?" ujar ayahnya sangsi. "Dengan cara menghancurkan semua nilaimu padahal Papa sudah susah payah memilihkanmu kampus terbaik?"

Alvaro mendecih.

"Ketimbang Papa sibuk mengurusi hidup Varo, bukankah sebaiknya Papa memikirkan bagaimana egoisnya Papa sehingga Mama meninggal karena Papa berselingkuh?"

"Varo!!!"

Tanpa memberi kesempatan bagi sang ayah untuk berkata, Alvaro sudah lebih dulu mengayun langkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Membiarkan pintu kamarnya terbanting keras, pemuda itu lalu menjatuhkan diri ke atas kasurnya. Membiarkan amarah yang membakar dadanya, perlahan-lahan membesar dan membuat kedua matanya perih.

Seandainya saja sang ibu masih hidup, tentu dia tidak harus merasakan hidup bersama sosok ayah yang begitu keras terhadapnya. Semenjak sang ibu meninggal karena sakit-sakitan setelah sang suami ketahuan berselingkuh dengan sekretarisnya, Alvaro seperti memulai sebuah kehidupan di dalam penjara. Bagi sang ayah, segala sesuatu yang dilakukannya selalu nampak salah. Alvaro sadar bahwa dia adalah satu-satunya putera yang mengemban begitu banyak harapan dari sang ayah. Namun sialnya, semuanya diperparah dengan ulah dosen di kampusnya yang sama sekali tak bisa diajak berkooperatif barang sebentar saja.

"Dasar Satya sialan!!!" desis Alvaro penuh dendam dari balik bantal yang menutup kepalanya. "Lihat aja, setelah ini, gue bakal lakuin segala cara supaya lo bertekuk lutut di bawah kaki gue!"

Maka setelah mengeluarkan ucapan penuh kesumat itu, Alvaro bangkit dan melepas pakaiannya sebelum melenggang menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Malam ini, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyegarkan kepalanya. (*)

CHASING THE PROFESSORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang