Hari itu, Minggu pagi. Awal sebuah tragedi yang tidak pernah mereka sangka akan terjadi.Soobin yang baru bangun tidur disuguhkan pemandangan dimana ibunya sedang menyuapi adiknya sarapan. Mereka sambil berbincang yang hanya dapat dimengerti oleh mereka. Soobin bisa melihat wajah adiknya begitu berbinar menceritakan bahwa ia punya teman baru yaitu mainan yang bisa berjalan dan menyanyi yang ia dapatkan dari seseorang kemarin. Dan ibu yang menanggapi dengan tak kalah antusias sambil terus menyuapkan makanan begitu mulut adiknya sudah kosong.
Suara adiknya bahkan terdengar sampai ke kamarnya. Selain karena antusiasme, juga karena flat yang mereka tempati tidak seluas itu. Hanya berupa petakan dengan dua kamar, ruang tengah merangkap tempat makan, juga dapur dan kamar mandi kecil.
Soobin berjalan kearah dapur untuk mengambil air minum. Saat itulah adiknya yang tadinya sedang asik bercerita, menoleh padanya dan menyapa dengan suara yang memekik keras.
"Selamat pagiiii"
Demi mendengar seruan itu, Soobin menoleh dan tersenyum kecil, mengangguk. "Selamat pagi"
Ibu yang posisinya membelakangi Soobin juga ikut menoleh, menunjuk kearah dapur.
"Sarapan dulu, setelah itu ibu minta tolong kau temani Taehyun terapi hari ini ya? Ibu harus menyelesaikan pesanan jahitan milik bibi Yeonsu"
Wajah Soobin mangkel, ingin menolak karena ia sudah ada janji dengan teman-temannya untuk bersepeda di tepian sungai Han. Tapi melihat wajah ibu yang begitu memohon, juga ekspresi senang dari adiknya, Soobin akhirnya menyetujui.
"Yeay, Hyung yang menemani!" Taehyun kembali menjerit senang. Soobin menghampiri dan mengusak rambutnya ringan.
Soobin memang tidak sedekat itu dengan adiknya. Jarak usia mereka yang terlampau jauh membuat hubungan mereka juga canggung. Sebenarnya hanya Soobin, karena dia belum juga merasa terbiasa memiliki seorang adik, apalagi Taehyun memiliki kekurangan yang beberapa kali pernah disinggung oleh teman-teman Soobin sendiri. Diam-diam Soobin merasa malu akan kekurangan adiknya itu.
Taehyun menderita disleksia, kelainan yang diturunkan dari ayahnya. Membuat bocah berusia enam tahun itu kesulitan membaca, menulis, membedakan warna, arah, mengenali wajah orang lain, sulit mengerti dan memahami sesuatu, juga sebelumnya memiliki masalah dalam kontrol keseimbangan yang untungnya sekarang sudah jauh lebih baik setelah serangkaian terapi okupasi yang dijalaninya.
Sebenarnya Taehyun sudah bersekolah, di sekolah reguler karena ibunya tidak mampu menyekolahkan dia di sekolah khusus anak-anak berkebutuhan. Untuk biaya terapi Taehyun pun ibunya harus berusaha mati-matian.
Ibunya bekerja di sauna sebagai tukang pijat, juga menerima permintaan jahit dari para tetangganya, tak jarang juga jadi tukang cuci. Soobin sedih melihat ibunya berjuang sendirian, ingin membantu tapi ibu tidak mengijinkan. Ibu bilang, ia harus fokus pada sekolahnya dan menjadi orang sukses di masa depan nanti. Agar mereka tidak lagi menjadi bahan gunjingan orang-orang seperti saat ini.
Dan tekad itu sudah Soobin patri dalam-dalam di hatinya.
***
"Hati-hati di jalan. Taehyun, pegangan yang erat pada Hyung. Soobin, jangan membawa sepeda terlalu cepat ya" pinta ibu sambil mengantar anak-anaknya ke lobi gedung flat butut yang mereka tinggali.
Omong-omong, flat yang mereka tempati memang berupa gedung kumuh yang dibangun atas dasar belas kasihan pemerintah terhadap orang-orang yang membutuhkan tempat tinggal. Uang sewanya pun tidak begitu mahal. Dan mereka tinggal di lantai 4, yang untungnya walaupun seadanya, flat ini masih memiliki lift.
Soobin sudah menaiki sepedanya, juga Taehyun yang duduk di boncengan sambil memeluk erat perut Soobin sesuai perintah ibunya.
"Kami akan hati-hati, tenang saja Bu" kata Soobin menjawab ucapan ibunya tadi.
Ibu mengangguk dan mengecup puncak kepala Taehyun seperti yang biasa ia lakukan. Hal itu tidak luput dari perhatian Soobin. Ibu tersenyum kecil dan beralih mengecup puncak kepala Soobin juga yang membuat Soobin melotot malu. Dia sudah terlalu besar untuk mendapat perlakuan semanis itu.
"Ibu..." Protes Soobin. Ia dapat mendengar tawa Taehyun dan ibu yang begitu kompak.
"Sudah, sana berangkat"
Soobin mengangguk dan mulai mengayuh sepedanya pelan. Ibu melambaikan tangannya dan berteriak sedikit keras.
"Hati-hati! Ibu sayang kalian!"
***
Saat jam makan siang, Taehyun sudah menyelesaikan terapi nya. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. Dan entah mengapa sedari tadi Soobin merasakan dadanya sesak bergejolak. Perasaannya tiba-tiba begitu buruk dan moodnya turun drastis. Apalagi dia juga beberapa kali berpapasan dengan mobil pemadam kebakaran yang meraung berisik dan terlihat buru-buru menuju...
Tunggu, bukankah?
Soobin mempercepat kayuhannya pada pedal sepeda. Bahkan Taehyun dibelakang sudah menjerit-jerit ketakutan karena Soobin beberapa kali hampir menabrak atau ditabrak.
Hingga kayuhannya memelan begitu mereka sudah dekat dengan flat tempat mereka tinggal. Disana, terlihat asap membumbung tinggi. Banyak petugas pemadam kebakaran yang menyemprotkan air ke api yang berkobar, tapi terlihat percuma karena sebagian besar gedung sudah terbakar. Soobin tanpa sadar melompat dari sepedanya hingga sepedanya terguling, bersamaan dengan Taehyun yang semakin keras menangis. Takut melihat keramaian, juga sepeda yang jatuh menimpanya terasa sakit.
Soobin memandang sekeliling, mencari-cari kalau-kalau ibunya ada diantara orang-orang yang tengah menangisi tempat tinggalnya yang hangus terbakar. Tapi nihil, Soobin tidak melihat sosok itu.
"Bibi, dimana ibuku?" Tanya Soobin pada seorang wanita seusia ibunya yang tengah menangis sambil memeluk anaknya yang masih kecil. Yang membuat Soobin sontak teringat pada Taehyun yang ia tinggalkan begitu saja.
Belum sempat Soobin berbalik untuk mencari Taehyun, bibi yang tadi Soobin tanya mencengkeram tangannya kuat.
"Aku tidak tahu ibumu dimana nak, tapi terakhir kali aku melihatnya, dia ada di flat"
Soobin menggeleng. Ia menoleh dan mendapati seorang paman satpam penjaga flat. Seperti kesetanan, Soobin berlari menghampiri pria baya itu.
"Paman, apa ibuku berpamitan untuk pergi? Ibu pergi ke pasar kan? Iya kan?"
Pria baya itu menangis melihat anak muda dihadapannya sudah banjir air mata. Ia menggeleng nanar dan memeluk Soobin.
"Setelah mengantarkan kau dan adikmu, ibumu kembali ke flat dan tidak keluar lagi sampai saat ini, nak. Banyak penghuni yang belum sempat turun menyelamatkan diri karena lift penuh"
Tubuh Soobin melemas, hampir jatuh seandainya si paman tidak menumpu tubuhnya.
Dan hari itu, diusia delapan belas tahun, Soobin kembali merasakan yang namanya kehilangan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PIECE OF YOURS || TXT BROTHERSHIP
FanficBUKAN LAPAK BXB‼️😠 _________________________________________________________________________ Diusia 6 tahun, Soobin harus merasakan kehilangan untuk kali pertama. Ayahnya pergi, entah kemana. Tanpa pamitan, tanpa kata perpisahan. Hanya sebuah guci...