Di sore yang temaram, gadis itu menggerutu sebal lantaran hujan menjebaknya di sebuah halte bus yang sepi. Dia pulang terlambat sebab harus berkumpul mendengarkan arahan guru untuk lomba yang dia ikuti besok.
Mentari, seperti namanya dia adalah gadis yang cerah ceria, ramah dan senang menolong. Tapi sayangnya hari ini mood nya tidak bagus, dia baru saja di cueki Zeyu untuk kesekian kalinya saat meminta tebengan pulang. Ah menyebalkan sekali, itulah sebabnya sekarang dia terjebak hujan disini.
"Zeyu nyebelin banget deh, tapi gue gabisa sebel lama lama sama dia kenapa sih?!" Tuh dengar, Mentari memang sudah ada di stadium akhir untuk kasus mencintai Zeyu.
"Gara gara Raden nih! Berangkat buru buru gue jadi lupa bawa payung." Nah kali ini Raden yang kena gerutu, mungkin sekarang bocah itu merasa kupingnya panas.
"Lain kali bawa payung." Sebuah suara familiar muncul dari belakang, bersamaan dengan sebuah payung yang kemudian menutupi Mentari dari rintik hujan.
Seseorang yang di awal Mentari bicarakan muncul, seseorang yang membuatnya terjebak hujan muncul dengan wajah tanpa ekspresi. Dia menyodorkan payung pada Mentari tanpa menoleh, pandangannya lurus menatap jalanan becek, menerka-nerka kapan hujan akan berhenti atau setidaknya reda.
Merasa Mentari tidak merespon ucapannya dan tidak juga menerima payung yang dia sodorkan, Zeyu menoleh menemukan sepasang mata yang menatapnya intens.
"Tari." Panggil Zeyu.
Masih tidak ada respon.
"Mentari."
Sama, gadis itu masih diam.
"Mentari Sekarayu."
"Hah? Eh iya sorry, Zey." Cengir Mentari kemudian, merasa malu tapi ah sudahlah, dia juga biasanya malu maluin.
"Lo kok belum balik? Tadi katanya buru buru?" Selesai menerima payung, Mentari bertanya.
Zeyu mengangkat sebuah buku di tangannya.
"Ohhh..." Si gadis mengangguk lamat lamat, menyimpulkan kalau Zeyu mengambil buku yang tertinggal.
"Kenapa kesini ngasih gue payung? Wah lo kok perhatian banget sih? Udah suka gue ya?"
Zeyu memutar bola matanya jengah, mulai. Mentari mulai dengan semua hal memuakan menurut Zeyu. Alih-alih sebal, Mentari justru tertawa, peris di hadapan Zeyu hanya untuk membuatnya bingung. Apa yang lucu menurutnya?
"Kenapa masih disini? Motor lo dimana? Ih kenapa kita gak hujan hujan an bareng aja naik motor, biar kayak Dilan dan Milea, kan romantis tuh Zey."
Seperti biasanya, Zeyu hanya akan diam mengacuhkan semua pertanyaan gadis di sebelahnya ini, mendengarkan tanpa menyahut.
"Aku kamu dan hujan sore itu. Aduh lucu banget deh." Mentari cekikikan sendiri.
"Apalagi sambil puter lagu Utopia hujan. Lucu banget Zey! Lo gak mau merealisasikannya sama gue gitu? Waduh sayang sekali bro."
Sore itu menjelma menjadi aku kamu dan hujan versi mereka, tidak ada hujan-hujanan di atas motor berdua, tidak ada juga lagu Utopia hujan. Tapi setidaknya Zeyu menyadari satu hal, bahwa ternyata hujan tidak selamanya menyebalkan.
🦊
Matahari menyingsing perlahan, meninggalkan warna merah terang menghiasi langit. Di balik jendela kamar seorang lelaki berumur 17 tahun menatap hamparan langit luas dengan tenang. Membiarkan dirinya terkena angin sisa-sisa hujan, duduk dan mengamati arak arakan awan bergerak perlahan.
Seandainya dia seekor burung, mungkin dia akan memilih terbang dan membiarkan dirinya terombang-ambing di atas langit. Tubuh lelahnya membuat dia hanya mampu menghela nafas sekali lagi untuk kesekian kalinya sejak duduk disana.
Zeyu Areshaka, lelaki dingin yang Mentari cintai setengah mati. Terkadang Zeyu bingung, apa hebatnya dia? Sampai sampai Mentari mampu mengejarnya, mencintainya dan bahkan rela berkorban untuknya.
Lupakan gadis itu, Zeyu tidak peduli apapun tentangnya. Sumpah!
"Bang Zey! Di cariin Bunda." Dari ambang pintu seseorang memanggilnya, Minghao namanya. Adik Zeyu satu-satunya.
"Kenapa?"
"Ikan cupang Mas Alin mati, disuruh tahlil in."
"Hah?"
Minghao tertawa, bocah ini emang nyebelin.
"Bercanda bang. Noh di tungguin Bunda di bawah, gak tau kenapa. Lo ada bikin ulah nggak?"
Zeyu bangkit mendekat ke arah Minghao hanya untuk merangkulnya keluar dari kamar.
"Ada satu."
"Ngapain lo?"
"Matahin bunga Aster di depan."
"WAH GAK IKUTAN GUE BANG! GOOD LUCK DEH YA!"
Minghao lari masuk ke kamarnya, menyelamatkan diri.
Hal mematikan kedua setelah omelan ayah nya dan abang pertama nya, adalah omelan bunda soal bunga kesayangannya itu.
Padahal Zeyu bercanda, dia gak mungkin cari mati dengan sengaja memotek bunga Aster milik ibunya.
"Cari abang kenapa Nda?"
Seorang wanita tua yang masih terlihat segar tengah mencuci tangan di wastafel dapur.
"Bang sini deh," Zeyu mendekat ke arah Bunda, lalu bersandar di sisi meja. "Kamu punya pacar ya?"
"Hah?"
"Ish kamu tuh ya, Bunda tanya kamu punya pacar? Gak papa jujur sama bunda, gak akan bunda laporin ayah. Aman!" Zeyu tidak bergeming, dia diam terkejut mendengar pertanyaan bundanya.
"Abang dengar nda, tapi abang gak punya pacar."
"Ish barusan Minghao bilang kok ke Bunda kamu punya pacar, makanya pulang kesoren habis nganterin pacar kamu kan?"
Minghao jancuk, seenaknya aja nyebarin gosip gak jelas ke bunda. Kalau udah gini kan repot.
"Nggak ada nda, abang pulang sore karna kumpulan."
"Ah ya udah deh, malas Bunda sama kamu."
Kan bener. Lihatin aja, habis Minghao sama dia.
🦊
See you next part!
* Cuma pemanis aja kok..
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Crush Yu Zeyu
FanfictionMenyukai seseorang yang sejatinya hanya seorang teman itu memang agak rumit ya.