Selamat malam,
Update lagi nih saia...
Sekali lagi, ini memang jalur 21+ ya
.
.
."Hei, apa kamu masih mengantuk? Atau ada yang sakit?"
Mataku kembali terbuka. Menatapnya ragu karena aku benar-benar tidak bisa membedakan apakah ini di alam mimpi atau kenyataan. Yang jelas ini bukan alam baka kan?
"Sayang?"
Suaranya begitu nyata. Tatapan matanya tampk khawatir bahkan aku bisa merasakan remasan tangannya di tanganku. Ini bukan mimpi?
Perlahan aku menarik tanganku dari genggamannya dan mencubit pipiku sendiri. Agak kuat sampai aku mengadu. Membuatnya menatapku heran.
"Kamu kenapa sih, Yang?"
Sekarang aku mencubit lengannya kuat-kuat, gantian dia yang mengadu.
"Sakit, Yang!"
"Ini di mana?"
"Ya rumah sakitlah," jawabnya agak kesal sambil mengusap lengannya yang ku cubit.
Aku berdecak. "Maksudnya ini alam mimpi atau bukan?"
Mulut Fabian menganga. "Maksudnya? Kamu ngigau ya?" Refleks tangan Fabian memeriksa dahiku untuk merasakan suhu tubuhku. "Nggak panas juga."
Aku menepis tangan itu kasar. "Apaan sih, Mas!"
"Ya habisnya pertanyaan kamu tuh aneh. Ini bukan alam mimpi tapi kita lagi di surga?"
"HAH!" Aku terpekik. Merinding seketika. "Beneran?"
Tahu-tahu tawa Fabian pecah. Aku memberengut kesal melihatnya yang tampak puas mendapati reaksiku. Padahal aku benar-benar bertanya padanya.
"Kamu tuh lucu, Sayang. Lagi hamil gini malah nggemesin banget sih?"
Aku menatapnya serius. "Aku beneran hamil, Mas?"
"Iya."
"Hamil sungguhan?"
Fabian mengangguk dengan wajah sumringahnya.
"Hamil anak kamu?"
Sekarang wajahnya menggelap. "Kalau bukan anak aku, itu anak siapa?"
Aku memukul lengannya. "Ih, pertanyaan macam apa itu!"
"Kamu yang nanya tadi. Jelas-jelas itu anak aku. Masih pakai nanya lagi!"
Aku mengabaikan wajah kesalnya dan bertanya sekali lagi, "aku beneran hamil?"
"Iya," balasnya jengkel.
Aku mencoba bangun. Walaupun wajahnya masih terlihat kesal, Fabian membantuku duduk.
"Mau ngapain?"
"Peluk." Aku merentangkan tanganku padanya. Memasang wajah bahagia. "Peluk, Papa."
Kekesalan memudar dari wajah tampannya. Fabian berdiri kemudian duduk di tepi ranjangku. Mendekapku erat. Rasanya hangat sekali. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Menikmati momen membahagiakan ini. Air mataku merebak. Akhirnya, aku diberi kesempatan Tuhan untuk menjadi ibu lagi.
Terima kasih, Tuhan.
"Aku bahagia, Mas," bisikku dengan terisak. "Aku pikir aku nggak bisa hamil lagi."
"Sst."
"Tadinya aku takut banget, Mas. Aku takut kalau nggak bisa kasih anak ke kamu. Aku takut kamu pergi ninggalin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
RomantizmBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...