Haloo! Ku tidak akan banyak bicara di sini karena ini bagian terakhir dari cerita Kinan dan Pak Bara yang sangaaat panjang (hampir 9 ribu kata) jadi, siapin minuman atau camilan, ya!
Selamat membaca! Semoga suka!
🐨🐨🐨
It really is a big day. Ujung dari hari-hari yang bikin gua kelabakan sendiri. Hari pernikahan gua dan Pak Bara.
Kurang dari sebulan kita persiapkan untuk pernikahan itu cukup bikin lelah, pusing, dan berat badan gua sedikit bertambah.
Beberapa drama juga sempet terjadi di waktu-waktu itu. Mulai dari gua dan Pak Bara sampe ke dua curut dan Reva. Mulai dari bahasan besar sampai ke bahasan sekecil sop ayam masuk menu katering atau ngga. Iya, gua ngerasain itu.
Beberapa kejadian tak terlupakan juga gua saksiin depan mata. Mau tau apa yang paling mencengangkan? Gua liat Pak Bara nangis. Dan tau apa alasannya? Karena kita gak boleh ketemu, video call atau chat selama dua hari sebelum hari ini.
Gua gak gitu ngerti tentang adat menuju hari pernikahan. Keluarga gua juga bukan orang-orang yang kental dan paham dengan hal itu. Pun dengan Pak Bara dan keluarganya.
Kenapa kita haru ada acara gak ketemu segala macam? Itu akal-akalan papanya Pak Bara. Sangat mengejutkan, bukan?
Alasan gua dan Pak Bara gak boleh ketemu katanya karena biar feel nya beda waktu hari pernikahan. Entah. Gua rasa Om Indra emang mau jailin anaknya aja.
Tapi meskipun ada aturan itu dari papanya, Pak Bara tetep ngeyel dan chat gua. Sempet berapa kali video call gua dan gak gua jawab karena-gak tau. Karena pengen jailin dia aja sih.
Kalau kalian tanya bagian mana yang tersulit dari persiapan pernikahan, jawabannya adalah bagian atur emosi. Kenapa susah?
Dalam persiapan ini, gua dan Pak Bara melibatkan banyak pihak. Kita atur sendiri semuanya dan artinya dari sub-sub keperluan pun kita cari terpisah. Mulai dari cari kain untuk baju pernikahan, desain undangan, makeup artist sampai venue lengkap dengan dekorasinya.
Gak semua yang kita mau berjalan mulus dalam satu kali percobaan. Bahkan, kita ngalamin pembatalan untuk venue. Orang yang sewanya terlalu banyak mau dan jatohnya kita harus fit in ke kemauan mereka. Yang artinya, konsep yang kita siapin akan sia-sia.
Dari hal itu aja, emosi gua sedikit kebanting. Padahal keliatannya mungkin itu hal sepele. Tapi yang diri gua tangkap lebih dari sekedar pembatalan. Kita perlu urus semua yang udah kita bayar dan cari tempat baru yang lebih free. Itu salah satu dari sekian banyak kejadian yang menguras emosi dan tenaga.
Apa keluarga gua dan Pak Bara turun tangan mencampuri urusan persiapan? Jawabannya engga.
Kaya yang Pak Bara pernah bilang, keluarga dia gak menuntut apapun dan gak mematok sebuah pernikahan anaknya harus gini atau gitu. Pun keluarga gua.
Tapi, mereka selalu tanya perkembangannya dan kapan waktunya mereka untuk ikut bantu. Gua dan Pak Bara pun gak keberatan dengan keikutsertaan mereka. Kita memanfaatkan tenaga dan pikiran mereka, kasarnya.
Terutama abang dan kakak iparnya Pak Bara. Ambil apa yang kita pesen, cek kelengkapan dekorasi, follow up perkembangan persiapan dan lainnya banyak mereka bantu.
Para wanita-kak Shanin dan kak Aster-pun tentu turut serta. Gua sempet bingung tentang tema warna yang pas karena kemauan gua masih ngambang dan akhirnya mereka bantu kasih referensi. Mengingat kak Aster punya Kenzo dan kak Shanin udah hamil tua, mereka gak gua izinin untuk kerja terlalu capek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus [END]
Teen Fiction"Kalo saya bilang, saya lamar kamu, kamu kaget ga?" Ya kaget lah anjir! batin Kinan. "Ngga, ga mungkin juga," Kinan menjawab. "Ada kemungkinan. Dan sekarang kejadiannya. Saya lamar kamu. Gimana? Jawaban kamu apa?"