Pintu kayu bercat coklat tua itu seolah menyeringai menunggu kedatangan Helia. Dengan jarak yang hanya selangkah dengan pintu rumahnya, Helia cukup yakin jika ibunya sudah menunggu di dalam sana. Membuka pintu tanpa menimbulkan suara bukanlah perkara mudah untuk perasaan cemasnya, jadi saat tak ada siapapun di ruang tamu, gadis itu bisa sedikit merasa lega. Sehingga, menutup pintu dan melangkah tanpa suara menuju kamarnya di lantai dua, sudah membuatnya berkeringat dengan jantung yang terus menggedor tubuhnya. Untunglah Ibu tak menunjukkan batang hidungnya sepanjang perjalanan menuju kemari. Jika didengar dari bunyi piring dan sendok yang beradu, wanita itu pasti sedang berada di meja makan.
Dibukanya jendela kamar yang memperlihatkan jalanan kompleks depan rumahnya yang sepi. Udara dingin menerpa wajah Helia dan mengayunkan helaian hitam rambut sepundaknya. Helia tersenyum perih, menatap langit yang gelap tanpa bintang. Hanya ada bulan yang tak melingkar sempurna.
Ditatapnya ranjang di sudut ruangan. Helia yakin, malam ini ia tak tidur di sana. Tangannya membuka laci bawah meja belajarnya, meraih kotak P3K, dan mengantungi beberapa plester luka serta sebotol kecil obat merah. Untunglah saku sweaternya muat.
"HELIA!"
Helia tersentak. Tubuhnya menegang, meski seharusnya ia sudah tahu ini akan terjadi. Dalam situasi seperti ini, mulutnya langsung kelu hanya untuk menelan ludahnya sendiri.
Buru-buru ia menghampiri ibunya, meski ia tak ingin. Pikirannya tak bisa jernih untuk memikirkan alasan apapun, meski takkan berguna. Atau setidaknya pembelaan untuk dirinya yang berpeluang besar dianggap dusta.
"Dari mana kamu?!"
Helia hanya bisa menunduk di hadapan wanita paruh baya bertubuh kurus di depannya. Sementara, wanita yang ia panggil Ibu itu melotot tajam, juga tak lupa setangkai sapu dalam genggamannya.
Helia tak menjawab. Lebih tepatnya, tak ingin menjawab. Karena apapun jawabannya, kendati itu jawaban terjujur sekalipun, Ibu tak akan percaya ia hanya jalan-jalan mencari udara segar.
Plak!
Helia termundur beberapa langkah. Pipi kirinya nyeri dan panas. Dan meringis sebagai refleks malah membuat sudut bibirnya perih. Disentuhnya bagian itu, dan seperti yang ia duga, darah merembes dari sana.
"SAKIT, HAH?!" Suara Ibu melengking, seolah bisa memecahkan gendang telinga Helia.
"ITU BAHKAN NGGAK SEPADAN SAMA PUKULAN DI MUKA JOSHUA!!"
Dan yang dilakukan oleh Ibu selanjutnya adalah memainkan sapu di tangannya. Melayangkannya ke arah gadis yang kini menyilangkan tangannya di atas kepala.
Sekali? Bukan. Berkali-kali.
"Ampun, Bu. Maaf," rintih Helia yang tidak dihiraukan sama sekali.
Saat Helia terjengkang, perutnya menjadi sasaran. Saat ia meringkuk kesakitan, punggungnya yang kena.
Menahan rasa sakit di tubuhnya, sangat tidak mudah. Tapi upaya itu ia paksa untuk merebut sapu ibunya yang hendak mengenai kakinya. Berhasil, dan ia lempar sapu itu jauh-jauh di bawah tangga.
Ibu menggeram, mengumpat, dan memaki sejadi-jadinya. Tanpa pikir panjang, wanita itu meraih vas kaca di meja yang sialnya berada di sisinya. Dengan amarah yang membara di matanya, Ibu melempar vas itu ke arah anak gadis pungutnya.
"ANAK NGGAK TAU MALU! MAU JADI APA KAMU HAH?!
Helia menangkisnya dengan tangan kiri, yang berhasil melindungi kepalanya. Akibat yang tak terhindarkan, vas kaca itu pecah dan menarik beberapa goresan di punggung tangan Helia.
"SEKOLAH NGGAK BECUS! NGURUS RUMAH NGGAK BECUS! NGGAK ADA UNTUNGNYA PUNYA ANAK PUNGUT!"
Ibu menarik rambut Helia kuat-kuat, sebelum menghempas kepala gadis itu hingga tersungkur ke lantai. Tak bisa dicegah, pipi Helia tergurat pecahan vas kaca yang berserak di lantai. Kepalanya terasa berputar saat ia hendak kembali bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelamkan Eric
ChickLitPandangan Helia terhadap Eric tak lebih dari seekor cowok yang lelet menyadari bahwa dirinya dikelabuhi. Empat belas tahun mengenal sosok itu, membuat Helia tahu segalanya mengenai cowok konyol yang tinggal di belakang rumahnya itu. Entah bagaimana...