30

183 14 0
                                        

Rain mendengar suara pintu tertutup dan melirik sekilas dari ekor matanya. Tidak ada siapapun di dalam kamar itu. Sejenak ia merasa kamarnya terlalu sunyi dan tenang. Di sisi lain ia merasa kamarnya begitu suram.

Seakan-akan tidak pernah ada orang yang menempatinya selama bertahun-tahun.

“Apa ini yang namanya kesepian?” gumam Rain dengan suara yang hampir tak terdengar.

Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Perlahan-lahan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk.

Ia menutup matanya seraya menikmati sinar matahari pagi.Sekarang sudah musim dingin. Salju menumpuk di halaman. Rain menolehkan kepalanya ke arah perapian.

Kayu-kayu terbakar di perapian yang hanya menyisakan sejumlah abu dan arang. Namun, ia juga menghangatkan.Rain menarik selimutnya hingga dada dan membaringkan tubuhnya dan menatap langit-langit.

Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Azkier yang berjalan masuk sembari membawa nampan.
Rain mendudukkan diri dan menatap Azkier yang berjalan ke arahnya dan duduk di tepi ranjang.

“Makanlah,” ujarnya seraya meletakkan nampan itu di pangkuan Rain. Rain menunduk dan menatap nampan itu dan Azkier secara bergantian.

Alis Rain terangkat, ia lalu menolehkan kepalanya menatap Azkier.

“Mengapa harus repot-repot membawanya kemari? Aku bisa memanggil pelayan jika aku ingin sarapan,” ujar Rain.

Azkier mendesah dan menatap Rain dengan datar. “Bukankah seharusnya kau berterimakasih karena sudah di bawakan sarapan? Mengapa tiba-tiba menceramahiku? Dan lagi sejauh yang aku ingat seharusnya Anda sedang lapar,karena semalam Anda bahkan tidak menyentuh kudapan yang ada.”

Rain mengigit bibirnya lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. “Tetap saja aku tidak memintamu untuk membawakannya untukku,” cibirnya.

“Jika tidak ingin memakannya, aku akan  menghabiskannya untukmu,” ujar Azkier sembari ingin mengambil nampan yang ada di pangkuan Rain.

Dengan cepat Rain menahan tangannya.“Aku tidak bilang akan menolaknya,” ketus Rain. Azkier tersenyum kecil lalu beranjak dan berjalan menuju jendela.

“Anda tahu Lady, ada beberapa hal yang terjadi di luar kemampuan manusia dan hal itu bahkan tidak bisa di cegah.Contohnya kematian.” Ujar Azkier dengan suara pelan.

Rain menoleh ke arahnya seraya memakan sarapannya. “Mengapa tiba-tiba membahas kematian? Setidaknya itu tidak akan datang sekarang bukan?” tanya Rain penasaran.

Azkier menggeleng. “Kita tidak tahu kapan hal itu akan datang. Tapi, itu adalah suatu hal yang pasti,” tuturnya lembut.

Rain mendesah seraya meletakan nampan yang kosong di atas meja di samping ranjang. “Sepertinya Anda memikirkan sesuatu yang rumit. Apa ada hal yang mengganggumu?”

Azkier berbalik dan tersenyum sorot matanya yang tajam mendadak sendu saat menatap Rain. Membuat gadis itu mengernyit kebingungan.

“Sepertinya aku mengatakan sesuatu yang aneh. Bukan apa-apa, jangan terlalu memikirkannya.” Ujar Azkier seraya berjalan menuju pintu.

“Aku akan pergi. Ingat jangan lakukan hal yang nekat,”Azkier melambaikan tangannya lalu menghilang di balik pintu.

“Apa-apaan pria itu? Membuatku berharap saja.” Rain mendengus.

Rain mandi dan berpakaian di bantu oleh beberapa pelayan. Sangat merepotkan sebenarnya, namun ia juga tidak bisa mandi jika tidak di bantu mengingat bahwa kakinya akan membaik dalam waktu tiga minggu membuatnya frustasi. Ia bahkan tidak bisa datang ke akademi karena hal itu.

“Sangat membosankan,” keluh Rain seraya membalik halaman buku dengan malas.

Azkier memukul kepalanya dengan buku membuat gadis itu memelototinya dengan tajam. “Jangan mengeluh. Sebentar lagi akan ada ujian dan karena kakimu yang patah itu aku harus meluangkan waktu untuk mengajarimu.”

“Aku tidak pernah memintamu untuk mengajariku. Kau sendiri yang menawarkan diri untuk mengajariku,” sindir Rain.

Keduanya kini tengah berada di dalam perpustakaan milik keluarga Rain.Walaupun Rain sudah dengan tegas menolaknya, namun Azkier tetap memaksanya untuk pergi.

Sudah hampir tiga minggu sejak Rain berada di rumah. Perban yang ada di kakinya akan di lepaskan dalam beberapa hari. Dan Azkier selalu datang mengunjunginya. Walaupun sebenarnya ia sedang menghabiskan waktu untuk mengganggu gadis itu.

Azkier menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sembari mengamati Rain yang terus mengerutu dengan wajah kesal.

“Bagaimana cara mengerjakan soal yang ini?” tanya Rain seraya menolehkan kepalanya pada Azkier. Azkier buru-buru memalingkan wajahnya dan berharap Rain tidak sadar bahwa ia mengamatinya.

“Duke Muda?” Panggil Rain.

Azkier tersentak. “Ah...apa kau baru saja memanggilku?” tanya Azkier buru-buru.

Rain berdecih. “Cih, apa kau benar-benar ingin mengajariku ? Atau hanya sekedar mempermainkanku saja ?” tanya Rain sembari menyipitkan matanya menatap Azkier dengan penuh selidik.

Azkier memutar matanya,“Kau sangat berlebihan. Tentu saja aku datang untuk mengajarimu. Sudahlah, soal mana yang sedang kau bicarakan?” Azkier mendekatkan tubuhnya untuk melihat soal yang Rain bicarakan.

“Ini...,” tunjuk rain pada salah satu soal aritmatika.

Rain mengigit ujung pena nya sembari mendengarkan Azkier berbicara tentang jalan keluar dari soal rumit yang tidak ia pahami.

“Apa kau mengerti sekarang?” tanya Azkier seraya menatap lurus ke netra merah milik Rain.

Rain mengerjap. Ia sebenarnya tidak terlalu mendengarkan apa yang sedang Azkier penjelasan. Ia terlalu mengantuk untuk mendengarkan penjelasan yang panjang.

“Sebenarnya...,”mata Rain berkeliaran. Ia tidak berani balas menatap Azkier.

“Ternyata kau memang tidak mendengarkan sama sekali,” ujar Azkier lalu menjatuhkan tubuhnya pada kursi.

Rain mendengus. “Itu karena penjelasan Anda yang terlalu rumit. Bagaimana aku bisa dengan mudah memahaminya?”

Alis Azkier terangkat .“Wah, lihat siapa yang berbicara, aku dengan senang hati mengajarimu namun kau malah menyalahkanku?”

Azkier bertepuk tangan membuat Rain menggeram. “Ya, harus ku akui bahwa ternyata diriku tidaklah terlalu pintar.Mungkin saja aku di terima di akademi karena ayahku dan bukan karena usahaku sendiri,” dengus Rain sembari mengerucutkan bibirnya.

Azkier kemudian berdiri lalu meletakkan tangannya di antara pinggang Rain yang membuat gadis itu terkejut.

“A-apa yang ingin anda lakukan pada saya?” seru Rain dengan wajah panik.

Azkier tak menjawab. Dengan cepat ia membalikkan tubuh Rain dan mengendongnya. “Anda terlalu berisik Lady, orang-orang akan mengira bahwa aku sudah melakukan sesuatu yang buruk kepadamu,” ujar Azkier dingin.

“Jelas saja orang-orang akan salah paham! Bagaimana bisa Anda melakukan hal tidak senonoh semacam ini pada seorang Lady?!” sembur Rain.

Azkier menyunggingkan senyum sinis.“Anda adalah tunangan saya, bagaimana mungkin hal ini di katakan tidak senonoh? Aku hanya sedang membantumu untuk kembali ke kamar.” Terang Azkier seraya berjalan menuju pintu.

“Setidaknya katakan terlebih dulu, jangan membuatku terkejut,” desah Rain.

“Lain kali akan aku pertimbangkan,” ujar Azkier.

“Apa kau akan mengulanginya lagi?!” Pekik Rain dengan wajah tak percaya.

“Tergantung situasinya,” sahut Azkier.

“Situasi macam apa yang sedang Anda bicarakan? ”sinis Rain.

“Hm, kau tidak perlu mengetahuinya,” jawab Azkier dengan nada mengejek.

Rain berdecih. “Aku harap itu bukanlah hal yang buruk,”





Antagonis Lady [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang