[S2] - 30 | Kehidupan Baru

84 7 333
                                    

7 tahun kemudian ....


"BUNDAAA ...!" teriak anak perempuan kecil berkuncir dua, tetapi kedua kuncirannya sudah tidak karuan lagi bentuknya, belum lagi gaun birunya yang kotor, juga tangan kiri berdarah-darah.

"BUNDAAA ...!" teriaknya sekali lagi sebab merasa tak mendapat respons.

Beberapa detik dari itu, seorang wanita berlarian dari dalam rumah sambil membawa spatula. Kelihatannya sedang memasak. Wanita itu langsung membelalak lebar melihat kondisi acak-acakan gadis kecil di hadapannya itu.

"Astaga, Arshia, apa yang terjadi padamu?" pekik wanita itu kaget.

"Kucing tetangga itu memang tidak ada akhlak, Bunda. Dia mencakar dan menggigitku, untung saja aku anak yang kuat, jadi tidak menangis," cerita anak kecil yang diketahui namanya adalah Arshia tersebut.

"Kenapa kucingnya bisa mencakar dan menggigitmu? Kau apakan dia?" tanya sang ibu.

"Aku cuma injak ekornya," kata Arshia santai.

Wanita itu geleng-geleng. "Itu sebabnya kucingnya marah, karena kau injak ekornya. Ya sudah, duduk sini, biar Bunda obati lukamu."

Wanita itu mengangkat tubuh Arshia dan memindahkannya ke sofa, sementara dia mengambil kotak P3K kemudian berjongkok di hadapan sang putri dan mulai mengobatinya.

"Apa sangat sakit?" tanya wanita itu khawatir.

"Tidak. Kan hanya cakaran kucing, bukan macan," jawab Arshia tetap santai. Namun, beberapa saat kemudian wajahnya berubah murung. "Bunda, memangnya berapa harga manusia?"

"Hah?" Wanita itu terpelongo seketika.

"Iya, manusia. Kenapa Bunda tidak membelikan aku seorang kakak? Aku kan juga ingin punya kakak, Bunda. Teman-temanku semuanya punya kakak, kenapa aku tidak?" protes Arshia dengan wajah kesalnya yang serius.

Sang ibunda justru hanya garuk-garuk tak gatal tengkuknya. Bingung harus menjawab apa.

"Kalau beli kakak harganya sangat mahal, aku janji, aku tidak akan jajan terus nanti. Uangnya ditabung saja untuk beli kakak. Iya 'kan, Bunda?" kata Arshia riang.

"Sayang, kakak tidak didapat dengan cara beli."

Arshia langsung tampak terkejut. "Loh? Kenapa begitu?" protesnya. "Bukannya kalau kita butuh sesuatu, kita dapatkan itu dengan cara membelinya, ya? Seperti kalau kita ingin boneka, kita beli di toko mainan. Kalau kita ingin buah, kita beli di toko buah. Lalu mengapa jika kita ingin kakak, kita tidak bisa beli juga?"

"Hmm ... itu karena ... boneka, buah, semua itu benda mati, Sayang, jadi dijual bebas di supermarket. Sedangkan manusia, manusia itu makhluk hidup, jadi tidak diperjual-belikan," jelas wanita itu baik-baik.

Arshia terdiam sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di pipi; tampak berpikir keras. "Lalu sapi, kambing, ayam, itu juga makhluk hidup, kan? Kenapa mereka dijual?" tanyanya.

Wanita itu ternganga. Pertanyaan macam apa lagi ini, Tuhan?

"Bunda, ayo jawab," paksa Arshia.

"Hmm ... itu ... itu karena mereka binatang, sedangkan kita manusia, jadi tidak boleh diperjual-belikan," katanya sekenanya.

"Kenapa tidak---"

"Sayang, lihat apa yang Ayah bawa!"

Pandangan Arshia dan wanita itu beralih pada pria yang berdiri di tengah pintu sambil membawa sebuah sepeda.

"Sepeda!" pekik Arshia sambil melompat turun menghampiri pria tersebut. "Sepedanya untukku, Ayah?"

"Iya, Sayang. Masa untuk kucing tetangga?" canda pria itu.

Our Impossible Love (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang