Chapter 14

22 18 7
                                    

Seorang laki-laki duduk di atas sebuah motor, menggunakan seragam sekolah yang lengkap meskipun bajunya tidak dimasukkan ke dalam celana seperti aturan sekolah. Itu merupakan hal yang langka untuk dilakukan oleh siswa laki-laki yang bernama Angkasa.

Parkiran belakang sekolah masih sangat sepi mengingat jam yang baru menunjukan pukul enam pagi. Dia hanya sendiri di sana, ditangannya terselip sebatang rokok yang ujungnya menyala mengeluarkan asap. Mengisapnya dalam, rasa manis dari filter rokok berpadu dengan rasa pekat dari asap yang menyapu rongga mulutnya kemudian dia hembuskan keluar melalui hidung. Akhir-akhir ini dia merasa hidupnya berantakan, ada yang berbeda.

"Rokok Mulu, diabetes tau rasa lo," Laki-laki yang menggunakan seragam yang sama menghampirinya, rambutnya yang bergelombang dia ikat menjadi dua bagian.

"Diabetes pala lo, ngapain lo di sini pagi-pagi? Mau maling lo," ucap Angkasa, tidak menghiraukan laki-laki yang berdiri di sampingnya. Pandangannya melihat jauh ke depan, pikirannya terasa berkecamuk. Dia merasa ada yang salah dalam dirinya, merasa telah melakukan kesalahan yang seharusnya tidak dia lakukan.

"Sembarangan, ganteng-ganteng gini dikata mau maling," ucap laki-laki itu. Dia Vano, teman satu kelas Angkasa. Sikapnya yang pecicilan dan tidak bisa diam kadang membuat orang ingin menyumpal mulutnya menggunakan kaos kaki yang tidak dicuci sebulan.

Vano mengusap rambutnya yang diikat dua itu. Memutar kaca spion motor yang di duduki Angkasa. Melihat dirinya dalam pantulan cermin kecil itu kemudian tersenyum. "Gila, gue cakep bener. Emak sama bapak gue waktu bikin pasti dipoles berkali-kali," ucapnya ambigu.

Plak

Angkasa memukul kepala Vano yang sedikit menunduk di hadapannya karena asik bercermin. "Lepasin tuh rambut lo, geli gue liatnya," ucap Angkasa menatap geli pada Vano yang mengusap belakang kepalanya, bekas pukulan Angkasa.

"Gak usah liat kalau gak suka, rempong amat kayak emak-emak komplek," ucap Vano ngegas membuat Angkasa sontak mengusap kupingnya yang terasa berdenyut. Vano berteriak tepat di dekat telinga Angkasa.

"Gak usah teriak bego, mulut Lo bau neraka," ucap Angkasa ikutan ngegas, hal itu malah membuat Vani tertawa. Kapan lagi kan membuat Angkasa kepancing emosi tanpa berakhir bonyok.

"Mulut Lo tuh bau jahanam," cibir Vano. "Oiya, gimana keadaan Bia? Kemarin gue mau anterin pulang tapi dia kagak mau," ucap Vano lagi saat melihat Angkasa yang sudah diam, tidak berniat lagi membalas ocehannya yang tidak bermutu.

"Ngapain lo nanyain Bia, mau nganterin pulang segala. Ingat bini Lo di rumah lagi hamil 12 bulan," ucap Angkasa. Jujur saja, akhir-akhir ini Angkasa sedikit sensitif jiga pembahasan itu mengarah pada Bia, adik sepupunya juga teman masa kecilnya.

"Mana ada orang hamil 12 bulan! Gini nih kalau sekolah cuma numpang absen doang," ucap Vano kembali ngegas, sedangkan Angkasa sudah tidak membalas lagi. "Satu lagi, gue masih perjaka ting-ting, belum punya bini. Lo kali yang udah punya bini," ucap Vano lagi tapi sepertinya Angkasa sudah benar-benar malas meladeninya.

"Lo beneran gak tau soal kemarin?" Tanya Vano lagi, tidak tahan saat Angkasa sedari tadi hanya diam.

"Gak tau dan gak mau tau. Lo bisa diam gak sih, gue lagi nahan taik yang udah ada di ujung," ucap Angkasa ngegas, sedangkan Vano lagi-lagi tertawa lepas mendengar itu. Dia tau kalau Angkasa hanya bercanda.

"Perut gue sakit," ucap Vano memegang perutnya setelah tertawa. "Tapi meskipun Lo gak mau tau gue bakal tetap kasih tau lo," ucap Vano sengaja menggantung, menunggu reaksi Angkasa. Tapi, lagi-lagi tidak sesuai harapannya.

"Kemarin Bia kecelakaan," ucap Vano membuat Angkasa langsung menoleh, mencoba tidak percaya dengan ucapan Vano. Berharap kali ini Vano juga bercanda.

"Lo jangan ngomong sembarangan, mau mati Lo," Angkasa tidak suka saat hal seperti itu dijadikan bahan candaan, ingat omongan adalah doa. Dan Angkasa tidak ingin kalau sampai Bia mengalami hal seperti itu lagi.

"Gue serius, makanya kemarin gue mau anterin dia karena pala dia bocor gara-gara ketamb-,,," Belum selesai Vano berbicara, suaranya terasa tercekik saat Angkasa menarik kera bajunya.

"Lo kenapa gak kabarin gue ban*sat! Sialan," Angkasa berteriak marah. Dia kemudian menyalakan motornya, meninggalkan parkiran yang tersisa Vano dengan wajah memerah, Angkasa hampir membunuhnya.

"Lo tadi yang bilang gak tau dan gak mau tau! Dasar Angkasa ban*sat, ba*ot, an*ing leher gue sakit!" Teriak Vano saat sadar sudah tidak ada Angkasa, tidak mungkin dia akan memaki Angkasa di hadapannya. Yang ada dia beneran mati ditangan Angkasa.

Sedangkan dilain tempat, Bia sedang celingukan mencari angkot yang bisa membawanya ke sekolah. Hari ini Bia terlambat bangun, mungkin karena obat anti nyeri yang diminumnya membuat dia terlelap dan kesiangan. Dan alhasil dia tidak bisa menumpang pada mobil milik Kang Asep yang merupakan tukang kunci di sekolahnya.

"Sudah hampir jam tujuh lagi," gumam Bia. Tangannya menyentuh kain kasa yang menempel di keningnya, rasanya sedikit nyeri dan berdenyut. Bia kemudian melihat telapak tangan dan sikunya, Lukanya sudah kering tapi tangannya tidak bisa mengepal. Sikunya juga terasa sakit jika tangannya dilipat.

Suara motor dari jauh membuat Bia menoleh, Dia mengenal suara bising dari motor itu. "Aka?" Ujar Bia saat sudah melihat sebuah motor yang melaju sangat cepat dan berhenti tepat dihadapannya.

"Bagian mana yang luka? Siapa yang nabrak?" Angkasa yang baru turun dari motornya tidak memperdulikan helmnya yang jatuh dan menggelinding. Dia segera memeriksa tubuh Bia, melihat bagian-bagian tubuhnya yang luka.

"Gak apa-apa Aka, cuma luka kecil kok," ucap Bia menunjuk keningnya juga memperlihatkan bagian telapak tangan dan sikunya. Angkasa memejamkan matanya, mencoba mengatur napasnya yang memburu.

"Kenapa gak kabarin gue? Gue udah bilang kan kalau ada apa-apa kabarin gue!" Angkasa berucap dengan nada yang sedikit tinggi. Dia dihantui rasa bersalah dan menyesal atas kelakuannya yang seenaknya mengabaikan Bia dengan alasan yang sangat tidak efisien.

"Karena Bia pikir Aka gak mau diganggu lagi sama Bia, Aka mulai menjauh dari Bia," Cicit Bia, suaranya yang rendah tidak menggunakan Lo gue seperti biasanya.

"Maaf, gue yang salah. Maaf...," Ucap Angkasa menarik Bia kedalam pelukannya. Saat itu juga tangisan Bia tumpah, dia menangis tersedu-sedu membuat rasa bersalah dalam tubuh Angkasa semakin membuncah.

"Maaf," ucap Angkasa untuk kesekian kalinya, Bia masih terisak dalam pelukannya.

"Gak usah nangis, Lo jelek banget kalau lagi nangis. Mana itu ingus Lo meler-meler lagi," ucap Angkasa menghapus jejak air mata Bia.

Bia menepis tangan Angkasa dari wajahnya, menarik dasi angkasa kemudian mengeluarkan ingusnya di sana. "Bia," ucap Angkasa mengerang, rasanya ingin menceburkan Bia kedalam got. "Ini nih yang bikin gue malas pakai dasi," ucap Angkasa, hal ini bukan pertama kalinya dialami Angkasa. Diaman Bia mengeluarkan cairan berlendir dari hidungnya pada dasi Angkasa.

"Tinggal lepas aja dasinya, lagian tumben banget lo pakai dasi segala," ucap Bia kemudian menarik kerah baju Angkasa agar sedikit menunduk, kemudian melepaskan dasinya.

"Udah naik, kita udah telat," ucap Angkasa yang sudah ada di atas motor. Meskipun sempat bingung mencari keberadaan helmnya yang tiba-tiba menghilang. Tapi Bia sudah lebih dulu menyodorkannya. Bia naik ke atas motor dengan memegang bahu Angkasa sebagai tumpuan.

Bia melingkarkan tangannya di perut Angkasa, kepalanya bersandar di punggung Angkasa. "Aka, bolos yuk," Ucap Bia, jika mereka beneran bolos maka ini adalah pengalaman pertama dalam hidup Bia.

•••••
Haihaihai, aku balik lagi🐈
Selamat Membaca, semoga kalian suka ceritanya 😽

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen 😻
See you chapter selanjutnya 💅

Nightmare ~17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang