13 - Rumah Haekal
Getaran dari handphone membangunkan Jeya dari tidur lelapnya. Ia meraba kasur lalu mengambil handphonenya yang tergeletak di sana.
Ada sebuah chat dari Haekal yang membuatnya terjaga seketika.
Ia turun dari ranjang lalu segera keluar kamar.
"Ekal!" panggilnya saat melihat Haekal yang juga keluar dari kamar. Hari masih pagi tapi pemuda itu sudah rapi.
"Selamat pagi, Jeya."
"Hm. Lo beneran mau pergi sekarang?"
"Iya."
"Kok mendadak banget?"
"Enggak mendadak, saya udah ijin sama tuan Jay dari lusa."
Si bungsu mencebik. "Tapi 'kan bos lo itu gue! Harusnya lo ijin dulunya sama gue!"
Haekal tidak menyangka kalau kepergiannya ini akan membuat si bungsu marah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kamu marah?" Tapi Jeya tak menjawab.
"Saya minta maaf kalau perlakuan saya buat kamu gak nyaman. Lain kali saya akan ijin lebih dulu saka kamu."
"Berapa hari lo libur?"
"Empat hari."
"Lama banget?!" Jeya berseru kaget. Haekal yang mendengarnya jadi ikut kaget.
"Bukannya libur lo cuman dua hari dalam sebulan?"
Haekal mengangguk. "Iya, memang dua hari. Tapi karena bulan lalu saya belum ambil libur jadi sekalian aja saya ambil liburnya digabung dengan bulan ini."
Padahal bisa saja ia ganti hari liburnya dengan uang, tapi Haekal memilih untuk pulang saja ke rumah.
Kondisi mood Jeya akhir-akhir ini sangat buruk, gadis itu perlu refreshing dan bermain bersama teman-temannya tanpa harus terus diawasi olehnya.
"Saya rasa kamu juga pasti kurang nyaman karena terus diawasi oleh saya. Semoga empat hari ini bisa bikin kamu bebas ya."
Harusnya Jeya senang mendengar Haekal yang akan libur lama, ia jadi tak perlu diawasi layaknya anak TK. Harusnya ia senang karena bebas pergi ke mana saja tanpa Haekal di sisinya. Harusnya memang seperti itu. Tapi kenapa dia justru merasa tak nyaman begini?
"Emang mau pergi ke mana, gue males nyetir!" Ia berbalik hendak kembali ke kamarnya.
"Jeya!" Tapi panggilan dari Haekal menahan langkahnya. Ia lantas kembali berbalik.
"Apa?"
"Saya memang sedang libur, tapi kalau kamu butuh teman ngobrol kamu bisa telpon saya."
Si bungsu mengernyit sebal. "Dih, siapa lo sok nawarin diri buat gue jadiin teman ngobrol segala. Gak akan! Gue gak akan nelpon lo!"
Kalimatnya memang tajam, tatapannya juga sinis sarat akan ketidaksukaan, tapi rona samar di pipi tirus itu tidak bisa berbohong. Tawaran Haekal barusan cukup membuat Jeya tersentuh mendengarnya.
"Saya harap juga begitu. Kalau gitu saya pergi dulu."
Jeya masih di sana, memandang kepergian Haekal hingga hilang dari pandangan.
Mungkin awalnya ia memang tidak menyukai eksistensi Haekal di hidupnya, tapi semakin lama ia semakin terbiasa. Bahkan Jeya seperti mendapat teman baru seperti yang kakaknya bilang dulu.
Sangat wajar bukan kalau tiba-tiba dia merasa kehilangan karena temannya yang mendadak pergi?
Masalahnya ia juga tak tahu di mana letak rumah Haekal! Apakah jaraknya jauh dari sana atau ia harus menggunakan kereta agar cepat sampai?
KAMU SEDANG MEMBACA
WGM 3 - (Bukan) Pura-pura Menikah
Ficção AdolescenteSelamat datang di We Got Married series! WGM berisi tentang tiga lelaki dewasa yang enggan menjalin hubungan serius. Komitmen tentang berumah tangga adalah omong kosong belaka. Tak ada satupun dari mereka yang tertarik dengan itu. Tapi bagaimana ji...