Teriakan para pedagang terdengar dengan jelas di indra pendengaran. Semua pedagang saling menjajakan barang dagangan mereka. Banyak orang yang berlalu lalang di sekitar membuat suasana menjadi ramai. Pemandangan seperti ini merupakan hal lumrah terjadi di pasar.
"Bing tang hulu, harganya murah!" teriak salah seorang pedagang pria sambil membawa kotak yang berisi manisan buah berwarna merah.
"Jual bunga! Jual bunga!" Kali ini yang berteriak adalah seorang wanita yang masih kelihatan cantik.
"Duanmu?" panggil seseorang membuat sang pemilik nama menoleh dan berbalik.
"Eh, Du Hua? Kau sedang di sini juga?" tanya gadis cantik yang memiliki nama Duanmu Cui sambil menatap gadis yang berdiri di depannya.
"Iya, aku juga di sini. Bagaimana? Apakah daganganmu laris?" tanya Du Hua sambil melihat keranjang yang berisi bungkusan roti yang dijual.
"Ya, lumayanlah. Rotinya masih tersisa sedikit," ujar Duanmu sambil tersenyum. Betul dia saat ini sedang berjualan roti di tengah pasar.
"Baiklah, bagaimana kalau aku bantu tawarkan ke sekitar supaya rotinya cepat habis dan kau bisa cepat pulang?" tawar Du Hua yang dijawab anggukan setuju Duanmu Cui.
"Boleh, terima kasih, ya," sahut Duanmu Cui.
"Tidak masalah. Sudah seharusnya kita saling membantu, bukan?" jawab Du Hua dengan senyuman di wajahnya yang khas. Gadis berambut hitam sebahu itu mengambil satu kotak kecil yang berisi sekitar lima belas roti lagi.
"Ya udah aku berangkat dulu, ya. Doakan agar rotinya cepat habis," sambungnya lagi.
"Tentu saja aku pasti akan mendoakanmu Du Hua," balas Duanmu Cui.
Berselang dua jam semua roti sudah habis terjual, begitu juga dengan roti yang dijajakan oleh Du Hua. Senyuman di wajah Duanmu Cui berkembang.
"Wah, akhirnya rotinya habis. Akhirnya kita bisa pulang ke rumah," sahut Du Hua sambil membantu membereskan kotak-kotak jual dan barang-barang yang lain. Duanmu Cui dan Du Hua adalah sepasang sahabat yang tinggal satu rumah.
"Iya, akhirnya," jawab Duanmu Cui. Pandangan matanya kemudian teralih pada seorang anak dan seorang ibu yang sedang berada di toko pakaian. Wanita dewasa itu tampak sedang mencocokkan pakaian untuk putrinya yang kira-kira berumur sembilan tahun.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada ibunya yang berada di rumah. Ibunya bernama Duanmu Xia.
"Kenapa Duanmu? Apa ada yang salah?" tanya Du Hua pada gadis itu karena pandangan mata temannya terarah pada sepasang ibu dan anak.
Duanmu Cui kemudian menoleh menatap Du Hua, dia menggeleng. "Tidak apa-apa, Du Hua. Aku hanya ingat dengan ibu yang berada di rumah. Ya udah kita jalannya lebih cepat supaya cepat sampai," ajaknya.
"Iya, baiklah," sahut Du Hua.
Walaupun tidak ada hubungan darah, namun Du Hua sudah menganggap Duanmu Cui sebagai teman sekaligus saudaranya sendiri. Dan sudah menganggap Bibi Duanmu Xia, sebagai bibi kandung sendiri.
Jarak antara tempat tinggal mereka dengan pasar tidak terlalu jauh. Bahkan bisa pulang dengan berjalan kaki.
Sampailah mereka di depan rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Ada halaman kecil di depannya dan ditumbuhi tanaman bunga yang indah kebetulan bunganya sedang mekar.
Duanmu Cui meletakkan keranjang yang dibawanya di atas lantai. Dia mengambil kunci rumah di dalam saku celana panjang yang dipakainya, lalu memasukkan kunci tersebut ke gembok hingga terbuka. Setelah itu mereka berjalan masuk ke dalam rumah.
"Ibu, syukurlah hari ini semua kue kita habis," ujar Duanmu Cui sambil menunjukkan puluhan uang yang didapat hari ini pada sang ibu.
Duanmu Xia tersenyum sebagai jawaban, kemudian dia mengambil kertas dan pena yang ada di dekatnya. Wanita itu mulai menulis dan menunjukkannya pada Duanmu Cui. Yang isinya ibu senang dagangan kita habis.
"Iya, Bu, kalau begitu, aku mandi dulu ya soalnya udah sore," ujar Cui.
***
Hari cepat sekali berlalu tanpa bisa dicegah. Kini waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Mereka baru saja selesai makan malam. Duanmu Cui kemudian mengingat kembali seorang wanita yang mungkin seumuran dengan ibunya. Saat ini Duanmu Cui sedang berada di dalam kamar, dia sedang duduk di atas kursi.
Ukuran kamarnya tidak terlalu besar hanya berukuran dua kali tiga meter saja. Perabotan yang dimilikinya sederhana dan terlihat tampak tua.
"Alangkah bahagianya jika ibu bisa berbicara. Aku sangat ingin mendengar suara ibu. Pasti suaranya sama seperti suara ibu yang tadi," ujar Duanmu Cui mengingat sepasang ibu dan anak tadi saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Aku yakin ibu pasti senang banget jika dia bisa berbicara, tapi bagaimana caranya, ya?" Duanmu Cui memasang wajah berpikir. Mereka sudah beberapa kali ke rumah sakit daerah yang ada di kabupaten untuk mengobati Duanmu Xia. Namun, sang ibu belum bisa berbicara juga.
"Alangkah bagusnya jika ada keajaiban, aku rela melakukan apa pun agar ibu bisa bicara," ucap Duanmu Cui sangat berharap.
Duanmu Cui sendiri belum pernah melihat ibunya berbicara sejak dia masih kecil. Awalnya dia heran, tetapi tetangganya yang menjelaskan soal itu sampai Cui mengerti. Untuk sosok sang ayah, Duanmu Cui tak pernah melihat bagaimana wajah ayahnya itu.
Setelah dirasa mengantuk Duanmu Cui naik ke atas ranjang kasurnya yang tidak empuk. Walaupun tidak empuk, Cui masih bersyukur, masih punya kasur untuk tidur. Lima belas menit kemudian gadis itu baru bisa tertidur.
***
Hari ini Duanmu Cui memutuskan untuk berlibur tidak menjual roti. Roti yang mereka jual adalah roti yang mereka bikin sendiri. Tak banyak roti yang mereka bikin hanya tiga puluh. Roti dengan isi selai stroberi, cokelat, srikaya, dan selai yang lainnya. Tak mahal mereka jual, satu buah roti harganya lima ribu saja. Murah meriah dan juga enak.
"Mau ikut keluar tidak?" tanya Duanmu Cui pada Du Hua yang sedang melukis pemandangan alam pantai dan laut di kertas di ruang tengah. Salah satu kesukaan Du Hua melukis. Dia suka melukis sejak kecil.
"Tidak usah, aku di rumah saja, temani Bibi. Duanmu kau mau pergi beli bahan-bahan untuk roti?" tanya Du Hua, lalu menoleh melihat gadis itu.
"Iya, aku mau beli bahan-bahan roti. Kebetulan bahan-bahannya habis," ucap Duanmu Cui.
"Ya sudah pergilah! Mumpung belum siang," balas Du Hua.
"Oh, ya, Du Hua, kalau ibu bangun, makanannya ada di meja," pesan Duanmu Cui.
"Siap, tenang saja!" jawab Du Hua mengangguk dengan pasti.
"Sip!" jawab Duanmu Cui.
Setelahnya gadis cantik itu pergi meninggalkan rumah untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan membuat kue nanti. Tidak lupa memakai jaket dan payung untuk melindungi tubuh dari sinar matahari yang agak terik.