Flashback

985 4 0
                                    

“Ah, sial.” gumamku. Ini sudah yang kesekian kalinya aku memimpikannya. Aku tak tahu kenapa sosoknya terus menerus mengganggu pikiranku. Aku bangun perlahan dan terduduk di tempat tidurku dengan sebelah tangan yang masih memegangi kepala karena rasa pening yang tiba-tiba menghampiri ketika aku bangun. Kulihat foto-foto mereka yang bertebaran di sebelahku, kulihat kembali satu-persatu. Itu membuatku tambah muak.

“Sayang sekali. Sebenarnya kamu menarik, tapi kenapa kamu harus berurusan dengan orang itu?” Aku memandang benci ke arahnya. Cowok itu, cowok yang pernah hadir dalam hidupku beberapa tahun yang lalu. Sosok yang menyadarkanku betapa tak butuhnya aku akan kehadiran laki-laki dalam hidupku. Ya, tentu saja. Aku pintar, aku menarik, aku punya segalanya. Aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau, jadi untuk apa aku membutuhkan laki-laki? Bukankah mereka yang membutuhkan laki-laki itu sekadar karena alasan ekonomi? Karena mereka lemah, baik mental maupun fisik? Tapi aku tidak, aku tak membutuhkan makhluk egois macam laki-laki.

Ogie, itu namanya. Aku kenal dengannya beberapa tahun yang lalu, sudah lama. Aku tak tahu kenapa mama menyuruhku bertunangan dengannya. Kalau diingat-ingat lagi, rasanya memang bodoh. Suatu kebodohan yang dilakukan oleh mama. Heh, menjijikkan. Untuk apa aku harus melakukan hal konyol semacam itu? Dan caranya setiap kali melihatku, aku tidak suka. Dia selalu memandangku seolah-olah aku ini sempurna. Apapun yang aku minta, selalu dia berikan. Heh, such a pity boy. Aku selalu tidak tahan pada laki-laki seperti itu, laki-laki lugu yang memandang dunia dengan innocent. Membosankan dan memuakkan.

Tapi ada baiknya juga menerima pertunangan itu, aku bisa memanfaatkannya. Selain itu mestinya aku juga berterimakasih padanya karena sudah menyadarkanku betapa bencinya aku pada kaumnya. Dari dulu aku sudah merasa kalau aku ini berbeda dari yang lain. Sekeras apapun aku berusaha untuk menyukai laki-laki, itu sia-sia. Dia tak pernah terlihat lebih baik di mataku dan aku tetap tak bisa melihat sesuatu yang bisa aku sukai darinya.

Awalnya aku juga berpikir kalau itu hanya karena aku tak menyukainya saja, karena aku masih terlalu kecil untuk menyadari arti ‘pertunangan’. Tapi aku sudah SMP, aku sudah kenal apa itu ‘naksir lawan jenis’, tapi aku tak pernah mengalaminya. Mungkin itu adalah pertama kalinya…aku sadar kalau cewek terlihat lebih menarik di mataku. Aku hanya mengikuti apa kata hatiku dan kemudian bertemu dengannya. Narsha, anak kelas 3 yang juga punya perasaan sama denganku. Dia tahu kalau aku sudah dijodohkan, tapi kami tak peduli. Kami pun backstreet. Semuanya berjalan mulus dan menyenangkan, sampai suatu ketika dia melihatku dan Narsha di dalam mobil itu. Dia melihatku dan segera menyadari siapa sebenarnya aku ini. Sial, pikirku. Kenapa dia harus datang di saat yang tidak tepat?!

Kebencianku padanya bertambah besar, kini rahasia yang aku simpan dengan susah payah telah diketahuinya. Narsha mencoba menenangkanku, dia tak tahu betapa gawatnya keadaan itu buatku. Aku tetap harus jadi Gina yang dulu, tak seorangpun yang boleh tahu tentang hal itu. Aku segera memutar otak, apa yang harus kulakukan pada Ogie. Kemudian aku mendapat ide. Dengan status dan uang yang aku punya sangat mudah untuk menyebarkan ‘sedikit’ isu, cukup untuk menjauhkannya dari orang-orang. Jadi kalau nanti dia mengatakan sesuatu tentang aku, tak ada orang yang akan percaya dengan mudah.

Nah, sampai di mana kita tadi? ‘Foto’, iya. Sejak pertama kali melihatnya di acara malam itu, aku sudah tertarik dengannya. Makanya aku memanfaatkan temannya yang bernama Isa untuk mengetahui siapa dia, soalnya kalau kenalan langsung pasti ketahuan jadi lebih baik menggunakan ‘perantara’. Tapi seseorang yang tak-ingin-kulihat-selama-lamanya itu muncul lagi. Dan yang lebih menyebalkan, dia bersama dengannya. Ketika melihatnya, aku berani bertaruh mereka pasti punya hubungan. Sh**!

Aku sebenarnya mau menyerah saja, tapi bayangan mereka berdua selalu menghantuiku. Kenapa?? Why?! Hidupku ini terasa begitu rumit, tak bisakah jalan hidupku dibuat lebih sederhana dengan sedikit batu sandungan? Oke, kalau begitu mari kita buat sederhana. So this is the plan: kacaukan hidup Ogie melalui Ully. Yeah, aku tak tahu kenapa selalu menyenangkan rasanya ketika memikirkan rencana mengacau-balaukan hidup Ogie. Semacam pembalasan yang tertunda. Sama seperti waktu itu, sekarang pun tak akan terasa begitu sulit untuk memata-matai mereka berdua.

Cuma Kamu...Titik!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang