🎧 Ratih Purwasih - Antara Benci dan Rindu 🎧
🍁🍁
Ponorogo, 1994.
"Mas, ini pesanan anda."
Lelaki yang baru ia kenal beberapa menit lalu menoleh. Kembali mengulas senyum sebelum menerima uluran kresek berisi belanjaan.
"Terima kasih."
Sedikitnya Dewi risih, lelaki itu terus menerus senyum seolah giginya takkan mengering karena udara. Tapi, tidak dapat dipungiri bahwa senyumannya memang manis.
Tak ingin berlama-lama dengan lelaki itu, Dewi memilih pergi untuk kemudian menanyai pembeli yang lain. Mengambil pesanan walau sesekali mereka berdua mencuri pandang.
Ia merasa sangat lega ketika lelaki yang membuat risih itu pergi. Berharap sangat jika itu pertemuan terakhir mereka, ya semoga tidak bertemu lagi.
"Wi!"
Sontak Dewi menoleh. Menaikkan satu alisnya pada Diana yang berdiri di sampingnya. Entah sejak kapan.
"Waktu kita istirahat. Ayo beli soto di pasar."
"Oh, sebentar. Aku berikan ini pada bapak itu dulu."
Selesai memberikan belanjaan pada pembeli lain. Kedua gadis itu pamit pada pemilik toko akan pergi mencari makan siang.
Berhubung jarak toko dan pasar sangat dekat. Keduanya cukup menyebrang lalu berjalan memutar menuju pintu utama. Letak warung soto berada tepat di ujung tangga lantai kedua.
🍁🍁
Pukul 5 sore toko pun tutup. Semua pekerja sudah siap pulang dengan sepeda masing-masing. Tinggal menunggu koh Teddy keluar lalu mengunci toko.
Tak butuh waktu lama, koh Teddy pun keluar dan menutup tokonya. Ia lekas menyuruh pekerjanya untuk segera pulang dan beristirahat, kemudian masuk ke mobil Honda Civic putih setelah adegan bercanda sebentar, perlahan mobil itu berlalu menuju jalan Husni Thamrin.
Satu persatu pekerja pun bubar. Semua berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Dewi yang bersepeda seorang diri menuju daerah kota lama. Sebenarnya bisa saja menunggu Endang karena mereka searah. Namun, hari ini temannya itu libur. Jadi, ia harus pulang sendiri mau tak mau.
Lenggangnya jalan membuat suasana hati Dewi sedikit kesepian. Biasanya ia akan bertukar cerita dengan Endang di waktu seperti ini. Tapi, sayang ... sampai Pasar Pon nanti ia harus berdiam diri saja.
Kring ...
Kring ...Kaget karena suara bel yang tiba-tiba. Ia hampir saja tersuruk ke jalan jika tak ada yang memegangi boncengannya. Antara kesal dan ingin berterima kasih, ia lantas menoleh ke belakang demi melihat orang yang membantu sekaligus mengagetkan tadi.
Mata coklat itu melotot sempurna saat melihat lelaki dengan senyum lebar tersebut. Rambut belah tengahnya tersibak angin sore hingga terlihatlah keningnya yang lebar. Tanpa merasa bersalah lelaki dengan sepeda ontel mengkilat itu melambaikan tangan.
"Kamu lagi," desis Dewi.
"Kalau berkendara lihatlah depan. Aku 'tak akan menolongmu jika kamu terjatuh lagi."
"Yang salah siapa ... yang marah siapa."
Rasanya Dewi mulai jengah melihat senyum lebar itu. Persetan dengan wajah tampan atau senyum yang semanis madu. Lelaki itu 'tak ubahnya seperti hantu, datang 'tak diundang lalu pergi tanpa pamitan. Ia pun menambah kekuatan kakinya untuk lebih cepat memacu sepeda, sudah kepalang keki dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nostalgia '90 [ Re-publish ]
Romans[Buku 1] ( Melodrama - Slice of Life ) Ada kalanya suatu hal tidak bisa dimiliki lantaran hal-hal kecil yang menjadi acuan banyak orang. Dewi mengerti akan itu semua, tapi, ia tetap bertahan demi segenggam cinta yang sarat duka. Membiarkan waktu yan...