5 | Antara Hitam dan Putih

2 4 0
                                    

🎧 Helen Sparingga - Antara Hitam dan Putih 🎧

🍁🍁

Ponorogo, 1994.

"Kamu kenal dengannya, Wi ?"

Dewi menghela napas kesal, memandang Santi sesaat lalu mengangguk lemah. Kesan menyesal begitu kentara di wajahnya.

"Di mana?" Kali ini Endang yang bertanya.

"Di tempatku kerja. Dia kebetulan belanja di sana."

"Tapi, baru kali ini loh Hatta bertingkah seperti itu. Biasanya dia tidak peduli pada perempuan, kecuali perempuan yang dia kenali."

Sejenak Dewi tertegun. Mengingat kejadian tempo hari ketika Hatta mengekori sepedanya saat pulang kerja. Lelaki itu juga bilang bahwasanya ia yang pertama, jadi, ucapan itu memang benar adanya ?

"Tapi, Hatta seperti lelaki perayu." Dewi berusaha menyangkal ucapan Hatta kala itu ialah kebohongan.

"Percaya, Wi. Aku tetangganya, cukup dekat juga. Hatta tidak seperti itu."

🍁🍁

Satu bulan telah berlalu sejak kejadian di rumah Santi. Dewi yang pada awalnya bimbang mengenai kebenaran sikap Hatta, mulai menunjukkan kelunakan.

Setiap kali mereka bertemu, ia akan membalas senyum lelaki itu, tapi, tidak dengan rayuan mautnya. Ia lebih memilih diam dari pada menanggapi itu semua.

Hatta sendiri juga mulai berubah, bila dulu sering merayu Dewi. Kini ia mulai beralih ke mode serius. Tak lagi datang membawa kata-kata, sekarang bila kebetulan mampir ke tempat kerja Dewi, ia akan memberikan gadis itu makanan di jam-jam siang. Meski awalnya menolak karena sungkan, namun sekarang Dewi terlihat biasa saja seolah mereka kawan lama.

Dia tak menampik sikap Dewi seolah memberinya peluang untuk berjuang. Namun, dia sendiri takut apabila keseriusannya hanya dianggap sebagai perhatian seorang teman selama ini. Jadi, dia butuh kepastian.

"Wi ...," panggil Hatta begitu Dewi selesai memakan makanan yang ia bawa.

"Kenapa?"

"Sebenarnya kamu menganggap perhatianku selama ini apa?" tanyanya pelan. Takut menyinggung.

"Memang kamu ingin dianggap apa?"

Hatta tak berkutik. Pembalikan pertanyaan itu membuat otaknya blank sejenak. Ia kira masih bisa basa-basi sebelum menjurus ke sana. Nyatanya Dewi mempersingkat itu semua.

"T-tentu bukti keseriusan, Wi. Aku tidak main-main dengan perasaan ini."

Dewi menunduk, menyembunyikan raut kebingungan ketika Hatta berhasil mengulas pertanyaan yang selama ini ia hindari.

"Dewi, kamuㅡ"

"Aku tidak berniat memainkanmu, ku hargai juga bagaimana perhatianmu selama ini, hanya saja aku belum siap. Kita bahkan baru mengenal." Dan ada seseorang juga yang menunggu kepastianku. Tambah Dewi dalam hati.

"Tapi, sikapmu seolah memberi peluang. Apakah salah jika aku menganggap itu semua timbal balik dari perhatianku." Hatta masih tidak percaya Dewi menganggap perhatiannya hanyalah hal biasa.

Nostalgia '90 [ Re-publish ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang