Jika perlu menerka, keduanya sama halnya dengan medan magnet antara selatan dan utara.
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Nata melihat pola rambut yang Arina susun untuk hari ini. Bukan sesuatu yang baru, bukan juga sesuatu yang me-wah 'kan. Hanya rambut yang diikat penuh dan sudah tidak terlalu rapi.
"Udah lama kamu disini?" Nata melontarkan pertanyaan lain."Enggak 'kok, masih baru." Jawab Arina. "Kamu, bentar lagi masuk kelas 'kok masih disini?"
"Ah, itu, tadi aku habis ketemu sama temen, dia anak IPA makannya aku lewat sini." Arina menganggukkan kepalanya. Keheningan terjadi diantara keduanya sampai Maretta keluar dari dalan toilet. Gadis itu tampak bingung ketika melihat Arina mengobrol dengan Nata.
"Yaudah aku duluan ke kelas, ya?" Lalu Arina mengajak Maretta untuk berlalu. Nata pun membalikan seluruh tubuhnya untuk melihat punggung kedua gadis yang kini mulai menjauh dari jangkauan nya.
"Lo kenal sama cowok tadi, Rin?" Maretta mulai membuka pembicaraan setelah ia dan Arina duduk di kursi mereka.
"Nata?" Maretta membuat ekspresi terkejut yang tidak dibuat-buat. Hal tersebut membuat Arina terheran-heran dan balik bertanya. "Emang kenapa?""Lo saling kenal sama Nata, Arinaaa." Maretta menyahut dengan cepat. "Itu kenapanya ituuu," Gadis itu tampak gemas terhadap Arina. Lalu ia menghirup oksigen untuk mengisi paru-paru nya dan menyamankan posisi duduknya, ia mulai berbicara tenang pada Arina.
"Coba ceritain deh,""Ceritain apa?"
"Gimana, lo, bisa kenal sama Nata!"
"Gak gimana-gimana. Cuma ketemu terus kenalan."
Maretta menarik napas sembari menggembungkan kedua pipinya. Ia pikir, Arina akan menceritakan sebuah pertemuan pertama yang begitu indah seindah cerita-cerita webtoon yang dia baca. Tetapi, ekspetasinya memang terlalu tinggi. Ia melupakan bahwa cerita yang disampaikan itu bukan oleh pengarang hebat dari penjuru kota, melainkan oleh teman karibnya, Arina Syakila.
"Gue yakin gak gitu doang deh!" Kilah Maretta. "Cepetan ceritain secara detail!"
"Emang harusnya kayak gimana, sih?" tanya Arina.
"Harus ada manis-manisnyaaa." Maretta nyahut cepat.
"Enggak ada le mineral, jadi biasa aja." Jawab Arina.
“Right??”
“Of course!”
Lalu gadis itu mengeluarkan buku dari tasnya dan membuka halaman yang akan dibahas pada jam ini. Hal tersebut membuat Maretta mencebikan bibir karena rasa penasaran nya tidak ditanggapi serius oleh Arina.
Memangnya, apa yang harus diceritakan lebih kepada temannya itu? Apa yang diharapkan? Pertemuan Arina dan Nata bahkan hanya pertemuan biasa yang tidak menimbulkan perubahan atmosfer disekelilingnya. Semuanya masih tampak biasa. Yang berubah hanya relasi Arina yang jadi mengenal siswa bernama Nata. Selama saling mengenal pun Nata yang selalu menyapa Arina jika mereka tidak sengaja bertemu. Nata yang selalu pertama membuka topik pembicaraan antara mereka. Dan Nata juga yang selalu mempersilahkan pergi pada Arina. Karena untuk perpisahan, Arina lah yang selalu mengawalinya. Gadis itu yang selalu diburu waktu dan gadis itu juga yang selalu pertama berlalu. Peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya cukup menggambarkan pertemuan mereka. Karena bagaimana pertemuan mereka tadi, sama halnya dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya yang terjadi.⏲⏲⏲
Pertemuan adalah sebuah homonim yang cukup membekas. Reaksi yang ditimbulkan terasa eksentrik yang memicu ribuan pertanyaan di kepala. Nata tidak hanya selalu memikirkan gadis itu, ia sering memerhatikan Arina sejauh matanya bisa menemukan nya. Gadis itu cukup membuat Nata bertanya-tanya tentang bagaimana kesehariannya, dan apa yang menarik Nata padanya. Yang jelas, Nata merasa menemukan sesuatu yang tidak bisa ia jabarkan seperti barisan narasi dalam lembar kertas yang awalnya tidak berisi. Sebisa pun ia menjabarkannya, hanya akan ada goresan garis yang membentuk sebuah tanda tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAUJANA
أدب المراهقينMari kita bersama selamanya. Tanpa memperhatikan dari jauh, dan tanpa rasa sakit. "Kesempatan hidup di bumi yang fana ini hanya satu kali, Rin, dan aku dedikasikan buat kamu." -Nata Alamsyah Dalam risalah, kita hanyalah dua atma yang tergugu oleh l...