Anna langsung kembali ke hotelnya bertemu dengan Nisa yang sedang berkutat dengan peralatan dapur disana. Anna terkekeh melihatnya."Nisa, ganti profesi ceritanya?" Ejek Anna yang duduk di kursi bar dapur.
Nisa tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya. "M-maaf nona, saya belum terbiasa memasak."
"Haha…, tidak apa-apa." Anna tersenyum diselingi dengan tawa kecilnya.
"Sini, aku bantu." Anna menawarkan diri.
"Eh, tidak usah nona. Tidak perlu. Saya mau coba sendiri." Tolak Nisa yakin.
"Yakin, tidak mau dibantu? Lagipula ini bahannya cuma ramen instan, telur, sosis sama sayur saja, lho." Remeh Anna.
"Hmm…, nona. Bagaimana kalau kita pesan makanan saja? Lebih efektif dan efisien." Tawar solusinya.
"Jiakh! Tidak perlu. Sini, ini terlalu mudah untuk seorang Andreana Wijaya." Bangganya Anna.
"Baik nona." Nisa menyingkirkan diri dari bagian dapur. Memperhatikan Anna dari jarak aman kompor.
"Makanya punya suami. Supaya ada keinginan untuk belajar masak. Lagipula ini hanya kompor listrik. Masa kamu tidak bisa?" Anna menggelengkan kepalanya. Merasa heran dengan sekretarisnya.
"Maaf nona." Nisa menjadi malu sendiri. Menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
Kamar hotel yang telah di reservasi oleh Anna sangat luas. Ada ruang tamu, dapur, ruang keluarga untuk menonton televisi yang bersatu dengan kamar utama, ada kamar lainnya yang bersebelahan dengan ruang kerja.Malam hari ini. Anna dan Nisa menyibukkan dirinya di ruang kerja. Karena sesuai dengan saran Nisa sejak sampai di London. Dimana Anna dapat mengembangkan sayap perusahaannya lagi di negara lain.
Anna hanya baru memiliki cabang di negara tetangga. Belum diluar benua. Sudah saatnya Anna melebarkan sayapnya lagi.
"Sudah jam sebelas. Kita sudahi untuk hari ini dulu saja. Kamu juga butuh istirahat." Anna seraya merapikan laptopnya. Bangkit dari duduknya dan menghampiri Nisa.
"Tidak apa, nona. Saya sedikit lagi selesai. Nona sedang hamil, harus istirahat jangan tidur malam-malam. Tidak baik untuk kesehatan." Nisa mengingatkan.
"Baiklah, aku duluan ya. Terima kasih sebelumnya sudah mau menemani dalam susah senang." Anna tersenyum dan menepuk punggung tangan Nisa.
"Tidak masalah, nona. Sudah menjadi tugas saya untuk selalu mendampingi, nona." Nisa menatap Anna lekat. Anna mengangguk setuju.
"Selamat malam, nona."
"Iya, selamat malam juga."
Anna pun keluar dari ruang kerja. Ia masuk ke dalam kamar utama.
Di negara dan waktu yang berbeda. Di sebuah pusara. Seorang pria bersama seorang anak kecil perempuan yang tengah memandangi pusara seseorang yang sangat mereka cintai. Sangat mereka tunggu kehadirannya di sisi mereka. Namun, harapan yang tidak akan pernah lagi bisa dikabulkan. Hanya sebatas doa demi doa yang dapat mereka kirimkan kepada seseorang yang mereka cinta."M-mami anes angen mami…" Isak tangis anak kecil berusia dua tahun dalam dekapan sang ayah.
"Shht…, sayang…." Sang ayah mencoba menenangkan anak kecil itu. Yang dimana masih dibawah tiga tahun. Tetapi, sudah harus merasakan ditinggal seorang ibu. "Sayang, kita ke rumah mami kan mau kasih bunga. Nanti mami sedih lho, lihat Agnes nangis." Ucap sang ayah mengusap derai air mata dari pipi anak kecil itu yang sudah basah.
"T-tapi anes mau dipeyuk mami…" Anak kecil itu turun dari pangkuan sang ayah. Berdiri di depan ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Anes mau main cama mami…, daddy." Bibir anak kecil itu gemetar.
Sang ayah langsung membawa anak kecil itu dalam pelukannya. Diusap kepala dan punggung anaknya itu. Dicium kening dan juga pucuk kepalanya.
"Sayang…, mami selalu ada di hati Agnes. Mami ada di dekat kita, sayang. Agnes jangan sedih lagi ya." Ucapnya. Sebagai ayah harus kuat menenangkan anaknya yang sedang menangis. Yang sebenarnya di sisi lain hatinya pun juga rapuh dan sangat sakit. Dalam pusara tersebut terdapat mendiang istri yang ia cintai. Sang ibu dari anak yang ia dekap saat ini. "Agnes, mau peluk mami?" Tawar sang ayah melepas dekapannya.
Anak kecil itu mengangguk lesu. Sang ayah tersenyum dan membawa anaknya mendekat ke bagian batu nisan ibunya.
"Mami…, anes cayang mami…" Anak kecil dengan suara lirih dan lembutnya disertai isak tangisnya seraya memeluk batu nisan sang ibu dengan deraian air mata yang ikut jatuh kena batu nisan sang ibu. Kedua tangan kecil nan imut memeluk batu nisan dengan segenap kasih sayang untuk sang ibunda tercinta.
Tanpa dirasa sang ayah ikut menitikkan air mata melihat sang anak memeluk pusara ibunya. "Maafkan daddy yang tidak bisa menjaga mami kamu, sayang." Gumamnya lirih disela isak tangis sang anak.
Bersambung.
Thankquuu yang sudah selesai baca episode terbaruku 💙
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya 💜
Jaga kesehatan kalian dan bahagia selalu okkey 💚
See u on the next episode 👋💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Andreana Salma VS Dokter Ryann
Lãng mạnPerjodohan demi memenuhi keinginan orang tua. Namun, niat baik tidak berjalan mulus dengan kenyataannya. "Aku tidak ingin menikah. Hanya memuaskan keinginan orang tua saja. Paham?" Ryann. "Aku paham. Tidak perlu memberitahuku, aku pun tidak ingin...