13. Insting Manusia

61 26 0
                                        

Ada perasaan aneh yang menyergap Jeno begitu pintu menyambutnya.

Ini bukan kali pertamanya masuk ke dalam bangunan yang penghuninya para detektif hebat atau sekumpulan aparat yang hobinya meringkus penjahat. Jeno sudah lebih dulu berkenalan dengan kantor polisi. Dulu, dia pernah jauh-jauh mengorbankan tenaga bersama Jaemin mampir ke sebuah kantor polisi Deoksugung. Ketika itu, Jeno baru menginjak bangku kelas pertama sekolah menengah atas. Terik matahari yang mungkin sanggup-sanggup saja membakar kulit, tidak lantas menjadi rintangan terbesar bagi Jeno saat matanya menjumpai sebuah dompet tergeletak di tanah.

Jaemin—si tukang penasaran—waktu itu melongok ke dalam dompet. Mulutnya membulat. Ada banyak lembar uang yang saling menyelip, membuat dompet terasa semakin tebal. Belum lagi dengan sekumpulan kartu yang fungsinya pasti untuk menarik uang. Saat itulah, Jeno mengorbankan kakinya untuk berkenalan dengan kantor polisi berkat dompet yang ia jumpai.

Sekarang, Jeno berkunjung lagi. Ke sini, ke kantor polisi.

Fakta selalu menggelikan. Dulu Jeno bertamu dengan setumpuk kebaikan yang ia pikul. Sekarang dia kembali bertamu dengan setumpuk kejahatan yang memukul. Kepalanya menggeleng keras manakala memorinya sedikit membakar semangat sebab rasa bersalah. Ingatan buruk ketika ia dengan egoisnya menggulingkan seorang polisi dari mobilnya sebagai santapan zombie, kejam menusuk-nusuk kewarasannya.

"Jeno." Yeri yang rupanya punya mata tajam dan perasaan kuat, menyadari Jeno yang seakan tergugu lumpuh sebab sesuatu. "Kamu nggak apa-apa?"

Jeno menoleh. Kepalanya tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Tapi dari sana, Yeri tahu Lee Jeno ada problematika tersendiri yang kadang datang untuk sekedar mencekiknya. Tangannya hinggap di pundak Jeno, memberinya suatu kekuatan.

"Fokus. Kita cuma perlu fokus, oke?"

Jeno bersyukur Yeri bergerak lebih dulu sebelum mulutnya dibuka untuk melempar jawaban atas pertanyaannya. Sebab, tidak. Jeno bahkan tidak bersedia menjawab pertanyaan Yeri.

Setelah menepuk pundak Jeno dua kali banyaknya, Yeri melangkah lebih dulu lantas Jeno menyusul. Kantor polisi nampaknya baik-baik saja. Mungkin bila Haechan yang bertamu ke sini, dia akan menggambarkan bahwa kondisi ini cukup normal. Sepi, senyap, mudah untuk beraksi.

Ada banyak komputer yang ditinggalkan dalam keadaan nyala terang-benderang. Yeri berbelok di sebuah tikungan koridor dengan langkahnya yang kelewat hati-hati. Sementara Jeno memilih untuk menetap. Dia tidak lagi mengekori langkah sang kakak kelas. Tubuh gagahnya mampir ke sebuah kursi yang resmi menjadi rongsokan sebab pemiliknya mati.

Kursinya nampak baik. Tidak ada deritan sekecil apapun bila ditarik. Tapi Jeno enggan menempatinya. Matanya yang meningkat lebih tajam di keadaan genting seperti ini, menelisik. Dia melongok ke bawah. Kosong. Tadinya Jeno mengira, barangkali ada plot twist menegangkan yang tersembunyi di bawah kolong meja. Seperti sosok zombie yang meringkuk dengan gemelatuk gigi-giginya, menunggu mangsanya tanpa lelah — lantas ketika Jeno menampakkan wajah rupawannya, dia cepat menyambutnya dengan mulut yang menganga lebar. Kabar baiknya, tidak ada. Tidak ada apapun di bawah meja. Itu sebatas imajinasi liar yang tidak punya sopan santun menghantui benak Jeno.

Tetikus komputer yang teronggok, disambar Jeno. Matanya mengerling ke pojok layar komputer. Ada tiga bar internet. Jeno bisa mengorek informasi saat ini juga. Jadi, dia mengabaikan Yeri yang mungkin tengah sibuk-sibuknya mengantungi banyak senjata berapi. Tanpa mengistirahatkan bokong, Jeno membungkuk. Dia pergi ke laman internet. Jari-jemarinya bergerak lincah di atas papan ketik. Tak, tak, tak.

Jeno menoleh, mengawasi sekitar. Aman. Baik-baik saja meskipun ketikannya melahirkan bunyi.

Garis biru di sepanjang layar komputer bergerak semakin maju. Jeno mulai ketar-ketir. Dia melirik ke arah bar internet. Gawat! Sinyalnya melemah. Dia berdecak gusar. Tangannya menggerakkan tetikus asal-asalan, sesekali megehentaknya.

End of Us [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang