DUAPULUHSATU

5.6K 828 37
                                    


21. Pergi atau tidak.

Resiko jadi penulis kecil emang gini, ya? Kita gak bisa bikin tantangan vote atau komen yang banyak, karena ujung²nya pasti gak akan pernah dipenuhi sama pembaca🙃

Kemarin aku cuman minta 50 vote. Dan pembacanya sampai 159 orang, tapi kenapa yang bersedia untuk nyumbang bintang cuma 43 orang? Haha, lucu emang berekspestasi tinggi.

Semoga tetap bahagia kalian.

.....

"Ha?" Rafabian terkejut karena perempuan diseberang sana meralat ucapannya menjadi lebih santai.

"Aku minta maaf sama omongan aku kemarin."

"Minta maaf?" Begitu mengingat kejadian kemarin, Rafabian berseru, "Oh, tidak apa-apa, saya paham dengan keadaan kamu, seharusnya saya yang minta maaf karena sudah memaksa kamu untuk menerima saya," terdengar kekehan kecil dari dokter baik itu.

"Tidak, dokter. Niat dokter sudah baik." Ada sedikit jeda antara kalimat Rindi, "Kemarin dokter bilang mau jadi laki-laki yang menghilangkan trauma aku, kan?" Walaupun masih ada keraguan, tapi Rindi harus mengorbankan ketakutannya agar bisa menerima orang baru, bagaimana pun caranya.

"Maaf Soal itu."

"Kalau aku tagih ucapan dokter, gimana?" Terdengar seperti memaksa.

"Hm? Apa? Saya tidak dengar."

Rindi menghela napas, apa mengungkapkan keinginan sesulit ini?

"Aku mungkin belum bisa menerima cinta dokter. Tapi kalau untuk membuka hati, aku akan coba."

Rafabian tidak sebodoh itu untuk mengerti kalimat demi kalimat yang diutarakan Rindi. Ia senang karena kabar ini, tapi juga sedikit tak tega pada perempuan itu. "Saya tidak memaksa kamu untuk menjadi pendamping saya, Rin. Jangan menerima saya karena paksaan dari orang lain,"

"Tidak ada yang memaksa, dokter. Ini kemauan saya sendiri, saya percaya sama semua ucapan dokter. Dan saya juga berharap, dokter bisa mengeluarkan saya dari rasa trauma ini."

Deg!

Lama, sangat lama Rafabian terdiam diposisi duduknya. Jantungnya yang semula normal perlahan berdetak lebih cepat, bahkan suhu tubuhnya yang hangat berubah dingin karena perempuan dibalik telepon itu.

"Pak dokter? Kamu gak apa-apa, kan?"

"Dokter? Dok? Halo?"

"Halo?"

"Dokter? Bisa dengar saya, tidak?"

"Dokter Rafa?"

Berulang kali Rindi mencoba bertanya, perempuan itu tidak tahu tentang kondisi Rafabian yang saat ini sedang melamun, hingga perempuan itu memanggil namanya secara lengkap,

"Pak dokter Rafabian?"

"Ha? Iya?" Sepertinya saat ini laki-laki itu sedang dilanda kemabukan.

"Kenapa? Ada yang sakit? Ak-aku minta maaf karena udah ganggu."

"Ah tidak. Tadi, tadi ada kecoa," Ujar Rafabian salah tingkah, ia berdehem dahulu lalu bertanya, "maaf, sampai mana tadi?"

"Jujur, gak ada paksaan dari orang lain perihal ini, dokter. Ini murni keinginan aku sendiri. Aku takut gak bisa keluar dari zona trauma ini, aku takut sendirian suatu hari nanti. Dan kata Bapak, dokter orang baik, bahkan Bapak yakin sama dokter kalua dokter bisa menjadi obat dari trauma aku."

"Kamu yakin sama pilihan kamu?"

"InsyaAllah, dokter. Walaupun rasa takut itu masih ada, tapi dengan dukungan banyak orang, aku percaya aku bisa menjadi lebih baik."

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang