2

158 5 0
                                    

"Yah, gimana? Kapan kita kasih tau ke Iin? Ibu gak mau diem-dieman terus. Kasihan Iin."

            "Ayah juga gak mau kayak gini terus. Tapi gimana lagi? Lagipula dia sendiri yang mulai, Bu. Ibu tau kan dia itu keras kepala. Sekalinya begitu akan tetap begitu."

            "tapi, gimana kalau pikiran Iin terganggu gara-gara mikirin penyakit Uun? Uun masih lama disini! Dan keadaannya juga belum membaik. Iin pasti mikir gak mungkin tifus separah itu. Belum lagi Uun mau ngejalani operasi lusa!—"

            Iin yang ingin berbelok ke koridor kanan, tanpa sengaja mendengar suara Ayah dan Ibu yang sedang bertengkar. Iin mendengar sebuah kata, Operasi. Ada apa dengan operasi? Pikirnya. Tidak terdengar ada yang bicara lagi.

            "semua bakal baik-baik aja, Bu. Yaudah sekarang gapapa, kok, Ibu kasih tau. Mungkin udah waktunya." Terdengar Ayah yang kembali berbiacara. "Bilang sejujurnya sama Iin kalau Uun itu bukan sakit tifus, tapi.... kanker otak."

            Tubuh Iin melemas seketika. Yang semula bersandar, kini merosot perlahan. Air mata sudah mengalir deras. Kedua tangannya bergetar seiring hatinya yang terguncang. Orangtua Iin yang mendengar suara tangisan di tengah sepinya malam merasa bingung. Mereka pun mencari sumber suara dan terkejut setengah mati mendapati Iin yang menangis. Baru saja ingin menyentuh tangannya, tangan Ayah segera ditepis oleh Iin.

            "kalian jahat! Kenapa gak kasih tau dari awal?! Apa susahnya ngomong kayak gitu?", bentaknya.

            "ayah minta maaf. Ayah gak mau kamu—"

            "—nyalahin diri Iin terus karena Iin salah? Gara-gara Iin udah ngedorong Uun waktu itu terus Iin gak tau kepalanya kebentur dan bikin Uun kanker otak? Terus kalau Iin udah salah dari awal, kenapa gak ngasih tau dari awal juga? Biar Ayah sama Ibu gak terlambat ngehukum Iin. Sekarang hukum Iin, biar Iin nyadar diri—"

            Tanpa sadar Ayah menampar pipi Iin. Hal itu membuat hati Iin hancur. Iin pun berlari meninggalkan mereka yang merasa menyesal.

            Iin kabur. Itulah informasi dari pegawai rumah. Tak ada yang tahu kemana perginya.

****

            Tiga bulan terlewati. Kondisi Uun membaik setelah operasi, namun tidak menurunkan kanker otak yang dideritanya. Kanker itu terus tumbuh seiring berjalannya hari. Uun telah kembali ke sekolah setelah menjalani satu bulan masa pemulihan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Iin. Membuat sebagian jiwanya terasa hampa. Akhir-akhir ini juga Uun sering menyendiri di kamarnya. Melamunkan hidupnnya yang tidak akan lebih dari tiga tahun dan keberadaan Iin.

            "In, lu dimana? Gua kesepian. Ayo latihan sepeda lagi. Banyak yang nanyain elu. Katanya kapan mau latihan lagi? Taun depan ada lomba di Batam." Curhatnya pada langit malam yang sepi akan bintang.

            Terdengar pintu kamarnya yang terbuka. "Un, udah siap? 10 menit lagi kita berangkat." Itu suara Ayah. Uun akan segera meninggalkan Indonesia dan terbang ke negara Singapura untuk menjalani pengobatan. Sedih memang meninggalkan Iin sendirian di negara sebesar ini. Tanpa kehadirannya, tanpa kehadiran Ayah dan Ibu. Apakah Iin bisa menjalani hidupnya? Mungkin Iin akan mengerti apa alasan Uun meninggalkannya. Iin pasti menginginkan Uun sembuh. Maka Uun berjanji sepulangnya nanti, Uun dinyatakan NEC(Bebas dari Kanker).

****

HAMPA (cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang